Donald Trump Siap Perang Dagang, Begini Dampak Besar DIrasakan Indonesia
Trump diduga akan memulai perang dagang baru yang dapat mengganggu rantai pasok global, memperlambat pertumbuhan ekonomi dunia.
Donald Trump secara resmi berhasil meraih kemenangan dalam pemilihan presiden Amerika Serikat (AS) yang berlangsung awal bulan ini.
Dengan demikian, Trump kini menjadi Presiden Terpilih AS sebelum dilantik secara resmi pada Januari 2025. Kemenangan ini berpotensi memberikan dampak besar bagi perekonomian global.
Terlebih lagi, Donald Trump diperkirakan akan menerapkan kebijakan tarif impor yang tinggi terhadap China, yang dianggap sebagai bentuk proteksionisme. Kebijakan tersebut diprediksi akan memengaruhi Indonesia, yang merupakan salah satu pemain utama di kawasan Asia Tenggara.
Trump diduga akan memulai perang dagang baru yang dapat mengganggu rantai pasok global, memperlambat pertumbuhan ekonomi dunia, serta menciptakan ketidakpastian di pasar.
Hal ini berpotensi menekan arus investasi antar negara, yang pada akhirnya berdampak pada inovasi dan pertumbuhan ekonomi di berbagai wilayah, termasuk Indonesia.
Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listiyanto berpendapat bahwa kebijakan proteksionisme yang akan diterapkan oleh Trump, termasuk kenaikan tarif impor tinggi terhadap China, dapat menekan perdagangan global dan memicu perlambatan ekonomi dunia.
"Proteksionisme cenderung menurunkan volume perdagangan global. Ketika ekonomi global melambat, semua indikator akan terdampak, termasuk nilai tukar dan optimisme pelaku ekonomi," ungkap Eko dalam keterangan tertulisnya pada Sabtu (30/11).
Eko juga menjelaskan lebih lanjut tentang skenario dampak kebijakan ini bagi AS dan China. Inflasi di AS diprediksi akan meningkat seiring dengan kenaikan tarif, sementara China kemungkinan akan mengalihkan pasar ekspornya ke kawasan lain.
"Dampak langsung bagi Indonesia saya rasa masih kecil, karena Indonesia belum dianggap sebagai mitra strategis. Namun, kita harus ingat bahwa AS merupakan mitra dagang terbesar kedua bagi Indonesia setelah China," jelas Eko.
Meski demikian, Eko mengingatkan akan adanya risiko lain yang perlu diperhatikan, yaitu kemungkinan pengalihan produk dari China ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia, yang dapat menekan impor lokal.
"Produk-produk China yang tidak dapat masuk ke AS kemungkinan akan membanjiri kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Ini menjadi tantangan bagi kita untuk memperkuat ekonomi domestik agar tetap kompetitif," tuturnya.
Hal Harus Dilakukan Investor
Di tengah ketidakpastian ekonomi global, Benny Sufami, Co-Founder Tumbuh Makna berpendapat bahwa dinamika yang ada justru akan membuka banyak peluang.
Ia menekankan pentingnya menyikapi ketidakpastian yang muncul akibat kebijakan Trump dengan cara yang bijaksana, salah satunya adalah dengan merencanakan strategi yang tepat, termasuk melakukan diversifikasi portofolio.
“Investor perlu mendiversifikasi aset ke instrumen aset kelas pendapatan tetap atau obligasi. Ini penting untuk menghadapi volatilitas pasar akibat kebijakan proteksionisme,” ujarnya.
Menurut Benny, kebijakan Trump berdampak pada pergeseran rantai pasok global, yang memberikan peluang baru bagi sektor manufaktur dan ekspor Indonesia.
"Produksi yang sebelumnya terpusat di China kini mulai berpindah ke negara lain, termasuk Indonesia. Investor bisa fokus pada emiten yang berorientasi ekspor dengan prospek pasar ke Amerika Serikat atau mitra dagang lainnya," paparnya.
Daya Saing Produk
Benny menekankan pentingnya peningkatan infrastruktur dan daya saing Indonesia agar dapat memaksimalkan peluang yang ada. Ia juga memperingatkan tentang risiko yang timbul akibat penguatan dolar AS, yang berpotensi memengaruhi nilai tukar rupiah serta sektor yang bergantung pada impor.
Selain itu, ia mengungkapkan bahwa kebijakan fiskal dan moneter di Amerika Serikat diprediksi akan menyulitkan pencapaian target inflasi 2% di negara tersebut, yang pada gilirannya dapat berdampak pada kebijakan suku bunga di Indonesia.
"Berkurangnya potensi penurunan suku bunga di dalam negeri menjadi risiko bagi beberapa sektor. Oleh karena itu, investor disarankan untuk mengalokasikan aset pada instrumen pendapatan tetap," ujar Benny.