10 Pelatih Sepak Bola Terburuk Sepanjang Masa: Cuma Dapat Satu Poin di Setiap Pertandingan
Menurut laporan dari Givemesport, berikut adalah daftar sepuluh pelatih yang dianggap paling buruk dalam sejarah sepak bola.

Setiap pelatih sepak bola pasti menginginkan karier yang sukses dan diakui sebagai legenda, meskipun perjalanan karier mereka sering kali diwarnai dengan nasib buruk. Ini menunjukkan bahwa tidak ada pelatih di dunia sepak bola yang sempurna. Para penggemar sepak bola di seluruh dunia tentunya memberikan simpati dan penghormatan kepada pelatih-pelatih hebat seperti Sir Alex Ferguson, Pep Guardiola, dan Arsene Wenger.
Ketiga pelatih ini dapat dianggap sebagai yang paling sukses dalam sejarah. Bahkan, sejak Ferguson meninggalkan Manchester United pada tahun 2013, klub tersebut belum pernah lagi meraih gelar Premier League. Wenger juga memiliki peranan penting saat melatih Arsenal, sehingga namanya akan selalu diingat dalam sejarah panjang klub tersebut.
Di sisi lain, Guardiola adalah sosok yang kinerjanya tak bisa diperdebatkan selama memimpin Manchester City. Reputasi Guardiola bersama City sudah sangat terkenal dan tidak perlu dijelaskan lebih jauh.
Semua orang tahu bagaimana 'sentuhan Midas' dari manajer asal Spanyol ini telah membawa banyak trofi bagi klubnya. Namun, dalam dunia sepak bola, jika terdapat pelatih yang terbaik, pasti ada pula yang dianggap terburuk. Sebagaimana yang dilaporkan oleh Givemesport, berikut adalah daftar 10 pelatih terburuk dalam sejarah sepak bola:
Steve McClaren

Para penggemar Newcastle United menunjukkan sikap acuh tak acuh saat Steve McClaren tiba di klub. Hubungan mereka dengan Alan Pardew sebelumnya tergolong buruk, dan setelah Pardew dipecat, posisi manajer diisi sementara oleh John Carver, asisten manajer yang telah lama menjabat dan dikenal sebagai salah satu pelatih terbaik di Premier League. "Maaf untuk membahasnya lagi, John!" ungkap beberapa pendukung. Permainan yang ditampilkan sangat mengecewakan, seolah-olah tidak ada strategi yang jelas, meskipun klub memiliki pemain-pemain berkualitas seperti Georginio Wijnaldum dan Moussa Sissoko. Semua itu membuat perjalanan tim terasa sangat sulit.
McClaren mendapatkan reaksi negatif dari seorang wartawan lokal yang berujung pada pertikaian sengit dalam konferensi pers sebelum pertandingan. Penunjukan McClaren tidak mendapatkan sambutan hangat dari para fans Newcastle. Banyak yang merasa kecewa, bahkan jika dilihat dari standar pemilik klub, Mike Ashley. Mantan manajer tim nasional Inggris ini menghadapi tantangan besar sejak awal, dan sikapnya dalam wawancara membuat para pendukung semakin tidak senang. Mereka merasa bahwa McClaren tidak menunjukkan kepedulian terhadap klub, dan hal ini tercermin dalam kinerjanya sebagai manajer.
Selama masa jabatannya, McClaren hanya mampu meraih tujuh kemenangan, dan akhirnya dipecat setelah kekalahan mengecewakan di kandang melawan Bournemouth. Rafael Benitez kemudian ditunjuk sebagai penggantinya, namun sayangnya tidak berhasil menyelamatkan klub dari degradasi di Premier League. Rata-rata poin per pertandingan yang diraih McClaren adalah 1,14, yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan Pardew yang mencapai 1,37 poin per pertandingan.
Egil Olsen
Setelah Joe Kinnear mengundurkan diri dari jabatannya sebagai manajer Wimbledon, tantangan besar kini dihadapi oleh penggantinya. Penunjukan Olsen sebagai manajer baru cukup mengejutkan banyak pihak dan dianggap sebagai keputusan yang tidak terduga. Dengan adanya tekanan untuk memenangkan hati para penggemar serta mengisi posisi manajer yang sebelumnya sukses, beban tersebut ternyata terlalu berat bagi mantan pelatih Norwegia itu. Meskipun Olsen telah menunjukkan prestasi yang mengesankan dengan membawa tim nasional Norwegia lolos ke Piala Dunia 1994 dan 1998, metode kepelatihannya masih menimbulkan keraguan. Wimbledon memulai musim itu dengan kemenangan, berhasil mengalahkan Watford yang dilatih oleh Graham Taylor dengan skor 3-2 pada pertandingan pembuka. Namun, kemenangan itu ternyata hanya menjadi awal yang buruk, karena mereka mengalami sembilan pertandingan tanpa kemenangan setelahnya.
Olsen mulai kehilangan dukungan di ruang ganti, terutama karena para pemain sering memberikan komentar yang tidak biasa kepada media. "Telah dipublikasikan kami tidak cocok dengan manajer -- cara kerjanya, sikapnya, atau pendekatannya," ungkap John Hartson mengenai manajernya saat itu. Pada akhirnya, Olsen dipecat tanpa penjelasan yang jelas, hanya dua pertandingan sebelum akhir musim. Akibatnya, Wimbledon terdegradasi, dan keputusan untuk menunjuk Olsen justru menjadi bumerang bagi klub. Rata-rata poin yang diraih oleh pelatih asal Norwegia tersebut hanya mencapai 1,04 poin per pertandingan. Tentu saja, klub tidak mengharapkan hasil seperti ini, dan banyak yang berpendapat bahwa kedatangan Olsen menjadi salah satu faktor yang mempercepat akhir perjalanan Wimbledon sebagai sebuah klub.
Robin Dutt

