Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Kuasa asing di bisnis obat paten

Kuasa asing di bisnis obat paten ilustrasi obat. © mutantminds.com

Merdeka.com - Mayoritas penduduk Indonesia biasa memanfaatkan obat generik berlogo atau generik bermerek. Awam biasa mengonsumsi bila terserang sakit kepala, mual, atau diare. Belinya pun mudah, cukup di warung atau apotek tersebar di banyak lokasi.

Jenis kedua dan kurang dikenal pasien adalah obat paten. Ini merupakan produk hasil riset khusus teruji klinis untuk penyakit tertentu. Biasanya wajib menggunakan resep dokter. Masalahnya, bagi sebagian orang berurusan dengan obat paten amat menguras isi kantong.

Contohnya Ade Irawan, 35 tahun, warga Kemanggisan, Jakarta Barat. Dia mengaku trauma bila diminta mengingat kejadian pertengahan Januari tahun lalu. Ibunya berusia 62 tahun. Suatu pagi, setelah mengeluh tak enak badan, hanya dalam tiga hari perutnya bengkak. Kesadarannya melemah, bahkan sulit bicara. Terpaksa keluarga merujuk dia ke rumah sakit terdekat.

Diagnosis dokter menyatakan rangkaian gejala itu akibat kekurangan albumin, yakni plasma protein di hati, berfungsi sebagai antioksidan dan mencegah kuman masuk ke pembuluh darah.

Buat menebus cairan kuning ini, pria sehari-hari berprofesi sebagai karyawan bank itu merogoh kocek Rp 1,4 juta untuk satu botol berisi seratus mililiter. Albumin lebih murah berisi 50 mililiter per botol seharga Rp 850 ribu. "Itu cuma buat empat jam, efeknya kurang. Alhasil, pindah rumah sakit," kata Ade kepada merdeka.com pertengahan bulan di sebuah rumah sakit swasta di kawasan Pluit, Jakarta Utara,

Dari rumah sakit rujukan baru, Ade mendapat rekomendasi dari seorang dokter untuk mengganti infus albumin dengan ekstrak ikan gabus cair. Harganya jauh lebih murah, Rp 65 ribu buat dua bungkus kecil.

Dari pengalaman itu, dia rajin mencari tahu bermacam metode alternatif untuk meningkatkan kadar albumin dalam tubuh. Termasuk mengonsumsi putih telur dalam jumlah banyak saban hari. "Tapi kabarnya albumin cair tetap lebih bagus efeknya ke tubuh untuk menggenjot produksi albumin dalam waktu singkat," ucapnya.

Muhammad Reza, 43 tahun, berdomisili di Pangkalan Jati Baru, Cinere, Depok, punya pengalaman lain lagi. Putranya berumur lima tahun mengidap epilepsi. Dokter dulu sempat memberi varian resep Fenitoin, biasa digunakan mengatasi kejang para penderita ayan.

Tapi rupanya tak terlalu ampuh buat sang buah hati karena serangan kejang berulang cukup sering. "Dari terapi selanjutnya, kondisinya lebih baik dengan Topamax," tuturnya.

Persoalannya, biaya menebus obat menguras kantong lelaki cuma bekerja sebagai tenaga keamanan ini. Itu karena Topamax adalah obat paten, produksi Janssen-Cilag, anak usaha Johnson & Johnson, perusahaan farmasi berpusat di Amerika Serikat.

Reza mengaku putranya disarankan menenggak dosis kapsul 50 miligram per hari. Harga untuk enam strip dalam satu dus biasa dia beli hampir Rp 300 ribu. Gajinya cuma Rp 1,5 juta per bulan. "Pusing juga pikir biayanya karena kata dokter terapi masih satu tahun lagi supaya stabil," kata Reza sambil mengelus kening.

