Pengusaha Minta Ada Skema Tak Bekerja Tak Dibayar ke Buruh, Begini Respons Kemnaker
Merdeka.com - Para pengusaha meminta Kementerian Ketenagakerjaan menerbitkan aturan berisi fleksibilitas jam kerja dengan prinsip no work no pay atau tidak bekerja tidak dibayar. Permintaan itu digaungkan untuk mencegah adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal.
Hal ini disampaikan langsung Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Anne Patricia Sutanto pada rapat Komisi IX DPR RI Rapat Kerja dengan Menteri Ketenagakerjaan, Selasa (8/11) lalu.
Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan, Anwar Sanusi mengatakan, pemerintah sedang membicarakan lebih lanjut terkait skema ini. Pihaknya juga sedang mempertimbangkan semuanya.
"Ya artinya kalau permintaan mereka tentunya kita sedang godok, kita juga sedang pertimbangkan semuanya karena kan kalau kita berbicara masalah terkait ketenagakerjaan. Itu kan dari dua sisi harus kita perhatikan dari sisi pekerja, dari sisi pengusaha tentunya kita carikan solusi yang terbaik," ujar ANwar, kepada media, Jakarta, Kamis (10/11).
Oleh karena itu, pihaknya akan melakukan dialog sosial bipartit untuk menghindari PHK di tengah dinamika perekonomian. Pihaknya juga siap untuk mendampingi semua pihak tersebut dalam mencari win-win solution.
"Apapun lah, mudah-mudahan kita bisa tentunya mengantisipasi apapun dengan kebijakan sebaik-baiknya," jelas Anwar.
Pihaknya akan terus mempertimbangkan banyak aspek dan dari sisi lainnya. "Kita sendiri kan juga baru menerima, artinya kita akan mempelajari artinya usulan itu kita akan mempertimbangkan banyak aspek. Tadi saya katakan ini kan usulan satu sisi, kita kan juga harus mempertimbangkan sisi yang lain. Pokoknya gini, apapun kebijakan itu prinsipnya kita mencari solusi terbaik dari segala pilihan yang ada," tambahnya.
Tergantung Kesepakatan
Staf Khusus Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Dita Indah Sari, mengatakan kebijakan itu sebenarnya tergantung pada kesepakatan atau perjanjian antara perusahaan dan pekerja atau buruh itu sendiri
"Tergantung serikat pekerjanya di perusahaan masing-masing. Pokoknya serikat pekerja yang di perusahaan itu setuju, kita setuju. Kuncinya di situ," kata Dita saat ditemui di kantor Kementerian Ketenagakerjaan, Kamis (10/11).
Dia menjelaskan, setiap pekerja atau buruh yang memulai kerja pada satu perusahaan, biasanya terdapat perjanjian kerja yang disepakati kedua belah pihak. Jika akhirnya perusahaan ingin menerapkan prinsip no work no pay, berarti perusahaan tersebut harus memperbaharui perjanjian kerja dengan pekerja/buruh.
"Kan setiap perusahaan itu, setiap bekerja itu ada perjanjian bersama. Nah, di situ kan ada standar-standar, berarti harus membahas standar itu kan. Maka harus bikin perjanjian baru dong. Kalau pekerja ngerti dan paham situasi perusahaan, yaudah deh kita bikin perjanjian baru daripada kita di PHK atau daripada kita kehilangan pekerjaan. Ya gak apa-apa itu yang terbaik," jelasnya.
Tidak Ada Aturan
Sejauh ini, Kementerian Ketenagakerjaan tidak mengatur kebijakan tersebut. Dia menegaskan kembali, bahwa kebijakan itu seharusnya ada di tangan pengusaha dan pekerja/buruh yang bersangkutan.
"Enggak, sejauh ini belum. Pada prinsipnya pertama waktunya harus terbatas, jadi no pay ini misalnya jangan sampai 2024 dong, jelas kapan, misal (pengusaha) bikin kesepakatan dengan buruh, yaudah no pay buruhnya setuju 6 bulan kah atau 8 bulan kah. Di dalam perjanjian itu harus tercantum batas waktu, begitu batas waktunya selesai kembali kepada perjanjian yang asli," ungkapnya.
Di samping itu, dia juga menyebut tidak semua sektor yang layak menerapkan prinsip no work no pay. Menurut dia, yang layak menerapkan prinsip tersebut adalah sektor industri yang mengalami gangguan.
"Tidak semua sektor. Kan ada sektor yang tumbuhnya positif, yaitu sawit, tambang, kan itu bagus-bagus lho tumbuhnya. No pay itu yang ordernya kurang-kurang itu lah, garmen, tekstil itu wajar. Kalau nikel, timah, ikut-ikutan makannya jangan, buruhnya juga harus kritis dong jangan disamain sawit sama sepatu," pungkasnya.
Reporter: Tira Santia
Sumber: Liputan6.com
(mdk/idr)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Kemnaker Terima 1.475 Laporan Terkait THR yang Melibatkan 930 Perusahaan
Kementerian Ketenagakerjaan menerima 1.475 pengaduan terkait THR yang diadukan pegawai perusahaan swasta.
Baca SelengkapnyaSengketa Pemilu Seharusnya Dibawa ke MK, Bukan Diwacanakan ke Hak Angket
Sebaiknya MK difungsikan agar proses dari pemilu cepat selesai, legitimasi rakyat diterima dan pemerintahan bisa berjalan.
Baca SelengkapnyaKinerjanya Dikritik Megawati, Ini Tanggapan Bawaslu
Bawaslu memastikan, mereka telah menjalankan apa yang menjadi tugasnya sebagai pengawas Pemilu.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Pemerintah Bantah Kenaikan Harga dan Kelangkaan Beras Akibat Program Bansos Pangan, Begini Penjelasannya
Pemerintah membantah kenaikan harga dan kelangkaan beras karena program bansos pangan yang aktif dibagikan belakangan ini.
Baca SelengkapnyaSegini Santunan dari Pemerintah untuk Korban Meninggal Kecelakaan KA di Cicalengka
Besaran dana santunan ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan RI No.15 Tahun 2017.
Baca SelengkapnyaPemerintah Berencana Setop Sementara Penyaluran Bansos
Pemerintah mempertimbangkan untuk menghentikan sementara penyaluran bantuan pangan beras saat hari tenang hingga pencoblosan pemilu yakni 11-14 Februari 2024.
Baca SelengkapnyaSidang Perkara Penganiayaan Santri hingga Tewas di Kediri, Terungkap Pelaku yang Intens Aniaya Korban
Dua santri di Kediri, yang didakwa menganiaya rekannya berinisial BBM (14) hingga tewas menjalani sidang dengan agenda pemeriksaan saksi.
Baca SelengkapnyaIngat, Perusahaan Tak Bayar THR Karyawan 7 Hari Sebelum Lebaran Bakal Kena Denda
Denda 5 persen ini tentunya akan diberikan kepada pekerja yang belum mendapatkan THR dari waktu yang ditetapkan pemerintah.
Baca SelengkapnyaPengamat Soal Rencana Hak Angket Pemilu: Keliatannya Layu Sebelum Berkembang, akan Diblok Koalisi Pemerintah
"Keliatannya bisa jadi usulan hak angket ini akan layu sebelum berkembang, akan diblok, ya akan di bendung oleh kubu koalisi pemerintahan Jokowi,"
Baca Selengkapnya