Kenaikan Tarif PPN 11 Persen Dinilai Bisa Ganggu Momentum Pemulihan Ekonomi
Merdeka.com - DPR RI telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) menjadi Undang-Undang dalam Rapat Paripurna ke-7 masa sidang I tahun 2021-2022 pada Kamis 7 Oktober 2021. Adanya pengesahan ini berarti menyetujui kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang diusulkan pemerintah naik menjadi 11 persen dari sebelumnya 10 persen.
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menilai kenaikan tarif PPN sangat berisiko terhadap pemulihan ekonomi nasional dari dampak pandemi Covid-19. Kenaikan 1 persen ini dinilai bisa menurunkan daya beli masyarakat kelas menengah yang selama pandemi menahan diri untuk belanja konsumsi.
"PPN yang tarifnya akan naik sangat berisiko terhadap pemulihan ekonomi khususnya dampak ke daya beli kelas menengah pasti terasa. Jika barang harganya naik maka terjadi inflasi, sementara belum tentu daya beli akan langsung pulih di 2022," kata Bhima saat dihubungi merdeka.com, Jakarta, Kamis (7/10).
Akibatnya, masyarakat punya dua opsi yakni mengurangi belanja dan banyak berhemat atau mencari alternatif barang yang lebih murah. Kondisi ini pun akan mempersulit masyarakat kalangan menengah dan bawah karena kenaikan PPN tidak memandang bulu.
"Situasinya sangat sulit bagi kelas menengah dan bawah karena PPN tidak memandang kelas masyarakat, mau kaya dan miskin beli barang ya kena PPN," ungkapnya.
Di sisi lain, pengusaha juga akan terkena imbasnya. Bila semula para pengusaha telah bersiap untuk kembali menjalankan usahanya, kini mereka akan berpikir ulang melihat adanya kenaikan PPN tersebut. Situasi ini kata Bhima jelas mencekik pelaku usaha dari produsen sampai distributor.
"Apakah harga barang perlu diturunkan menimbang kenaikan PPN? Apakah stok barang yang ada di gudang sekarang bisa laku terjual dengan harga yang lebih mahal di level konsumen akhir?," tutur Bhima.
Dampak lanjutan dari kenaikan tarif PPN ini bisa memberikan ketidakpastian yang tinggi. Adanya kenaikan tarif PPN menjadi 11 persen ini diperkirakan bisa mendorong terjadinya inflasi hingga 4,5 persen di tahun depan.
"Inflasi diperkirakan bisa 4,5 persen pada 2022 dengan adanya kenaikan tarif pajak. Demand pull inflation ditambah tax rate akan menjadi tantangan besar bagi pemulihan konsumsi rumah tangga," katanya.
Bhima pun mempertanyakan keputusan pemerintah yang menaikkan tarif PPN. Padahal di berbagai negara dunia justru menurunkan PPN untuk meningkatkan daya beli masyarakat. Menurutnya untuk mengejar pendapatan negara sebaiknya bisa ditempuh dengan cara lain, bukan dengan menaikkan PPN walau hanya 1 persen.
"Aneh ya justru di banyak negara selama pandemi dan pemulihan ekonomi justru tarif PPN-nya diturunkan sebagai stimulus terhadap konsumsi rumah tangga domestik. Untuk kejar rasio pajak masih banyak cara lain yang lebih adil dan pro terhadap pemulihan ekonomi," tandasnya.
(mdk/azz)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Kenaikan PPN dengan menggunakan single tarif dapat menyebabkan semakin menurunnya daya saing industri.
Baca SelengkapnyaJokowi menjelaskan, bahwa setiap keputusan pemerintah selalu memperhatikan kondisi ekonomi dan situasi keuangan negara.
Baca SelengkapnyaPemerintah sedang mencari formula terkait kenaikan harga beras di pasaran.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Aturan baru mengenai tarif efektif PPh 21 ini berlaku mulai 1 Januari 2024.
Baca SelengkapnyaJokowi berharap gaji PNS dapat meningkatkan kinerja serta akselerasi transformasi ekonomi dan pembangunan nasional.
Baca Selengkapnyapenyelenggaraan pesta demokrasi memberi dampak positif terhadap perekonomian nasional.
Baca SelengkapnyaMayoritas jenis pajak utama tumbuh positif sejalan dengan ekonomi nasional yang stabil.
Baca SelengkapnyaJokowi selalu menekankan kepada para petani agar meningkatkan produktivitas padi.
Baca SelengkapnyaTriyono khawatir kenaikan harga minuman manis dalam kemasan nantinya akan membebani daya beli masyarakat.
Baca Selengkapnya