Keluarga Ade atau Reza adalah bagian dari 15 persen pasien medis di Indonesia bersinggungan dengan kebutuhan obat produksi perusahaan asing. Itu merujuk keterangan Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia mengenai sebaran pengguna obat di tanah air.

Untuk kasus albumin, belum ada pabrikan lokal memproduksi plasma protein ini. Pasokannya paling banyak datang dari India dan China, selebihnya Eropa.

Keterangan serupa disampaikan dokter Marius Widjajarta, biasa berpraktik di Rumah Sakit Santo Carolus, Jakarta Pusat. Dia menyatakan cerita mahalnya obat paten bakal mudah didapatkan dari pengalaman pengidap alzheimer, diabetes, jantung, dan kanker.

Penyakit-penyakit kronis itu sering membutuhkan asupan obat medis paten atau yang belum disediakan farmasi lokal. Pasien terpaksa membeli obat itu dengan harga jutaan rupiah.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) disokong beleid keluaran Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) mewajibkan setiap negara patuh mengedarkan secara monopolistis obat paten milik perusahaan farmasi tertentu. Kurun waktunya sembilan hingga 20 tahun dengan alasan mendukung investasi swasta sudah menggelontorkan jutaan dolar Amerika buat riset.

Kebijakan WTO disesuaikan keputusan internasional soal pengakuan hak paten gencar dipromosikan ke seluruh dunia pada 1990-an. Baru setelah masa paten tuntas, perusahaan farmasi lain, terutama pabrikan lokal, boleh turut memproduksi. Saat itulah obat itu turun kasta jadi generik.

Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia mengaku tak punya cukup kemampuan mengisi kebutuhan obat paten di dalam negeri. Alasannya riset butuh dana besar.

Sebagai gambaran, sekali riset, termasuk pengujian pada hewan di laboratorium hingga disetujui regulator untuk produksi massal, satu perusahaan bisa menggelontorkan USD 200-400 juta. "Sekarang pasar Indonesia dikuasai farmasi asing 30 persen. Perkiraan saya, dari 30 persen itu, 15 persen minimum adalah obat paten," ujar Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Farmasi Darodjatun Sanusi saat ditemui di Jakarta pertengahan Februari lalu.

Otoritas farmasi di sisi lain pasrah jika struktur harga obat paten sulit diturunkan supaya lebih terjangkau. Sebab, riset adalah sektor terlemah dari struktur industri farmasi Indonesia.

Ketua Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Roy Sparingga mencetuskan muaranya adalah anggaran riset tak memadai, khususnya di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

"Belanja riset penelitian dan pengembangan cuma 0,07 persen dari Produk Domestik Bruto. Saya yakin pemerintah akan melihat ini sebagai persoalan serius," katanya.

Swasta pun mengklaim tidak punya cukup dana buat menganggarkan anggaran riset. Darodjatun lama aktif sebagai direksi Kimia Farma menyatakan kebutuhan riset tak sebanding dengan laba mereka peroleh.

Banyak perusahaan farmasi lokal tidak berani berjudi menggelar riset obat. Dia beralasan pertumbuhan bisnis obat di Indonesia mencapai sembilan persen tahun lalu, tetapi mayoritas pemain lokal hanya mencatatkan laba delapan persen, jauh lebih rendah dari ceruk pasar.

Ini karena laba 70 persen datang dari bisnis obat paten. Sedangkan mayoritas perusahaan lokal memperebutkan sisa 30 persen pangsa obat generik selisih keuntungannya tipis. "Jadi kemampuan kita sangat kecil untuk riset," kata Darodjatun.

Marius, Direktur Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI), turut mengakui peliknya persoalan obat paten. Dia melihat sulit bagi pemerintah mencari celah supaya farmasi asing bersedia menurunkan harga obat bagi pasien kronis. Apalagi, struktur harga ini disokong aturan internasional mengikat regulator di Indonesia. "Harga obat paten itu tidak bisa diintervensi."

