Benarkah Perang Rusia-Ukraina Pengaruhi Pasokan Mi Instan di Indonesia?
Merdeka.com - Selama sepekan terakhir, karyawan minimarket asal Indonesia, Muhammad Nasir, disibukkan dengan banyak pertanyaan.
Para pelanggan di Medan, Sumatera Utara ingin tahu hal yang sama: Mengapa stok mi instan hampir tidak ada yang tersisa di rak?
"Orang-orang datang ke kami dan menanyakan mengapa tidak ada Indomie," kata Nasir kepada Al Jazeera.
"Kami masih punya stok merek lain, tapi Indomie sejauh ini yang paling terkenal dan kami belum ada pengiriman stok baru dalam beberapa minggu ini. Kami tidak tahu harus bilang apa ke mereka."
Nasir menambahkan, toko-toko di seluruh kota juga terdampak, hanya tersisa beberapa paket.
Indomie disebut sebagai pionir mi instan di Indonesia dan memproduksi sebanyak 19 miliar bungkus per tahun untuk dijual di lebih dari 100 negara.
Tapi sekarang, perang di Ukraina, salah satu pemasok gandum terbesar Indonesia, menimbulkan kekhawatiran dapat berdampak pada pasokan mi instan yang bahan dasarnya gandum. Sejauh ini, dampak perang Rusia-Ukraina terhadap pasukan gandum Indonesia belum jelas, walaupun bukti dari toko-toko dan restoran lokal menunjukkan mi instan semakin sulit ditemukan.
Ukraina mengekspor hampir 3 juta ton gandum dan meslin - sereal yang merupakan campuran gandum dan gandum hitam - ke Indonesia pada 2020, menjadikannya pemasok terbesar gandum ke Indonesia menurut BPS. Pada tahun yang sama, Argentina mengekspor 2,63 juta ton gandum dan meslin ke Asia Tenggara, sementara Australia mengekspor hampir 831.000 ton.
Awal bulan ini, Presiden Indonesia Joko Widodo memperingatkan harga pangan dunia naik akibat konflik di Ukraina, berdampak pada pasar pangan lokal.
"Kita harus menangani perekonomian dengan hati-hati saat ini," kata Jokowi.
Fariz, karyawan di warung Bakso Anjar Family di Medan, menyampaikan kepada Al Jazeera, walaupun stok Indomie tampak berlimpah di pasar lokal di mana warungnya membeli mi dalam jumlah besar, harganya naik dari Rp 98.000 per boks berisi 40 bungkus menjadi Rp 102.000 dalam beberapa pekan terakhir.
Fariz mengatakan warungnya tidak kesulitan mencari stok Indomie.
"Tapi kalau itu terjadi, kami akan cari alternatif dari merek lain dan sumber lain jika diperlukan seperti mi yang diproduksi lokal," ujarnya.
"Kami tidak khawatir," lanjutnya.
Indomie tidak menanggapi permintaan komentar apakah perang di Ukraina berdampak pada pasokan gandum maupun dalam produksinya.
Wakil Direktur Program Pangan Dunia (WFP) untuk Indonesia, Jennifer Kim Rosenzweig mengatakan pihaknya sedang memantau situasi apakah situasi ini berdampak pada pasokan.
"Saat ini kami tidak tahu apa dampaknya terhadap harga gandum atau produksi terkait," ujarnya kepada Al Jazeera.
Namun menurut asisten peneliti CSIS, Lestary J Barany, ada bukti bahwa pasokan gandum Indonesia mengalami tekanan.
"Ketika Rusia menginvasi Ukraina, aktivitas di pelabuhan-pelabuhan Ukraina terhenti," jelasnya kepada Al Jazeera.
"Banyak lumbung gandum berlokasi di timur, dekat wilayah yang diduduki pasukan Rusia. Sehingga, ancaman dari sisi pasokan bahan-bahan ini menjadi lebih nyata."
