Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Menghasilkan Dokter dengan Biaya Terjangkau

Menghasilkan Dokter dengan Biaya Terjangkau Ilustrasi dokter. ©shutterstock.com/rangizzz

Merdeka.com - Biaya menjadi dokter kian mahal. Besaran uang kuliah diserahkan kepada masing-masing perguruan tinggi. Ada yang pintar tapi tak mampu. Ada kampus tapi tak ada dosen. Indonesia kekurangan dokter. Revisi UU Pendidikan Kedokteran dibutuhkan segera.

"Kami sangat prihatin atas tingginya biaya pendidikan dokter dan dokter spesialis saat ini. Kondisi ini dapat berpotensi mengakibatkan dokter dan dokter spesialis yang dihasilkan menjadi kurang baik dalam memberikan pelayanan kesehatan."

Pernyataan itu merupakan petikan isi surat yang dilayangkan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) kepada Mendikbud Ristek Nadiem Makarim. Surat bertanggal 10 Februari 2022 yang diteken Ketum PB IDI yang saat itu dijabat Daeng Mohammad Faqih juga ditembuskan kepada Presiden Joko Widodo dan Dewan Perwakilan Rakyat.

IDI menilai, biaya pendidikan kedokteran di Indonesia semakin tak terkendali, mahal, dan tidak terjangkau. IDI mendesak pemerintah melakukan intervensi.

IDI juga mempertanyakan, apakah biaya pendidikan yang berlaku di Fakultas Kedokteran di Indonesia sudah mendapat persetujuan Mendikbud Ristek sesuai aturan perundang-undangan.

Surat itu akhirnya direspons Kemendikbud Ristek pada akhir Mei lalu. Sebuah rapat digelar antara PB IDI dengan Pelaksana Tugas (Plt) Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) Kemendikbud Ristek, Nizam.

Ada dua poin yang disampaikan perwakilan IDI dalam rapat. Pertama, tugas dokter berkaitan dengan kemanusiaan. Bila pendidikan kedokteran baik, maka dokter yang dihasilkan akan baik pula. Poin kedua, dalam UU tentang Pendidikan Kedokteran, biaya pendidikan harus mendapat persetujuan Mendikbud Ristek. Bukan hanya peserta didik pada program reguler, tapi juga mandiri.

Awalnya, dua poin itu disetujui oleh seluruh peserta rapat saat Plt Dirjen Dikti Kemendikbud Ristek Nizam belum memasuki ruang rapat. Namun, setelah Nizam bergabung, dia malah membandingkan biaya pendidikan kedokteran di Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan Singapura dan Malaysia. Nizam juga mengatakan, bila ada sumbangan dari masyarakat, seperti orang tua dan peserta didik tidak perlu ditolak. Rapat berakhir buntu tanpa hasil.

Penjelasan Kemendikbud Ristek itu membuat IDI bertanya-tanya. Membandingkan biaya pendidikan kedokteran di Indonesia dengan negara tetangga dianggap tidak tepat. Ada banyak faktor yang mempengaruhinya. Salah satunya pendapatan per kapita di Singapura dan Indonesia jauh berbeda.

Ketua Umum PB IDI periode 2018-2021, Daeng Mohammad Faqih yang dihubungi melalui telepon mengungkapkan, faktor mahalnya biaya kuliah kedokteran berbanding lurus dengan kurangnya jumlah dokter umum dan dokter spesialis di Indonesia.

"Bagi orang tua atau peserta didik, calon peserta didik yang tidak mampu tapi pintar, enggak akan bisa menjangkau. Ini perlu dicarikan sistem lain, jangan dibebankan ke peserta didik dan orang tua saja. Itu yang bikin mahal," ujarnya kepada merdeka.com, pekan lalu.

Yang miris, tambah Daeng, di Papua dan Sulawesi, beberapa kampus telah membuka fakultas kedokteran. Namun, tidak ada dosen yang mengajar karena keterbatasan sumber daya di wilayah tersebut.

"Itu sampai mahasiswanya misalnya tidak dapat dosen, padahal fakultas itu sudah dibuka tapi tidak ada dosen yang ngajar. Karena enggak ada dosennya, akhirnya diampu oleh universitas lain," ujarnya.

Daeng juga menyebut penghambat jumlah produksi dokter tiap tahun adalah Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPPD) yang diselenggarakan oleh Kemendikbud. Ujian ini dulu dikenal dengan nama Uji Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI).

