Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

5 Suara lantang KPK tak mau digergaji lehernya

5 Suara lantang KPK tak mau digergaji lehernya Ilustrasi KPK. ©2014 Merdeka.com

Merdeka.com - Komisi Pemberantasan Korupsi tetap akan "berlari" memberantas korupsi meski hanya dengan satu kaki seiring pembahasan RUU KUHP dan KUHAP yang mengarah kepada pelemahan komisi ini, kata Ketua KPK Abraham Samad.

"Kami akan tetap berjalan di jalurnya meski ada pihak yang berkepentingan untuk 'memotong sebelah kaki' KPK, sehingga hanya bisa berlari tertatih. Insya Allah kami tetap berjalan meski dengan sebelah kaki," kata Abraham di kantornya, Jakarta, pekan lalu.

Tidak hanya Abraham Samad, hampir semua unsur di KPK dengan lantang menolak pembahasan RUU KUHP dan KUHAP. Berikut 5 suara lantang KPK dirangkum merdeka.com:

Ada cukong bisnis gelap

Komisioner KPK Busyo Muqoddas menilai naskah ini (draf RUU KUHAP dan KUHP) mengingkari realitas praktik korupsi yang ampun sudah semakin ganas, sistemik,struktural, dan lintas sektor pusat-daerah."Sudah belasan kali sejumlah pihak berjuang keras melumpuhkan KPK," kata Busyro melalui pesan singkat, Senin (24/2).Menurut Busyro, kali ini pemerintah kompak dengan DPR 'menggergaji' kewenangan KPK. Busyro mengatakan mereka tidak jujur telah melakukan korupsi di sejumlah Kementerian / Lembaga, DPR, Pusat maupun Daerah.Busyro pun menjadi takut jika keadaan ini dimanfaatkan 'cukong bisnis' di luar sana."Kali ini pemerintah kompak dengan DPR menggergaji leher KPK. Mereka tidak jujur menyadari korupsi mereka lakukan di sejumlah KL, DPR, Pusat Daerah," ujarnya."Saya khawatir ada cukong bisnis gelap memanfaatkan momentum ini," ujarnya lagi.Meski ada kekhawatiran tersebut, Busyro mengaku tidak mau diam saja. KPK, lanjut Busyro, akan tetap kritis menghadapi segala serangan dari manapun yang akan melemahkan pemberantasan korupsi."Kami akan tetap sabar, kreatif dan kritis menghadpi kemunafikan dan kemaksiatan politik rezim politik produk Pemilu 2009 ini," ujarnya.

RUU disusun lebih dari 30 tahun lalu

Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang dibahas saat ini dinilai tidak memperhatikan politik hukum dan perkembangan hukum."Pembahasan kedua rancangan undang-undang (RUU) tersebut tidak memperhatikan kebutuhan masyarakat terhadap hukum atas kondisi riil saat ini," kata Kepala Biro Hukum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Chatarina Muliana Girsang di Yogyakarta, Sabtu.Dia mengatakan RUU KUHP yang dibahas saat ini ternyata disusun lebih dari 30 tahun lalu, sedangkan RUU KUHAP disusun lebih dari 10 tahun lalu."Artinya hanya melihat kondisi riil 10 atau 30 tahun yang lalu sehingga dapat dipertanyakan apakah ketentuan dalam kedua RUU tersebut tidak mempertimbangkan kondisi dan kebutuhan serta perkembangan hukum saat ini," katanya.Menurut dia, saat ini telah ada KPK, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Badan Narkotika Nasional (BNN), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), dan Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM).Dengan demikian, kata dia, pernyataan yang menyatakan bahwa kedua RUU itu tidak untuk memperlemah KPK karena disusun telah sangat lama sebelum KPK berdiri merupakan pernyataan yang membingungkan.