Lestary mengatakan, konsumsi tepung terigu di Indonesia naik sekitar 5 persen pada 2021, menurut Asosiasi Produsen Tepung Indonesia (Aptindo).
"Gandum impor dari Ukraina digunakan secara meluas oleh produsen mi, roti, dan tepung terigu," ujarnya.
Sumber pangan lokal
Dicky Senda, penulis dan aktivis pangan dari Mollo, NTT mengatakan kekacauan ini seharusnya dimanfaatkan untuk refleksi diri terkait sumber-sumber pangan Indonesia.
"Produk lokal seperti jagung dianggap makanan kelas dua sedangkan beras, banyak yang diimpor, dianggap makanan kelas satu di Indonesia," jelasnya kepada Al Jazeera.
"Di Mollo, kami berusaha memulai sebuah gerakan seputar potensi produk lokal, dengan pesan bahwa masyarakat harus berusaha konsumsi pangan lokal."
Senda mengatakan harga pangan lokal tidak memberikan insentif banyak bagi petani untuk menanam alternatif bahan pokok impor seperti jagung dan singkong.
"Saat ini, jagung lokal harganya Rp 3.000 per kilo sedangkan beras Rp 12.000 per kilo, jadi petani jagung harus menjual empat kilo jagung agar nilainya sama dengan sekilo beras," jelasnya.
Dicky mengatakan, fakta bahwa impor bisa terdampak peristiwa seperti perang harus dijadikan peringatan bagi Indonesia agar tidak bergantung pada pangan impor.
"Perang mungkin jauh tapi bisa mempengaruhi apa yang ada di atas piring kita," pungkasnya.
(mdk/pan)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Bantah Sindiran Anies, Airlangga Tegaskan Indonesia Dianggap Leader Negara di Selatan
Presiden Jokowi bahkan melawat langsung untuk mendorong perdamaian antara Rusia dan Ukraina.
Baca SelengkapnyaJokowi Sebut Pupuk Langka Imbas Perang Ukraina-Rusia, Ganjar: Ada Sumber Bahan Pupuk Negara Lain
Ganjar menyarankan untuk mencari negara alternatif sebagai pemasok bahan
Baca SelengkapnyaDi Depan Petinggi TNI, Jokowi Curhat Sulitnya Cari Pasokan Beras ke Luar Negeri
Jokowi mengatakan kondisi ini disebabkan ketidakpastiaan ekonomo dan konflik geopolitik yang tak kunjung usai.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Redam Konflik Papua, Kasad Tak akan Gunakan Pendekatan Tempur
Konflik di Papua terjadi karena perbedaan paham yang menyulut untuk memisahkan diri dari Indonesia.
Baca SelengkapnyaWarga Indonesia Beli Gula & Kopi Jalan Kaki ke Malaysia, Prajurit TNI Langsung Memeriksanya 'Lain kali belanja di Indonesia Ya'
Masyarakat perbatasan di Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat memilih belanja kebutuhan rumah tangga ke Malaysia dengan berjalan kaki.
Baca SelengkapnyaMacam-Macam Konflik, Penyebab, dan Contohnya
Konflik adalah suatu proses sosial yang terjadi ketika ada perbedaan pandangan atau kepentingan antara dua pihak atau lebih.
Baca SelengkapnyaPemerintah Waspadai Konflik Timur Tengah Hingga Pelemahan Ekonomi China
Ada beberapa isu yang menjadi perhatian pemerintah di tahun 2024.
Baca SelengkapnyaPeringkat Paspor Indonesia di Urutan Ke-66 Dunia, Kalah dari Timor Leste, Malaysia dan Thailand
Dalam indeks tersebut menampilkan pemegang paspor Indonesia bisa bebas masuk visa ke 78 negara.
Baca SelengkapnyaMenko Polhukam: Perlu Hati-hati Menangani Konflik Laut China Selatan
"Perlu kehati-hatian dalam menangani konflik dan menyikapi dinamika situasi yang berkembang," kata Menko Polhukam
Baca Selengkapnya