Deretan Potensi Masalah Bank Jangkar
Merdeka.com - Pemerintah dalam waktu dekat akan mengumumkan skema baru mengenai penempatan dana pemerintah di bank-bank dalam negeri yang ditunjuk sebagai Bank Jangkar, atau Anchor Bank. Penempatan ini diklaim pemerintah dapat memberi dukungan proses restrukturisasi dan untuk mengembalikan kepercayaan menyalurkan kredit modal kerjanya kepada pengusaha, khususnya UMKM yang terdampak Covid-19.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2020 tentang Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) nantinya akan memberi assessment mengenai bank yang dapat menjadi Bank Peserta berdasarkan sejumlah kriteria yang ditetapkan. Nantinya, Bank Pelaksana yang akan merestrukturisasi kredit atau kekurangan likuiditas dapat menyampaikan proposalnya kepada Bank Peserta tersebut.
Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Andreas Eddy Susetyo, mengungkapkan bahwa pihaknya sudah mengingatkan Kementerian Keuangan, agar jangan sampai hal tersebut malah menjadi beban bagi bank-bank sistemik yang nantinya ditunjuk sebagai Bank Peserta. Bahkan, dirinya mengkhawatirkan tidak adanya mekanisme untuk menjamin bank jangkar tersebut menjadi Bank Peserta.
"Sebetulnya dalam rapat di Komisi XI kita sudah mengingatkan tentang hal ini (Bank Jangkar). Pertama, sebetulnya sebaiknya untuk penyediaan likuiditas dari bank-bank yang mengalami masalah likuiditas karena Covid-19 ini tidak menjadi beban Bank Jangkar mengingat bank-bank tersebut kebanyakan diisi oleh bank-bank sistemik," kata Andreas di Jakarta, Rabu (20/5).
Politisi Fraksi PDI-Perjuangan ini menilai, penempatan dana yang dilakukan melalui skema bank jangkar memiliki pola pendekatan business-to-business (B2B). Pola demikian, diibaratkannya seperti dalam sebuah pertandingan sepak bola di mana pemain turut serta menjadi wasit. Bank jangkar sebagai pemain, juga kemudian melakukan proses due diligence terlebih dahulu terhadap bank-bank pelaksana sesuai kredit assesment yang diajukannya.
"Kenapa malah menjadi beban ke bank jangkar, masak pemain sekaligus jadi wasit gitu. Mereka kan juga sesama bank, ibaratnya kan mereka pemain, tetapi sekaligus jadi wasit karena melakukan penelitian terhadap bank-bank pelaksana yang mengajukan proposal likuiditas. Kalau pendekatannya B-to-B kenapa mesti diatur lewat PP? Dengan begitu kan bank tersebut harus mengikuti due diligence, inilah yang akan memakan waktu di tengah kondisi kita sedang work from home dan PSBB sekarang ini," tegasnya.
Masalah Lainnya
Merujuk pada UU PPKSK dan Perppu Covid-19, Andreas menekankan bahwa mekanisme pemberian bantuan lilkuiditas sebenarnya sudah cukup ringkas dan jelas. Jika bank membutuhkan likuiditas, bank tersebut bisa memanfaatkan mekanisme Pasar Uang (PUAB). Selanjutnya jika masih membutuhkan, bisa melakukan Repo SBN. Terakir, jika masih diperlukan skema Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek (PLJP) juga bisa dilakukan.
"PLJP itu lebih jelas, karena bank bisa mengagunkan aset kreditnya yang tentu berdasarkan rekomendasi atau assessment dari OJK. (Skema) Ini juga sama kan, begitu nanti bank peserta mengajukan kepada Kemenkeu, pihak Kemenkeu juga nantinya akan meminta assessment ke OJK. Jadi kalau dilihat, ketika bank-bank pelaksana tengah membutuhkan likuiditas tentu memerlukan proses yang cepat," terangnya.
