Rapuhnya Aliansi DI/TII dan RI
Merdeka.com - Demi meneruskan perjuangan melawan Belanda, unsur-unsur Republik Indonesia di Jawa Barat sempat melakukan kerja sama politik dengan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia. Namun aliansi itu tak berlangsung lama.
Penulis: Hendi Jo
Perjanjian Renville resmi ditandatangani oleh Indonesia dan Belanda pada 17 Januari 1947. Dengan berlakunya kesepakatan tersebut, otomatis unsur-unsur Republik Indonesia (sipil dan militer) harus meninggalkan wilayah-wilayah yang diklaim sebagai milik Belanda. Salah satunya adalah Jawa Barat.
Di salah satu provinsi terbesar RI itu, nyatanya tak semua unsur Republik enyah. Ada beberapa organ perlawanan yang secara sengaja meninggalkan diri. Di antaranya adalah Satoean Pembrontak 88 (SP 88) yang merupakan sisa-sisa pasukan Siliwangi, Barisan Banteng (nasionalis), Bamboe Roentjing (murbais) dan Tentara Islam Indonesia (TII) yang bercorak Islamis.
"Mereka terus melanjutkan perlawanan melawan Belanda," ungkap sejarawan Robert C. Cribb.
Tidak aneh, kendati Divisi Siliwangi sudah meninggalkan Jawa Barat sejak Februari 1948, namun situasi keamanan di sana tidak juga pulih. Alih-alih menjadi aman, berbagai gangguan terhadap pemerintah sipil bentukan Belanda malah semakin merajalela. Bahkan bisa dikatakan, polisi dan tentara Belanda semakin tersudut di pos masing-masing akibat serangan 'kaum gerilyawan liar'.
Panglima Tentara Belanda Kesal
Panglima Tertinggi Tentara Belanda di Indonesia, Letnan Jenderal S.H. Spoor dibuat berang dan kesal. Dia lantas mencopot Mayor Jenderal Durst Britt dari jabatannya sebagai Komandan Divisi 7 December (Divisi C) dan menggantikannya dengan Mayor Jenderal (KNIL) E. Engles.
"Mayor Jenderal Engles menemukan kenyataan pahit Jawa Barat merupakan ‘het centrum van de guerilla-activiteit in de Archipel’ (pusat kegiatan gerilya di Nusantara)," tulis Himawan Soetanto dalam Long March Siliwangi.
Tapi keadaan tak cepat menjadi aman. Empat organ gerilyawan pro Republik tersebut, pada 17-19 November 1948 malah berhasil membentuk Pemerintah Rakjat Djawa Barat (PRDB), suatu pemerintah daerah bayangan dari pemerintah yang didukung Belanda. Mereka lantas mengangkat Oya Soemantri sebagai pimpinan.
"Bersamaan dengan didirikannya PDRB maka dibangun pula sayap militer-nya yang dinamakan Divisi 17 Agustus, dipimpin oleh Letnan Kolonel Muhidin Nasution dari Bamboe Roentjing,” ungkap Cribb.
Tak Kompak
Meskipun berhasil mengacaukan situasi Jawa Barat, internal PRDB dan Divisi 17 Agustus sejatinya tak pernah menemukan bentuk perlawanan yang kompak terhadap posisi Belanda. Selain ideologi, perbedaan taktik dan pandangan politik pun menjadi masalah.
Sebagai contoh, Bamboe Roentjing sudah merasa jika Divisi 17 Agustus adalah kekuatan militer nyata untuk menggantikan Divisi Siliwangi yang hijrah ke kantong-kantong Republik di Jawa Tengah dan Yogyakarta.
Sebaliknya, Barisan Banteng dan Satoean Pemberontak 88 memaknai perlawanan mereka hanya sebatas perjuangan untuk mengisi kekosongan kekuasaan semata. Sementara menurut C.van Dijk dalam Darul Islam, Sebuah Pemberontakan, Tentara Islam Indonesia memiliki agenda tersendiri yakni menjadikan Jawa Barat sebagai wilayah Darul Islam yang tentu saja harus terbebas dari pengaruh Republik.
Pada 19 Desember 1948, Belanda melakukan agresi militernya yang ke-2. Situasi tersebut mengharuskan Divisi Siliwangi kembali ke Jawa Barat sesuai perintah kilat Panglima Besar Jenderal Soedirman. SP 88 dan Barisan Banteng menyambut baik kedatangan kembali Divisi Siliwangi, sebaliknya Tentara Islam Indonesia dan Bamboe Roentjing bersikap dingin-dingin saja.
Ketidakkompakan itu menjadikan aliansi itu menjadi rapuh. Klimaksnya terjadi awal Agustus 1949 saat pemerintah Indonesia memerintahkan seluruh kekuatan bersenjatanya melakukan gencatan senjata menyusul diberlakukannya secara efektif klausul dalam Perjanjian Roem-Royen.
Tentara Islam Indonesia dan Bamboe Roentjing menolak mentah-mentah kesepakatan itu. Terutama pihak Bamboe Runtjing yang memiliki pendirian Indonesia harus merdeka seratus persen.
Bubarnya PRDB dan Divisi 17 Agustus tak bisa dicegah. Jika Satoean Pemberontak 88 dan Barisan Banteng meleburkan diri dalam Divisi Siliwangi maka Bamboe Roentjing dan Tentara Islam Indonesia meneruskan perlawanan. Ketika Belanda enyah dari Indonesia pada 1950, perlawanan kedua organ itu malah ditujukan kepada pemerintah Sukarno sendiri. Mulailah perang saudara mewarnai hari-hari orang Indonesia hingga 1962.
(mdk/noe)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Presiden Jokowi bahkan melawat langsung untuk mendorong perdamaian antara Rusia dan Ukraina.
Baca SelengkapnyaMenurutnya, dunia internasional melihat Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga dunia menjalankan pemilu yang tidak cacat dan bermasalah.
Baca Selengkapnya446.219 prajurit TNI secara serentak di seluruh Indonesia dikerahkan untuk mendukung kelancaran pesta demokrasi jelang hari pencoblosan 14 Februari.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Konflik geopolitik di Timur Tengah sejauh ini tidak berpengaruh pada stabilitas keamanan di Indonesia
Baca SelengkapnyaKisah sedih para tahanan wanita asal Belanda usai tentara Jepang berhasil menguasai Nusantara.
Baca SelengkapnyaAHY, menilai bergabungnya Partai Demokrat kembali ke pemerintahan sebagai bentuk amanah.
Baca SelengkapnyaAHY menegaskan ingin fokus memenangkan Partai Demokrat dan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka di Pemilu 2024.
Baca SelengkapnyaMereka menunggu giliran untuk bisa bertemu langsung dengan Presiden Jokowi dan Ibu Negara Iriana.
Baca SelengkapnyaPerjuangan dan semangat yang dimiliki pasukan tentara Indonesia melawan Belanda demi mempertahankan kemerdekaan begitu besar dalam peristiwa ini.
Baca Selengkapnya