Hingga 2021, Daeng mengungkapkan ada 3.000 calon dokter yang tidak lulus UKMPPD sehingga mereka tidak bisa mendapat izin praktik atau Surat Tanda Registrasi (STR). Ujian itu, lanjut dia, seharusnya digelar oleh pihak asosiasi pendidikan kedokteran. Tapi praktiknya selama ini dilaksanakan oleh panitia yang dibentuk Kemendikbud Ristek.

"Itu yang enggak lulus, yang mengulang sampai berkali-kali ikut ujian, ada yang sampai 10 kali, ada yang 15 kali. Itu total (3.000 calon dokter) yang terkatung-katung karena tidak lulus ujian yang sifatnya nasional," paparnya.

Khusus untuk dokter spesialis, Daeng mengungkapkan empat bidang yang paling diminati adalah spesialis penyakit dalam, obstetri dan ginekologi (obgin), anak, dan bedah. Masing-masing bidang spesialis itu, jumlahnya saat ini di Indonesia mencapai 4.000 sampai 5.000 dokter.

"Itu masih sedikit untuk kebutuhan masyarakat kita. Harus ada proses percepatan. Nah kalau mau ada percepatan, salah satu strategi itu wahana pendidikan dokter spesialis ditambah," tukasnya.

Rasio Dokter yang Timpang

Berdasarkan perbandingan yang dibuat Badan Kesehatan Dunia (WHO), idealnya, setiap 1.000 jumlah penduduk ada satu dokter. Dengan jumlah penduduk Indonesia mencapai 270 juta lebih, Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengatakan, dibutuhkan 270.000 dokter.

Nyatanya, jumlah dokter yang memiliki surat tanda registrasi (STR) hanya 140.000. Dibutuhkan sebanyak 130.000 dokter lagi. Dengan produksi dokter setiap tahunnya yang hanya 12.000 orang, Menkes menghitung, dibutuhkan waktu 11 tahun untuk mencapai angka ideal seperti yang disebut WHO. Menkes meminta kampus meningkatkan jumlah lulusan Fakultas Kedokteran setiap tahun.

"Ini perlu akselerasi lulusan Fakultas Kedokteran," ujar Menkes dalam pembukaan Muktamar Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI) di Jakarta, Jumat 10 Juni 2022.

Akselerasi yang dilakukan Kemenkes dengan menambah jumlah fakultas kedokteran di provinsi yang belum memiliki fakultas kedokteran seperti di Papua, Maluku, Sulawesi. Kepada perguruan tinggi yang memiliki Fakultas Kedokteran yang sudah mapan, Budi Gunadi meminta bantuan agar dapat mengatasi ketimpangan jumlah dokter di Tanah Air dalam beberapa tahun ke depan.

Sementara Ketua Umum PB IDI 2022-2025 Adib Khumaidi berharap Badan Legislasi DPR segera merampungkan revisi UU 20/2013 tentang Pendidikan Kedokteran (Dikdok) untuk memperbaiki sumber daya manusia di bidang kedokteran.

"Kami mendukung dari apa yang sudah diupayakan dan kami berharap ini segera bisa direalisasikan sebagai bagian dukungan kami, organisasi profesi terhadap upaya perbaikan. Dan tentunya transformasi pendidikan kedokteran dengan melihat masalah-masalah di pendidikan kedokteran saat ini," kata Adib saat rapat dengar pendapat Baleg DPR membahas revisi UU Dikdok di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (13/6).

Dalam rapat yang sama, Ketua Dewan Pertimbangan IDI Ilham Oetama Marsis mengatakan, salah satu alasan pentingnya revisi UU Dikdok bertujuan memenuhi kebutuhan dokter spesialis. Dia mencontohkan, jumlah dokter spesialis obgin yang tersedia hanya 4.900 dokter. Dalam beberapa tahun ke depan dibutuhkan hingga 7.200 dokter obgin. Jika UU Dikdok tidak direvisi, butuh waktu 10-40 tahun untuk memenuhi kebutuhan dokter spesialis obgin.

"Sehingga kita coba dengan UU baru membuat suatu skema atau formula baru untuk memproses percepatan dari pendidikan kedokteran spesialis," kata Marsis.

