Profil
Willibrordus Surendra Broto Rendra
Willibrordus Surendra Broto Rendra atau populer dengan nama W.S. Rendra dikenal sebagai sastrawan ternama yang mendapat julukan 'si Burung Merak' dari sahabatnya, (alm.) Mbah Surip. Kabarnya, inisial W.S berubah menjadi Wahyu Sulaiman, setelah Rendra menjadi seorang muslim.
Rendra adalah anak dari pasangan R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah. Ayahnya merupakan seorang dramawan tradisional dan guru Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa di sekolah Katolik, Solo, sedangkan ibunya adalah penari serimpi di keraton Surakarta. Rendra semula adalah seorang Kristen, tetapi kemudian ia menjadi muallaf yang memeluk Islam ketika menikahi istrinya yang kedua.
Pria yang pernah menikah 3 kali ini mulai mengenal sastra saat kuliah di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ia aktif menulis ratusan cerpen dan esai di berbagai majalah, ia juga menciptakan sajak dan lagu.
Bakat sastra Rendra sudah mulai terlihat ketika ia masih duduk di bangku SMP. Saat itu ia menunjukkan kemampuannya dengan menulis puisi, cerita pendek dan drama untuk berbagai kegiatan sekolah. Ia juga mementaskan beberapa drama karyanya dan tampil sebagai pembaca puisi yang sangat berbakat.
Puisi Rendra berhasil dipublikasikan ke media massa untuk pertama kalinya di majalah Siasat pada 1952. Setelah itu puisi-puisinya lancar mengalir muncul di majalah lain, terutama majalah era 60-an dan 70-an, seperti Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi, dan Siasat Baru. Selain di dalam negeri, karya-karya Rendra juga terkenal di luar negeri. Banyak karyanya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, di antaranya bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Jepang dan India.
Pria asal Solo ini juga aktif mengikuti festival-festival di luar negeri, di antaranya The Rotterdam International Poetry Festival (1971 dan 1979), The Valmiki International Poetry Festival, New Delhi (1985), Berliner Horizonte Festival, Berlin (1985), The First New York Festival Of the Arts (1988), Spoleto Festival, Melbourne, Vagarth World Poetry Festival, Bhopal (1989), World Poetry Festival, Kuala Lumpur (1992), dan Tokyo Festival (1995).
Sementara itu, drama pertama Rendra yang ia pentaskan ketika SMP adalah Kaki Palsu. Kemudian ketika SMA, drama Orang-orang di Tikungan Jalan berhasil mendapat penghargaan dan hadiah pertama dari Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta.
Rendra sempat mengecap pendidikan di Amerika pada tahun 1964-1967. Sepulangnya dari Amerika Serikat, Rendra sempat mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta pada tahun 1967 dan juga Bengkel Teater Rendra di Depok. Rendra juga aktif membintangi sejumlah pertunjukan teater, yang di antaranya adalah Orang-orang di Tikungan Jalan, SEKDA, Mastodon dan Burung Kondor, Hamlet, Macbeth, Oedipus Sang Raja, Kasidah Barzanji dan Perang Troya Tidak Akan Meletus.
Prof. A. Teeuw, di dalam bukunya Sastra Indonesia Modern II (1989), berpendapat bahwa dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern, Rendra tidak termasuk ke dalam salah satu angkatan atau kelompok seperti Angkatan 45, Angkatan 60-an, atau Angkatan 70-an. Dari karya-karyanya terlihat bahwa ia mempunyai kepribadian dan kebebasan sendiri.
Rendra tutup usia pada 6 Agustus 2009. Ia menghembuskan napasnya yang terakhir setelah sebelumnya sempat dirawat di RS Harapan Kita dan RS Mitra Keluarga, Depok, akibat komplikasi.