Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

4 Dampak pelemahan Rupiah, dari inflasi hingga PHK

4 Dampak pelemahan Rupiah, dari inflasi hingga PHK idr rupiah. shutterstock

Merdeka.com - Nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat (AS) masih belum beranjak dari level Rp 13.500-an per USD. Pada perdagangan Rabu (11/10), Rupiah dibuka di 13.496 per USD atau menguat tipis dibanding penutupan perdagangan sebelumnya di Rp 13.512 per USD.

Mengutip data Bloomberg, Rupiah bergerak fluktuatif usai pembukaan. Bahkan, nilai tukar sempat menyentuh Rp 13.540 per USD pukul 14.50 WIB. Kemudian, Rupiah ditutup melemah di level Rp 13.530 per USD.

Tentunya, kondisi pelemahan nilai tukar Rupiah secara terus menerus akan berimbas pada berbagai hal. Bahkan, sebagian pengusaha mengaku dilema saat Rupiah anjlok maupun menguat.

Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI), Mirza Adityaswara mengatakan ada tiga penyebab yang membuat nilai tukar melemah. Pertama adalah Presiden AS Donald Trump yang mengajukan proposal baru terkait penurunan pajak di AS.

Kedua, (Gubernur bank sentral AS) Yellen berikan statement seminggu lalu bahwa suku bunga AS akan naik di Desember. Ketiga, spekulasi mengenai adanya pergantian pergantian gubernur bank sentral AS.

Lalu, apa saja dampaknya bagi Indonesia. Berikut 4 dampak pelemahan nilai tukar Rupiah, seperti dikutip Cermati.

Inflasi bisa melambung

Bila nilai tukar rupiah terus mengalami pelemahan, maka akan memicu inflasi. Harga-harga barang di dalam negeri akan meningkat. Terutama untuk barang atau produk yang diolahnya dari bahan baku impor.

Mengapa demikian? Karena produsen harus merogoh kocek lebih besar lagi untuk membeli bahan bakunya dari luar negeri itu alias impor.

Kalau sudah begitu, maka tidak mungkin produsen menjual barangnya sama seperti sebelumnya ketika rupiah tidak melemah. Artinya, produsen harus menjual produknya dengan harga yang mahal agar tidak merugi.

Jika produsen tetap menjual produknya dengan harga yang sama, maka yang akan dikorbankan adalah kualitasnya. Maka jalan satu-satunya adalah dengan menaikkan harga jual produknya agar tetap untung dan menjaga pangsa pasarnya.

Karena itu lah konsumen akan membeli produk-produk itu dengan harga yang lebih mahal dari biasanya. Dengan semakin mahalnya barang-barang tersebut terutama untuk barang konsumsi, maka akan memicu inflasi tinggi.

Order eksportir menyusut

Dengan pelemahan Rupiah, maka para eksportir yang sebelumnya kebanjiran order dari luar negeri, bisa-bisa menyusut. Tentu tidak semua eksportir, tapi khusus eksportir yang produknya masih bergantung pada bahan baku impor.

Sebab, jika Rupiah melemah, maka harga jual produk menjadi mahal. Tidak hanya di dalam negeri, tapi juga harga jual di luar negeri tak lagi kompetitif.

Jika ini terjadi, maka permintaan barang ekspor menurun sehingga penjualan makin lesu dan produsen banyak kehilangan order.

Persaingan makin ketat karena karena bisa jadi negara lain punya produk yang lebih murah akibat nilai tukar mereka lebih kuat dibanding Rupiah. Hal ini akan makin merugikan produsen kita karena produknya tidak lagi kompetitif.

Bila konsumen luar negeri tidak mau beralih dengan produk lain alias sudah jatuh cinta dengan produk kita, biasanya mereka hanya mengurangi jumlah pesanannya karena tidak mampu dengan harga yang ditawarkan.

Memicu defisit neraca perdagangan

Bila pelemahan Rupiah terus berlanjut volume ekspor memang akan meningkat. Ini khusus untuk ekspor komoditas mentah yang selama ini menjadi komoditas utama ekspor Indonesia.

Sebab, semakin Rupiah melemah, maka harga barang-barang ekspor Indonesia dari komoditas mentah itu atau produk lainnya yang tidak bergantung impor akan lebih murah dibanding negara lain.

Ini akan menguntungkan importir di luar negeri sana karena mendapatkan barang yang sama dengan harga murah, sekaligus menguntungkan juga para eksportir Indonesia karena ada permintaan yang banyak atau volume ekspornya meningkat.

Namun di sisi lain, juga bisa mengancam neraca perdagangan Indonesia, bahwa pelemahan rupiah tidak menguntungkan bagi eksportir atau produsen yang mengandalkan bahan baku/penolong dari impor. Karena biaya produksinya semakin tinggi dan harga jual produknya mau tidak mau semakin mahal.

Kalau sudah demikian, maka eksportir yang memproduksi barang-barang manufaktur berkebutuhan impor tinggi akan semakin tidak kompetitif. Di sisi lain, mahalnya barang impor menyebabkan industri manufaktur akan semakin sulit berkembang. Sehingga ekspor manufaktur Indonesia bisa berpotensi mengalami kontraksi.

Padahal, ekspor manufaktur ini yang mampu menjaga surplus neraca perdagangan menjadi berkualitas. Sebab, jika mengandalkan surplus dari neraca nonmigas utamanya komoditas mentah hasil perkebunan seperti batu bara atau CPO, maka sewaktu-waktu bisa terpengaruh oleh harga komoditas internasional yang berfluktuatif. Ketika harga komoditas global tinggi, bisa meraup untung, dan sebaliknya.