Selain itu, revisi UU Dikdok juga diharapkan menjadi solusi pemerintah terhadap distribusi dokter dan beasiswa program pendidikan kedinasan.

"Harapannya RUU Dikdok baru menjadi solusi bagi penguatan layanan primer kesehatan, pemerataan distribusi dokter dan kecukupannya dengan program afirmasi, beasiswa program pendidikan kedinasan, program percepatan produksi dokter spesialis. Itu termuat dalam pasal 24 dan 29 RUU Dikdok yang baru," jelas Marsis.

Mahasiswa Miskin Tidak Boleh Ditolak

Pelaksana Tugas (Plt) Dirjen Dikti Kemendikbud Ristek Nizam mengakui mahalnya biaya pendidikan kedokteran di Indonesia. Meski begitu, biaya kuliah di perguruan tinggi negeri (PTN) diatur melalui penetapan Biaya Kuliah Tertinggi (BKT). Besarnya Uang Kuliah Tunggal (UKT) di PTN tidak boleh melampaui BKT.

Nizam menjelaskan, pihaknya mendengarkan masukan-masukan dari PB IDI. "Kita sependapat memang biaya penyelenggaraan pendidikan dokter tidak murah. Karena proses pendidikan dan pemahiran seorang dokter memerlukan proses, sarana-prasarana, dan SDM yang intensif," ujarnya ketika dihubungi merdeka.com, 9 Juni lalu.

Untuk PTN, kata Nizam, UKT yang dibebankan kepada mahasiswa harus disesuaikan dengan kemampuan orang tua. PTN juga wajib menerima mahasiswa dari kelompok tidak mampu paling kurang 20 persen dari kapasitasnya.

"Tidak boleh ada mahasiswa yang ditolak masuk ke PTN karena alasan ekonomi," tegasnya.

Sedangkan untuk kampus swasta, Kemendikbud mengaku tidak bisa melakukan intervensi. Namun, pemerintah membantu mahasiswa PTS melalui program Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP Kuliah). Nizam menyebut, besarnya KIP Kuliah disesuaikan dengan program pendidikan dan kualitas akreditasi masing-masing pergururan tinggi.

"Jadi kalau ada mahasiswa kuliah kedokteran di PTS, bisa mendapatkan beasiswa KIP Kuliah dari pemerintah juga," kata Nizam.

Terkait masukan dari IDI, Ditjen Dikti masih melakukan review dengan menghitung komponen biaya seluruh proses pendidikan dokter berdasar kondisi riil di lapangan. Misal kebutuhan laboratorium, peralatan, bahan habis pakai praktikum, wahana pemahiran di rumah sakit, tenaga dosen hingga dosen klinis.

Proses review, kata Nizam, melibatkan Kemenkes, perguruan tinggi, rumah sakit pendidikan. "Saya juga minta masukan dari IDI, Konsil Kedokteran Indonesia dan LSM Kesehatan," ujarnya.

Jika angka komponen sudah diketahui, diharapkan biaya pendidikan kedokteran bisa diturunkan. Nizam menargetkan, proses review selesai sebelum tahun ajaran baru 2022 dimulai.

"Kami mengimbau agar uang kuliah di FK jangan dibebani dengan biaya-biaya lainnya. Karena pendidikan dokter sendiri membutuhkan biaya yang besar. Kalau masih ditambah untuk menutup biaya pendidikan yang lain, tentu akan memberatkan bagi mahasiswa dan orang tuanya," kata Nizam.

Nizam juga mengklarifikasi perbandingan biaya kuliah kedokteran dengan negara lain yang dia sampaikan saat rapat dengan PB IDI. Menurutnya, biaya kuliah di Indonesia saat ini rata-rata sekitar 1/4 hingga 1/10 dibanding negara maju. Padahal harga peralatan laboratorium dan bahan-bahan habis pakai laboratorium di Indonesia lebih mahal dibanding di luar negeri.

"Pendidikan yang berkualitas membutuhkan biaya yang tidak kecil. Untuk membiayai pendidikan tinggi yang berkualitas tidak mungkin hanya mengandalkan APBN," ujarnya.

Nizam juga menyinggung peran masyarakat membantu pemerintah dalam membiayai pendidikan tinggi. Tugas pemerintah melindungi masyarakat agar tidak ada mahasiswa yang tidak bisa mengikuti kuliah di PTN karena tidak bisa membayar uang kuliah.

