Beda Soekarno dan SBY saat hadapi media
Merdeka.com - Untuk kesekian kalinya Presiden SBY bertemu dan berdiskusi dengan para pemimpin redaksi yang tergabung dalam Forum Pemred. Kali ini yang menjamu adalah Chairul Tanjung , pemilik CT Corp, yang juga Ketua Dewan Ekonomi Nasional. Acara bincang-bincang itu digelar di Gedung Bank Mega, Senin (10/3) kemarin.
Jika dibandingkan dengan presiden lain, SBY adalah presiden yang rajin bertemu pemimpin redaksi. Megawati juga sering bertemu, tetapi biasa dengan kelompok kecil, dan tertutup. Boleh dibilang semua pemimpin redaksi adalah kawan Gus Dur , tetapi ketika jadi presiden, dia tidak pernah bikin acara khusus buat pemimpin redaksi.
Habibie lain lagi. Dia mengaku tidak pernah membaca koran atau majalah setiap pagi. Dia tidak peduli dengan pemberitaan media. Dia juga tak berminat untuk berakrab-akrab dengan pemimpin redaksi. Bahkan para pimpinan Republika –yang dikenal sebagai medianya ICMI dan Habibie – tidak lagi bisa bertemu Habibie secara leluasa, setelah Habibie jadi presiden.
Dari sekian banyak presiden yang pernah kita miliki, Soekarno tercatat sebagai presiden paling dekat dan akrab dengan pimpinan redaksi. Hal ini bisa kita lihat dari catatan para pemimpin redaksi tempo dulu. Presiden Soekarno punya acara rutin bercengkerama dengan para pemimpin redaksi. Mereka tak hanya saling kritik urusan politik, tetapi juga membahas hal-hal yang sifatnya pribadi.
Lalu apa beda SBY dengan Soekarno dalam berhubungan dengan para pemimpin redaksi?
Pertama, hubungan Soekarno dengan para pemimpin redaksi boleh dibilang lebih emosional. Ketika mereka bercengkrama di istana, Soekarno banyak mengumbar cerita pribadi; demikian juga sebaliknya para pemimpin redaksi. Kesamaan pengalaman dalam masa revolusi dan masa-masa sulit mempertahankan Republik, menjadi salah satu faktor perekat mereka.
Ini berbeda dengan SBY dan para pemimpin redaksi sekarang. Di satu pihak, SBY dibesarkan dalam tradisi militer yang mengedepankan tata krama daripada substansi pembicaraan; di lain pihak, para pemimpin redaksi adalah orang-orang yang berpikir bebas dan cenderung tidak mau diatur. Keduanya memang sama-sama dibesarkan oleh Orde Baru, tetapi gaya penyikapannya saja yang tampak beda.
Kedua, jika membaca catatan Rosihan Anwar dan Mochtar Lubis, para pemimpin redaksi sering berdebat serius dengan Soekarno , tidak hanya soal-soal sosial politik aktual, tetapi juga soal politik kebangsaan. Mereka adu argumentasi berdasar bacaan dan aliran masing-masing. Sedang kalau bertemu SBY , para pemimpin redaksi hanya bertanya layaknya reporter bertanya kepada narasumber. Tentu tidak gampang untuk adu argumentasi karena SBY tidak membuka ruang itu. Yang terjadi adalah SBY berbicara apa saja, setelah menjawab pertanyaan para reporter senior.
Ketiga, seperti disampaikan SBY sendiri, dia berjanji akan semakin intensif bertemu dengan pemimpin redaksi. Kebetulan saja, atau memang direncanakan, intensitas bertemu pemimpin redaksi itu ternyata bersamaan dengan semakin banyaknya masalah yang dihadapi oleh SBY selaku ketua partai. Tak heran jika SBY banyak bercerita soal politik dalam arti permainan, bukan politik dalam arti kebijakan.
Itu kontras dengan topik pembicaraan yang dibawakan Soekarno bersama para pemimpin redaksi yang secara rutin diundang di istana. Mungkin kebetulan juga, karena Soekarno tidak punya partai politik, maka dia jarang bicara soal partai politik. Jika pun bicara, tentu saja isinya kritik karena Soekarno adalah antipartai. Tapi bukan berarti tidak ada pembicaraan politik dalam arti permainan, karena sebagai politisi Soekarno tetap punya kawan dan musuh. Hanya saja porsi politik kebijakan tetap lebih dominan.
Keempat, meskipun Soekarno akrab dengan para pemimpin redaksi, namun pemerintahannya tidak segan untuk membredel media dan memenjarakan pemimpin redaksinya. Tentu SBY tidak mungkin melakukan hal ini. Selain karena kebebasan pers dijamin konstitusi dan undang-undang, SBY sendiri pada dasarnya cinta media. Atau setidaknya dia merasa berutang budi sama media.
Menjelang Pemilu 2004, popularitas SBY naik sehingga dia terpilih menjadi presiden. Salah satu faktornya, media banyak menyampaikan berita positif tentang dirinya. Ini yang terjadi menjelang Pemilu 2004. Bahwa kondisinya kini lain, maka bisa dipahami jika SBY berusaha mendekati media dengan misi jelas: jika tidak bisa menyampaikan sisi-sisi positif, setidaknya jangan terlalu banyak menyampaikan sisi-sisi negatif.
(mdk/tts)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Sebuah video merekam ketika Soeharto didampingi oleh wakil presiden (wapres) eks jenderal TNI bintang 4. Momen nostalgianya berhasil menarik perhatian publik.
Baca SelengkapnyaMerdeka.com merangkum informasi tentang kata-kata bijak Soekarno tentang perjuangan yang perlu Anda ketahui.
Baca SelengkapnyaSurya Paloh dan Jokowi diketahui menggelar pertemuan di Istana Kepresidenan, Jakarta, Minggu (18/2).
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Presiden Joko Widodo melantik dua menteri baru pada Rabu, 21 Februari 2024.
Baca SelengkapnyaPotret lawas Presiden SBY saat hadir di Hari Pramuka beberapa tahun lalu sempat mencuri perhatian, terlebih ada sosok Presiden Jokowi yang menerima penghargaan.
Baca SelengkapnyaPresiden Soeharto memimpin langsung Upacara HUT Kemerdekaan RI ke-24 di Istana Merdeka, Jakarta pada 17 Agustus 1969.
Baca SelengkapnyaJarang tersorot, berikut adalah potret kebersamaan enam anak Presiden Soeharto.
Baca SelengkapnyaSuhartoyo meminta semua pihak untuk hadir dan mendengrkan kesaksian dari empat menteri terkait.
Baca SelengkapnyaIsinya seputar profesionalisme, fokus, hingga keluarga.
Baca Selengkapnya