Sibuk pemilu kok bahas UU vital

Wakil Ketua KPK Zulkarnain menyatakan bahwa pembahasan RUU KUHAP dan KUHP harus optimal agar tidak hanya asal jadi dan hanya menghabiskan biaya."RUU KUHP dan KUHAP itu luar biasa, sosilisasinya sangat luar biasa karena KUHP lebih dari 700 pasal, KUHAP 300 pasal, dalam operasionalisasinya tentu tidak semudah itu, bila KUHP yang sekarang ini banyak kelemahannya tentu tapi butuh waktu dalam pembahasannya," kata Zulkarnain."Intinya hingga cukup waktu untuk membahas UU vital, sekarang DPR sibuk pemilu, kehadiran-kehadiran juga sudah sangat berkurang, dari sana gambarannya kalau tidak serius dan menggunakan pakar secara substansi tidak mendapat hasil yang baik," jelas Zulkarnain.

Tidak ada kemauan berantas korupsi

Komisi Pemberantasan Korupsi menilai bahwa pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat tidak punya niat baik (political will) bila melanjutkan pembahasan Rancangan Undang-undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)."Di sini kami bisa menilai pemerintah dan DPR, kalau misalnya tetap ngotot membahas RUU KUHP dan KUHAP maka itu bisa kami artikan pemerintah dan DPR tidak punya 'political will' dalam pemberantasan korupsi," kata Ketua KPK Abraham Samad di gedung KPK Jakarta, pekan lalu.Pada Rabu, KPK mengirimkan surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan DPR untuk menunda pembahasan kedua RUU tersebut."Memang RUU ini lama diembuskan, tapi perlu anda ketahui KPK baru tahu pada April 2013 ketika tahu delik korupsi masuk ke RUU KUHP tersebut, ini menunjukkan ada potensi bahaya bila tetap dilanjutkan," jelas Abraham.Meski mengaku bahwa KPK menangkap ada sinyalemen politik dalam pembahasan RUU tersebut, KPK tetap konsisten dalam menjalankan tugas pokok sebagai pemberantasan korupsi."Kami tetap konsisten pada tugas pokok yaitu pemberantasan korupsi dengan proses penyelidikan, penyidikan sampai pengadilan, kami tidak terpecah karena sudah ada bagian-bagian yang didistribusikan untuk menangani, tidak usah khawatir upaya membongkar korupsi tidak berjalan," tambah Abraham.

Ruh KPK coba dihilangkan

Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi Abdullah Hehamahua meminta DPR agar jangan menghilangkan ruh KPK berupa wewenang penyadapan seiring dengan pembahasan RUU KUHP dan KUHAP."Wewenang penyadapan merupakan ruh KPK. Setidaknya 50 persen kasus korupsi berasal dari penyuapan yang hanya dapat diungkap melalui penyadapan," kata Abdullah di Jakarta, Selasa.Potensi pelemahan terhadap komisi anti-gratifikasi itu dimulai ketika terdapat usulan revisi UU KUHAP dari pemerintah kepada DPR. UU itu diyakini akan membatasi wewenang penyadapan oleh KPK terhadap kasus-kasus korupsi.Menurut Abdullah, potensi itu bermula dari kurangnya komunikasi tiga pihak yaitu antara pemerintah, DPR dan KPK."Saya tidak tahu apa alasannya miskomunikasi itu bisa terjadi. Maksud pemerintah itu RUU KUHP dan KUHAP kan 'lex generalis' (bersifat umum), kalau itu dijelaskan nanti KPK bisa mengerti. Sebab KPK 'kan 'lex spesialis' (bersifat khusus). Nah selama ini tidak ada penjelasan bahwa RUU itu 'lex generalis' sehingga tetap menjamin eksistensi KPK seperti sekarang dengan kewenangan-kewenangannya yang ada. Jadi itu saya lihat persoalan komunikasi," katanya.Meski begitu dia memandang apabila RUU KUHAP yang sedang dibahas mengisyaratkan penyadapan oleh KPK hanya dapat dilakukan jika mendapat ijin dari pengadilan. Melihat itu, Abdullah menganggap terdapat kejanggalan.