Pengangkatan Dutt oleh klub Jerman tersebut mengejutkan banyak pihak, mengingat ia baru saja menjabat sebagai direktur olahraga Federasi Sepak Bola Jerman sembilan bulan sebelumnya. Dengan rasio kemenangan yang rendah, yaitu 24,44 persen, Dutt mencatat salah satu rekor terburuk dalam sejarah klub, sebuah prestasi yang pastinya tidak ingin ia kenang. Dutt awalnya dikenal sebagai manajer di Stuttgarter Kickers, klub Bundesliga, di mana ia berhasil mencatatkan rekor yang mengesankan. Kesuksesannya di sana membawanya untuk mengelola FC Freiburg dan Bayer Leverkusen sebelum akhirnya ditunjuk sebagai pelatih Werder Bremen.
Meski menjalani masa-masa yang baik di dua klub sebelumnya, Dutt tidak berhasil mendapatkan dukungan penuh dari para pemain di Bremen, terutama saat klub tersebut mengalami penurunan performa di liga. Ia hanya meraih 11 kemenangan dalam 45 pertandingan, sehingga pemecatannya bukanlah hal yang mengejutkan. Namun, banyak yang terkejut dengan lamanya Dutt bertahan dalam posisinya. Memulai musim 2014/2015 sebagai pelatih, ia harus hengkang setelah gagal meraih kemenangan dalam sembilan pertandingan pertama Bremen. Setelah kepergiannya, mantan pemain Viktor Skrypnyk mengambil alih dan berhasil membawa klub tersebut finis di posisi ke-10. Rata-rata poin per pertandingan Dutt hanya 1,02, yang menjelaskan mengapa masa jabatannya tidak berlangsung lama.
Vincenzo Montella