Sementara itu, Andreas menjelaskan bahwa dalam mekanisme perbankan Bank Indonesia berperan sebagai the lender of the last resource atau sebagai sumber likuiditas terakhir. Sedangkan, pembentukan bank jangkar memungkinkan bank-bank pelaksana merepokan asetnya ke bank jangkar, bukan ke BI. Padahal jika belajar dari negara lain, seperti The Fed di Amerika Serikat, bank sentral tersebut menjadi penyangga likuiditas yang utama.
"Ini yang menurut saya perlu kejelasan arah, karena disatu sisi PLJP tetap ada sebagaimana tertuang didalam Perppu, tetapi kemudian skema penempatan dana bantuan dari pemerintah. Kalau sifatnya bantuan likuiditas, kenapa Pemerintah tidak menyalurkan melalui SPV (Special Purpose Vehicle)-nya sendiri saja? Tapi jangan membebani bank-bank peserta atau anchor bank ini," pungkas Andreas.
Pemerintah Didesak Batalkan PP Nomor 23/2020
Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Heri Gunawan mendesak pemerintah agar membatalkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 202 yang sangat spekulatif. Beleid yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 9 Mei 2020 lalu itu juga dinilai telah mereduksi peran penting Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).
Seperti diketahui PP 23/2020 mengatur Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk Penanganan Pandemi Covid-19. PP. Seiring terbitnya PP itu, mencuatlah isu dikotomi antara bank peserta dengan bank pelaksana.
Bank peserta adalah bank yang masuk kategori 15 bank beraset terbesar. Bank peserta akan menerima penempatan dana pemerintah untuk memberi likuiditas kepada perbankan yang melakukan restrukturisasi kredit, pembiayaan, dan/atau memberikan tambahan kredit (Pasal 10 ayat 1 PP 23/2020).
Sedangkan bank pelaksana adalah bank yang akan menerima dana dari bank peserta yang kemudian memberikan restrukturisasi, pembiayaan dan/atau memberikan tambahan kredit kepada usaha mikro, usaha kecil, usaha menengah, dan koperasi.
"Pendeknya, pemerintah mengucurkan dana kepada bank peserta. Kemudian bank peserta akan menyalurkan ke bank pelaksana," jelasnya di Jakarta, Rabu (20/5).
Menurut mantan Wakil Ketua Komisi VI DPR ini, dikotomi antara bank peserta dengan bank pelaksana mestinya tidak perlu terjadi jika KSSK melaksanakan perannya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK). Namun, faktanya menghadapi pandemi Covid-19 para pejabat KSSK seakan-akan lebih memilih melindungi tanganya.
"Fakta tersebut terungkap jelas dalam pasal 27 Perppu 1/2020 yang menyebut dengan eksplisit bahwa para pejabat KSSK tidak bisa dijerat oleh hukum," katanya.
Kemudian, fakta kedua, lahirnya PP 23/2020 yang memunculkan dikotomi bank peserta dan bank pelaksana. Itu berarti, KSSK ingin meminjam tangan 15 bank peserta untuk berperan menjadi regulator. Padahal, bank-bank tersebut sejatinya berstatus sebagai obyek kebijakan. Remot kontrol kebijakan tetap dipegang oleh KSSK. "Kesimpulannya, bank peserta hanya dijadikan tumbal,” imbuhdia
Sementara aroma spekulatif tercium dari kelahiran PP 23/2020 yang sengaja menggusur UU PPKSK untuk mereduksi peran KSSK dalam penanganan likuiditas perbankan. Ditegaskan Anggota Baleg DPR RI itu, dalam UU PPKSK, Bab III, pasal 16, 17, 18, 19, dan pada bagian ketiga penanganan permasalahan likuiditas bank sistemik, sudah sangat jelas, lembaga yang berwenang dan diberi tugas mengurusi masalah likuiditas perbankan adalah Kemenkeu, BI, OJK, dan LPS.