(mdk/ren)
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
KPK Beberkan Baru 29,55 Persen Legislator yang Lapor LHKPN, 6 Menteri Jokowi Belum Setor
KPK Beberkan Baru 29,55 Persen Legislator yang Lapor LHKPN, 6 Menteri Jokowi Belum Setor

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merilis tingkat kepatuhan pelaporan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) Tahun 2023

Baca Selengkapnya
KPK Tagih Komitmen Prabowo-Gibran dalam Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi
KPK Tagih Komitmen Prabowo-Gibran dalam Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi

KPK ingatkan pasangan Prabowo-Gibran dalam hal memperkuat KPK

Baca Selengkapnya
Ada 431 Kasus Korupsi Diusut Polisi di Tahun 2023, Kerugian Negara Capai Rp3,6 Triliun
Ada 431 Kasus Korupsi Diusut Polisi di Tahun 2023, Kerugian Negara Capai Rp3,6 Triliun

Polri juga menetapkan 887 tersangka tersangka kasus Tindak Pidana Korupsi (Tipidkor) sepanjang tahun 2023.

Baca Selengkapnya
Kamu sudah membaca beberapa halaman,Berikut rekomendasi
video untuk kamu.
SWIPE UP
Untuk melanjutkan membaca.
KPK Sebut Ada Biaya Angkut Lebihi Standar saat Pendistribusian Korupsi APD Kemenkes
KPK Sebut Ada Biaya Angkut Lebihi Standar saat Pendistribusian Korupsi APD Kemenkes

Keterangan mereka dibutuhkan penyidik KPK untuk mengetahui aliran uang distribusi itu ke para tersangka.

Baca Selengkapnya
Kejati DKI Tahan 6 Tersangka Korupsi Dana Pensiun Bukit Asam, Kerugian Rp234 Miliar
Kejati DKI Tahan 6 Tersangka Korupsi Dana Pensiun Bukit Asam, Kerugian Rp234 Miliar

Kejati DKI Jakarta menetapkan enam tersangka korupsi pengelolaan Dana Pensiun Bukit Asam tahun 2013 sampai 2018 dengan kerugian negara Rp234 miliar.

Baca Selengkapnya
Kejagung dan KPK Dinilai Perlu Koordinasi Bongkar Kasus Korupsi LPEI, Ini Alasannya
Kejagung dan KPK Dinilai Perlu Koordinasi Bongkar Kasus Korupsi LPEI, Ini Alasannya

KPK telah menaikkan status penanganan kasus korupsi LPEI.

Baca Selengkapnya
Akui Kepercayaan Terhadap KPK Kurang, Mahfud Ingin Kembalikan UU KPK Lama Jika Terpilih Jadi Wapres
Akui Kepercayaan Terhadap KPK Kurang, Mahfud Ingin Kembalikan UU KPK Lama Jika Terpilih Jadi Wapres

Mahfud menegaskan keberadaan lembaga antirasuah itu masih sangat dibutuhkan untuk memberantas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

Baca Selengkapnya
Kejagung Koordinasi dengan BPK soal Kerugian Negara dari Korupsi Timah
Kejagung Koordinasi dengan BPK soal Kerugian Negara dari Korupsi Timah

Sejauh ini nilai kerugian negara akibat korupsi tersebut senilai Rp271 triliun.

Baca Selengkapnya
KPK Tetapkan Kepala BPPD Sidoarjo Jadi Tersangka Korupsi Pemotongan Insentif Pegawai
KPK Tetapkan Kepala BPPD Sidoarjo Jadi Tersangka Korupsi Pemotongan Insentif Pegawai

AS ditahan 20 hari pertama terhitung tanggal 23 Februari 2024 sampai dengan 13 Maret 2024 di Rutan KPK.

Baca Selengkapnya