(mdk/fas)
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
Mengintip Dapur Produksi Bawang Goreng di Kampung Jaha yang Beromzet Ratusan Juta per Bulan
Mengintip Dapur Produksi Bawang Goreng di Kampung Jaha yang Beromzet Ratusan Juta per Bulan

Kampung Jaha terkenal sebagai sentra pengrajin bawang goreng di Bekasi.

Baca Selengkapnya
Pabrik Obat Berusia 2.800 Tahun Ditemukan di Dalam Kuil Kuno, Canggih Pada Masanya
Pabrik Obat Berusia 2.800 Tahun Ditemukan di Dalam Kuil Kuno, Canggih Pada Masanya

Pabrik ini ditemukan di dalam kompleks kuil di kota kuno Trakia, Turki.

Baca Selengkapnya
12 Cara Meningkatkan Produksi ASI secara Alami dan Efektif
12 Cara Meningkatkan Produksi ASI secara Alami dan Efektif

Sejak lahir hingga usia enam bulan, ASI eksklusif dianggap sebagai makanan terbaik untuk bayi. Namun, banyak ibu yang merasa cemas tentang kecukupan ASI.

Baca Selengkapnya
Kamu sudah membaca beberapa halaman,Berikut rekomendasi
video untuk kamu.
SWIPE UP
Untuk melanjutkan membaca.
Selain Memperbanyak ASI, Ini 11 Khasiat Daun Katuk untuk Kesehatan
Selain Memperbanyak ASI, Ini 11 Khasiat Daun Katuk untuk Kesehatan

Daun katuk, dengan bentuknya yang lonjong dan corak keperakan di bagian tengah, biasanya diolah menjadi sayur bening bersama jagung manis dan wortel.

Baca Selengkapnya
Dulu Jualan di Kaki Lima, Kini Eks Pegawai BUMN Ini Sukses Punya Pabrik Kerupuk Kulit, Omzet Rp700 Juta Perbulan
Dulu Jualan di Kaki Lima, Kini Eks Pegawai BUMN Ini Sukses Punya Pabrik Kerupuk Kulit, Omzet Rp700 Juta Perbulan

Kisah pengusaha kerupuk kulit yang memulai bisnis dengan berjualan di pinggir jalan hingga dapat omzet ratusan juta.

Baca Selengkapnya
Jalankan Bisnis Bareng Sejak Kuliah, Pasutri Asal Malang Mengaku Rezekinya Mengalir Deras setelah Punya Anak
Jalankan Bisnis Bareng Sejak Kuliah, Pasutri Asal Malang Mengaku Rezekinya Mengalir Deras setelah Punya Anak

Saat pertama kali berkenalan, keduanya sama-sama memiliki latar belakang ekonomi yang sulit.

Baca Selengkapnya
Ternyata, Kenaikan PPN 12 Persen Jadi Tertinggi di Asia Tenggara
Ternyata, Kenaikan PPN 12 Persen Jadi Tertinggi di Asia Tenggara

Kenaikan PPN dengan menggunakan single tarif dapat menyebabkan semakin menurunnya daya saing industri.

Baca Selengkapnya
Curhat Pengusaha Minuman Ringan Makin Terpuruk: Kondisi Industri Ini Sangat Menyedihkan
Curhat Pengusaha Minuman Ringan Makin Terpuruk: Kondisi Industri Ini Sangat Menyedihkan

Selama masa pandemi pada 2020-2021 merupakan masa-masa sulit bagi industri minuman di dalam negeri.

Baca Selengkapnya
Kebun Sawit Terluas di Dunia Ternyata Ada di Indonesia, Ini Dia Perusahaan Pengelolanya
Kebun Sawit Terluas di Dunia Ternyata Ada di Indonesia, Ini Dia Perusahaan Pengelolanya

Kebun sawit terbesar di dunia seluas 586 ribu Ha dan diharapkan menyentuh 708 ribu Ha dalam satu dasawarsa.

Baca Selengkapnya