"Tak ada satu pasal pun yang menyebut peran perbankan, karena memang perbankan tidak termasuk regulator, tapi objek kebijakan. Dalam PP 23/2020 terutama dalam pasal 10 dan 11 diatur mengenai pelaksanaan program PEN, terutama bagian penempatan dana, yaitu ada bank peserta dan bank pelaksana. Bank peserta akan mendapatkan dana dari pemerintah dan kemudian akan menyalurkan kepada bank pelaksana," ungkapnya.
Antara bank peserta dan bank pelaksana diatur dengan perjanjian tersendiri. Jadi jika terjadi gagal sistemik, maka bank-bank tersebutlah yang akan menanggung risikonya. Pasal 12 PP 23/2020, sambung Hergun, secara terang menyatakan, dalam hal bank peserta mengalami permasalahan dan diserahkan penanganannya kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), maka LPS mengutamakan pengembalian dana Pemerintah.
"Artinya, aset milik bank peserta maupun dana masyarakat tidak menjadi prioritas. LPS yang semestinya menjadi penjamin dana nasabah sudah berubah fungsi menjadi lembaga penjamin simpanan pemerintah (LPSP)," kritik politisi Partai Gerindra ini.
(mdk/bim)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Jawab Tantangan Persaingan Digitalisasi Perbankan, Ini Langkah Diambil Bank DKI
Bank DKI berkomitmen untuk melakukan inovasi dalam produk dan layanan perbankan digital, yang akan semakin memudahkan nasabah, mitra, dan pemangku kepentingan.
Baca SelengkapnyaJadi Fasilitator Pertumbuhan Ekonomi, Perbankan Fokus Terapkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
Perbankan menjalankan peran sebagai fasilitator pertumbuhan dan penyetaraan ekonomi masyarakat di DKI Jakarta.
Baca SelengkapnyaBukti Tak Ada Lapangan Kerja di Indonesia: Pengusaha Kecil-kecilan Menjamur, dari 100 Rumah Saja Ada 25 Warung
Bank Dunia yang menyebut Indonesia harus bisa menyediakan lapangan kerja berkualitas agar bisa menjadi negara berpendapatan tinggi.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Terapkan Transformasi Sejak 2021, Bank DKI Optimis Bisa Bersaing di Tingkat Nasional
Bank DKI menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi, memberikan layanan terbaik, dan menjalin kemitraan yang kokoh dengan semua pemangku kepentingan.
Baca SelengkapnyaDikeluhkan Soal Modal saat Blusukan ke Pasar Boyolali, Ganjar Janjikan Kredit Bunga Ringan Khusus Pedagang
Ganjar bicara memiliki program bernama Kredit Lapak, kredit murah khusus untuk para pedagang pasar saat menjabat Gubernur Jateng.
Baca SelengkapnyaGanjar Janji Hapus Utang di Bank, Petani di Blora Doakan jadi Presiden: Kersane Utang Kulo Dilunasi
Mendengar kabar terkait penghapusan program kredit macet bagi petani, sontak ratusan petani bersorak gembira mendengar program Ganjar itu.
Baca SelengkapnyaDirut BRI Pamer Tangani Kredit 44 Juta Nasabah UMKM Hingga Bawa Akses Bank ke Masyarakat Kecil
Dia menjelaskan, selain mengurus aspek pembiayaan ke UMKM, BRI juga turut melakukan pendampingan.
Baca SelengkapnyaJika Jadi Presiden, Ganjar Bakal Putihkan Kredit Macet Nelayan
Banyak nelayan yang tidak bisa menikmati hasil jerih payahnya dari melaut karena memiliki tanggungan.
Baca SelengkapnyaSegini Pensiunan yang Bakal Diterima Anggota DPR Usai Menjabat 5 Tahun
Mantan anggota DPR-RI berhak mendapatkan uang pensiun saat periode jabatannya selesai.
Baca Selengkapnya