"Jadi pembiayaan secara gotong royong, yang mampu membayar sesuai kemampuan, yang tidak mampu dibantu pemerintah, bahkan diberi beasiswa untuk bisa kuliah. Yang tidak boleh adalah jual beli bangku masuk perguruan tinggi," ujarnya.

(mdk/bal)
ATAU
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
Mengenal Sosok Low Siaw Ging, Dokter Dermawan dari Kota Solo yang Meninggal di Usia 89 Tahun

Mengenal Sosok Low Siaw Ging, Dokter Dermawan dari Kota Solo yang Meninggal di Usia 89 Tahun

Selama menjadi dokter, ia sering menyisihkan uang pribadinya untuk biaya berobat pasien yang tidak mampu.

Baca Selengkapnya
Perjuangan Dokter Kandungan Diungkap Istri, Tetap Layani Pasien di Bandara Padahal Mau Liburan

Perjuangan Dokter Kandungan Diungkap Istri, Tetap Layani Pasien di Bandara Padahal Mau Liburan

Diungkap sang istri, dokter tersebut kedapatan tetap melayani kendati tengah berlibur.

Baca Selengkapnya
Dikabarkan Meninggal, Ini Kondisi Dokter Lo Sebenarnya

Dikabarkan Meninggal, Ini Kondisi Dokter Lo Sebenarnya

Ia membenarkan jika dokter Lo Siauw Ging MARS saat ini sedang mendapat perawatan di Rumah Sakit Kasih Ibu (RSKI) Solo.

Baca Selengkapnya
Kamu sudah membaca beberapa halaman,Berikut rekomendasi
video untuk kamu.
SWIPE UP
Untuk melanjutkan membaca.
Kasus Dugaan Pencabulan Istri Pasien Dinaikkan Penyidikan, Dokter MY Bakal Jadi Tersangka?

Kasus Dugaan Pencabulan Istri Pasien Dinaikkan Penyidikan, Dokter MY Bakal Jadi Tersangka?

Cukup banyak alat bukti yang telah dikantongi penyidik, baik didapat dari TKP maupun serahan dari pelapor.

Baca Selengkapnya
Pernah Dilarang Sekolah karena Namanya Dianggap Tak Keren, Pria Nganjuk Ini Berhasil Jadi Dokter yang Dicintai Masyarakat

Pernah Dilarang Sekolah karena Namanya Dianggap Tak Keren, Pria Nganjuk Ini Berhasil Jadi Dokter yang Dicintai Masyarakat

Namanya dianggap terlalu Jawa hingga tidak diizinkan sekolah di institusi pendidikan milik Belanda

Baca Selengkapnya
Tak Perlu Terlalu Lama, Menyusui Bayi Cukup Dilakukan 15-30 Menit Saja

Tak Perlu Terlalu Lama, Menyusui Bayi Cukup Dilakukan 15-30 Menit Saja

Pemberian ASI merupakan hal penting pada bayi. Dalam pemberiannya, dokter anak menyebut cukup dilakukan selama 15-30 menit.

Baca Selengkapnya
Bayi Batuk Tak Perlu Langsung Dibawa ke Dokter, Mengapa?

Bayi Batuk Tak Perlu Langsung Dibawa ke Dokter, Mengapa?

Sejumlah kondisi batuk pada bayi tidak perlu terlalu dikhawatirkan orangtua dan tidak selalu harus diobati.

Baca Selengkapnya
Arti Mata Kedutan Sebelah Kiri Atas, Petanda Baik atau Buruk?

Arti Mata Kedutan Sebelah Kiri Atas, Petanda Baik atau Buruk?

Menurut primbon, mata berkedut bisa saja pertanda baik. Tapi menurut medis, mata berkedut justru sesuatu yang normal, atau bahkan bisa menjadi tanda masalah.

Baca Selengkapnya
Menghilang Bak Ditelan Bumi, Begini Kabar Terkini Penyanyi Cilik Maissy yang Kini Jadi Dokter Cantik

Menghilang Bak Ditelan Bumi, Begini Kabar Terkini Penyanyi Cilik Maissy yang Kini Jadi Dokter Cantik

Begini gaya keseharian Maissy saat menjadi dokter di sebuah rumah sakit.

Baca Selengkapnya