Artinya, kalau pun neraca perdagangan masih bisa mencatatkan surplus. Jika pelemahan nilai tukar rupiah juga terus berlanjut, maka berpotensi besar akan mengalami defisit.

Memicu PHK

Satu hal yang merisaukan akibat turunnya nilai tukar rupiah adalah munculnya pemutusan hubungan kerja. Seperti ulasan di atas, pelemahan rupiah bisa menyebabkan produsen harus mengeluarkan biaya tinggi untuk produksinya dan berakibat pada naiknya harga jual produk, sehingga inflasi meningkat dan daya beli masyarakat tererus.

Bila daya beli masyarakat tergerus, maka mereka akan mengurangi konsumsinya, dan banyak barang yang tidak habis terjual. Jika produsen masih banyak stok, maka produksi berkurang atau bahan terhenti. Jika demikian, mau tidak mau industri akan mengurangi jumlah karyawannya.

PHK menjadi mata rantai yang makin memperberat perekonomian nasional dan bisa terjadi akibat depresiasi rupiah berdampak pada ekspor dan impor. Saat terjadi depresiasi, harga barang-barang impor meningkat karena nilai mata uang kita dibanding Dolar AS dan berbagai mata uang asing lainnya melorot.

Pengguna barang impor harus membayar uang lebih besar untuk barang yang dibelinya, sedangkan sebagian dari barang yang diimpor Indonesia adalah barang modal, termasuk bahan baku, mesin pertanian, dan mesin-mesin untuk produksi manufaktur.

Di sisi lain, perusahaan juga harus membayar biaya produksi lainnya, seperti bunga pinjaman dan upah karyawan. Satu-satunya yang bisa dipangkas adalah biaya tenaga kerja.

Artinya, perusahaan bisa jadi akan berhenti menaikkan gaji atau mengurangi bonus, atau malah memecat karyawan jika beban biaya produksi dinilai sudah terlalu tinggi.

(mdk/sau)
ATAU
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
Rupiah Terus Menguat Sepanjang 2023, Salip Bath Thailand dan Peso Filipina

Rupiah Terus Menguat Sepanjang 2023, Salip Bath Thailand dan Peso Filipina

Nilai tukar rupiah pada 2023 cenderung mengalami penguatan lebih besar dibanding negara di kawasan ASEAN.

Baca Selengkapnya
Cukai Rokok Naik 10 Persen Mulai 1 Januari 2024, BPS: Bakal Berdampak ke Inflasi

Cukai Rokok Naik 10 Persen Mulai 1 Januari 2024, BPS: Bakal Berdampak ke Inflasi

Meski demikian, Amalia tidak menyebutkan besaran andil inflasi kenaikan cukai rokok hingga 10 persen di tahun ini.

Baca Selengkapnya
Kurs Rupiah Anjlok 2,02 Persen, Gubernur BI: Lebih Baik Dibanding Ringgit Malaysia

Kurs Rupiah Anjlok 2,02 Persen, Gubernur BI: Lebih Baik Dibanding Ringgit Malaysia

Gubernur BI, Perry Warjiyo menyampaikan, nilai tukar Rupiah hingga 19 Maret 2024 relatif stabil.

Baca Selengkapnya
Kamu sudah membaca beberapa halaman,Berikut rekomendasi
video untuk kamu.
SWIPE UP
Untuk melanjutkan membaca.
Rupiah Lebih Perkasa dari Ringgit Malaysia dan Baht Thailand, Ini Buktinya

Rupiah Lebih Perkasa dari Ringgit Malaysia dan Baht Thailand, Ini Buktinya

Gubernur BI, Perry Warjiyo mengakui nilai tukar Rupiah masih tertekan oleh dolar AS.

Baca Selengkapnya
Utang Luar Negeri Indonesia Tembus Rp6.231 Triliun, Digunakan untuk Apa Saja?

Utang Luar Negeri Indonesia Tembus Rp6.231 Triliun, Digunakan untuk Apa Saja?

Utang luar negeri pemerintah pada November 2023 sebesar USD 192,6 miliar atau tumbuh 6 persen (yoy), meningkat dari pertumbuhan bulan sebelumnya tiga persen.

Baca Selengkapnya
Naik Lagi, Utang Luar Negeri Indonesia Kini Tembus Rp6.231 Triliun

Naik Lagi, Utang Luar Negeri Indonesia Kini Tembus Rp6.231 Triliun

Posisi ULN pada November 2023 juga dipengaruhi oleh faktor pelemahan mata uang dolar AS terhadap mayoritas mata uang global.

Baca Selengkapnya
Nilai Tukar Rupiah Berhasil Menguat di Akhir Tahun, Kalahkan Bath dan Ruppe

Nilai Tukar Rupiah Berhasil Menguat di Akhir Tahun, Kalahkan Bath dan Ruppe

Pergerakan nilai tukar Rupiah terhadap mata uang Dolar AS lebih baik dibandingkan dengan Bath Thailand hingga Ruppe India.

Baca Selengkapnya
Penerimaan Pajak hingga Pertengahan Maret Tembus Rp342,88 Triliun

Penerimaan Pajak hingga Pertengahan Maret Tembus Rp342,88 Triliun

Mayoritas jenis pajak utama tumbuh positif sejalan dengan ekonomi nasional yang stabil.

Baca Selengkapnya
Utang Indonesia Tembus Rp8.041 Triliun per November 2023, Kemenkeu: Masih Aman

Utang Indonesia Tembus Rp8.041 Triliun per November 2023, Kemenkeu: Masih Aman

Utang Indonesia saat ini justru mengalami perbaikan yang cukup signifikan jika dibandingkan dengan periode sebelumnya.

Baca Selengkapnya