Asal-Usul Nama Kampung di Jakarta Mulai dari Cipinang Hingga Penggilingan, Ternyata Punya Arti dan Sejarah Tak Terduga
Asal-usul nama daerah di Jakarta ternyata punya makna dan sejarah sendiri.

Jakarta, kota yang dinamis dan kosmopolitan menyimpan banyak cerita menarik di balik nama-nama kampungnya yang khas. Setiap nama kampung merupakan petunjuk berharga yang mengungkap sejarah kota metropolitan ini.
Mulai dari pengaruh budaya, sejarah kolonial, hingga kondisi geografis dan sosial pada masa lalu. Banyak nama kampung di Jakarta yang mencerminkan pengaruh masa kolonial Belanda.
Misalnya kampung Ambon, berasal dari tahun 1619 ketika Gubernur Jenderal VOC, Jan Pieterszoon Coen, merekrut tentara dari Ambon yang kemudian menetap di Rawamangun. Kampung Bandan juga memiliki asal-usul terkait monopoli rempah-rempah Kompeni di Kepulauan Banda pada tahun 1621.
Nama Glodok berasal dari kata 'Grojok', yang menggambarkan suara air yang jatuh di sebuah pancuran air di dekat waduk penampungan air Kali Ciliwung. Orang Tionghoa kesulitan mengucapkan 'Grojok' sehingga mengubahnya menjadi 'Glodok'.

Nama Kampung dari Tokoh Penting
Beberapa nama kampung di Jakarta diambil dari nama tokoh penting pada masanya. Kwitang, misalnya, berasal dari nama seorang tuan tanah kaya raya bernama Kwik Tang Kiam. Senayan juga berasal dari nama seorang pemilik tanah bernama Wangsanayan dari Bali.
Jalan Jaksa di Jakarta Pusat dahulu banyak dihuni oleh pelajar Indonesia yang belajar hukum di Belanda, sehingga dinamai demikian. Selain pengaruh kolonial dan tokoh penting, nama kampung di Jakarta juga banyak yang mencerminkan kondisi geografis dan budaya lokal.
Nama Kampung Diambil Berdasarkan Kondisi Geografis dan Budaya Lokal
Penamaan daerah Menteng diambil karena dahulu merupakan hutan dengan banyak pohon buah menteng sebelum dibeli pemerintah Belanda pada tahun 1912 untuk perumahan pegawai pemerintah Hindia Belanda.
Sementara Ancol berarti 'tanah rendah berpaya-paya', karena pada saat pasang, air payau kali Ancol menggenangi sekitarnya sehingga terasa asin. Belanda menyebutnya 'Zoutelande' (tanah asin).
Kemudian ada nama daerah Gambir juga mengacu pada banyaknya pohon gambir yang tumbuh di kawasan tersebut sebelum dikembangkan oleh Daendels pada tahun 1810.
Kampung-Kampung Etnis
Jakarta yang multikultur juga memiliki kampung-kampung yang dinamai berdasarkan kelompok etnis yang mendiaminya, seperti Kampung Arab di Pekojan, Kampung China di Glodok, dan kampung-kampung yang dihuni oleh orang Bugis.

Asal-Usul Nama Cipinang
Cipinang yang masuk dalam Kecamatan Pulogadung di Jakarta Timur, berasal dari kata Ci yang berarti ‘air’ dan Pinang, yaitu sejenis pohon palma. Berdasarkan buku Penulisan Sejarah Kebudayaan Betawi Toponimi Nama Kelurahan di Jakarta, nama wilayah ini sudah tertera pada peta Batavia tahun 1840.
Akan tetapi, pada peta 1897 tertulis Tjipinang Besar. Pada abad ke-19, Cipinang merupakan tanah partikelir di Afdeeling Mester Cornelis yang dimiliki dan dikelola oleh perusahaan swasta dan perseorangan seperti dikutip dari laman Liputan6 (16/2/2025).
Pemilikinya adalah Oey Kim Eng dengan hasil utama padi dan kelapa. Sementara Tijipinang Pisangan dan Tijipinang Pondok Bamboe dikuasai Lie Tjing Hoe dengan hasil utama padi.
Ternyata pohon pinang memang tumbuh hampir merata di tanah Betawi. Paling tidak terdapat delapan nama kelurahan memakai pohon pinang, antara lain Cipinang (Pulo Gadung, Jakarta Timur), Cipinang Cempedak (Jatinegara, Jakarta Timur), Cipinang Besar Selatan (Jatinegara, Jakarta Timur).
Kemudian Cipinang Besar Utara (Jatinegara, Jakarta Timur), Cipinang Muara (Jatinegara, Jakarta Timur), Pinang Ranti (Makassar, Jakarta Timur), Cipinang Melayu (Makassar, Jakarta Timur), dan Pondok Pinang (Kebayoran Lama, Jakarta Selatan).
Asal-usul Nama Daerah Penggilingan
Penggilingan merupakan nama satu kawasan yang cukup populer di Jakarta, antara lain sebagai nama kelurahan di Kecamatan Cakung, Jakarta Timur. Sejak masa lalu, penduduk daerah Penggilingan adalah campuran dan terdiri dari bermacam-macam etnis yang berasal dari beberapa daerah di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Di Kampung Penggilingan, terdapat bukti sejarah yang menarik berupa batu-batu kiser atau batu penggilingan tebu dari abad ke-18. Pada masa itu, industri gula di Batavia (Jakarta) memang sedang dalam masa kejayaannya. Banyak pabrik gula beroperasi, terutama di sekitar Sungai Ciliwung.
Seiring waktu, produksi gula menurun dan pabrik-pabrik gula mulai berpindah ke pinggiran kota. Beberapa pabrik gula didirikan di daerah yang kini dikenal sebagai Kampung Penggilingan.
Nama 'Kampung Penggilingan' sendiri berasal dari banyaknya batu penggilingan tebu yang digunakan di area tersebut, yang dulunya juga dikenal sebagai 'Kampung Gula'. Batu-batu penggilingan ini telah diteliti dan diakui sebagai cagar budaya, dengan beberapa di antaranya dipamerkan di Museum Sejarah Jakarta dan Balai Budaya Condet.