Montella dipecat secara resmi karena dianggap kurang menghormati dan kehilangan kepercayaan dari klub. Ini menjadi catatan penting mengenai masa jabatannya yang buruk di Fiorentina. Pengangkatan Montella justru mencoreng reputasinya di hadapan klub dan para pendukung yang sebelumnya mengaguminya, sebuah perubahan yang sangat disayangkan. Pada masa jabatan keduanya, ia kembali ke klub setelah berhasil meraih lebih dari separuh kemenangan dari 153 pertandingan selama periode pertama sebagai manajer.
Di periode pertamanya, Montella berhasil membawa tim meraih posisi keempat dan ketiga serta mencapai semifinal Liga Europa. Namun, masa jabatan keduanya tidak mampu memenuhi ekspektasi tinggi yang ada saat ia kembali. Setelah tujuh pertandingan tanpa kemenangan, Montella dipecat dan Fiorentina terjerumus dalam ancaman degradasi.
Penunjukan Montella sempat disambut positif ketika ia kembali, tetapi perasaan itu tidak bertahan lama. Ada pepatah dalam dunia sepak bola yang mengatakan "Jangan pernah kembali," yang mengisyaratkan bahwa seorang pemain atau manajer sebaiknya tidak kembali ke klub yang pernah ditinggalkannya. Hal ini berpotensi merusak warisan yang telah dibangun selama masa jabatan pertama, yang merupakan sesuatu yang sangat dihargai oleh pemain atau manajer. Selama masa jabatan kedua Montella di Fiorentina, rata-rata poin yang diperoleh per pertandingan hanya mencapai 1,08, jauh lebih rendah dibandingkan 1,79 pada masa jabatan pertamanya yang lebih panjang. Hal ini menunjukkan bahwa Montella tidak dapat memenuhi harapan tinggi yang diberikan kepadanya saat kembali. Namun, pelatih asal Italia ini berhasil membangun kembali kariernya di Turki, di mana ia membawa timnas ke perempat final Euro 2024, meskipun mereka tersingkir oleh Belanda, yang menunjukkan bahwa kemampuan manajerialnya masih ada.
Paul Jewell

Musim Derby County yang terkenal karena hanya mengumpulkan 11 poin, dengan empat di antaranya berasal dari Newcastle United, menjadi sorotan publik. Total poin tersebut menjadi berita utama karena merupakan catatan terendah yang masih bertahan hingga saat ini.
Paul Jewell, yang dikenal sebagai pelatih berkualitas setelah sukses di Wigan Athletic, diharapkan dapat membawa perubahan positif ketika diangkat sebagai manajer Derby. Meskipun kedatangannya disambut antusias oleh para penggemar, mereka tidak menyadari tantangan berat yang akan dihadapinya.
Sebelum bergabung dengan Derby, Jewell sempat ditawari beberapa posisi lain, termasuk sebagai pelatih tim nasional Republik Irlandia. Meskipun mendapat peringatan untuk tidak menerima tawaran dari Derby, ia tetap memilih untuk melanjutkan kariernya di klub tersebut.
Namun, masa-masa sulit yang dihadapinya di Midlands berdampak negatif pada reputasinya, membuatnya menganggur lebih dari tiga tahun hingga akhirnya dipanggil oleh Ipswich Town. Kemenangan satu-satunya yang diraih Derby di Premier League terjadi di bawah kepemimpinan manajer sebelumnya, yang mungkin membuat musim itu terasa lebih berat bagi Jewell.
Jewell mencatatkan rata-rata 1,13 poin per pertandingan selama bertugas di Derby. Jika dihitung juga saat di Divisi Championship, hasil tersebut sangat mengecewakan, dan periode sulitnya sebagai manajer klub bersejarah itu berakhir lebih cepat dari yang diharapkan.
Terry Butcher
Pemain yang luar biasa tidak selalu berhasil menjadi manajer yang sukses, dan hal ini terbukti pada Terry Butcher. Meskipun dia adalah seorang pemain yang hebat, perannya sebagai manajer tidak berjalan dengan baik, seperti yang dirasakan oleh para penggemar Hibernian. Setelah menjalani masa yang cukup baik di Inverness, pihak Hibs memutuskan untuk memberikan kesempatan kepada Butcher setelah memecat Pat Fenlon. Mengatakan bahwa keputusan tersebut tidak berhasil adalah sebuah pernyataan yang meremehkan; satu kemenangan dari 18 pertandingan terakhir musim ini berujung pada degradasi Hibs dan kepergian Butcher.
Selama masa-masa sulit di bawah kepemimpinan Butcher, para pendukung Hibs mengkritik taktiknya dengan sebutan "Tidak Bernyali" dan banyak dari mereka merasa putus asa. Fenlon sebelumnya meninggalkan Hibs dalam posisi yang cukup aman di klasemen, tetapi manajemen Butcher membawa klub ke arah yang tidak menguntungkan. Awalnya, Butcher menunjukkan performa positif dengan meraih empat kemenangan dari tujuh pertandingan pertamanya. Namun, setelah itu, segalanya mulai memburuk, dan Hibs mengalami penurunan performa yang signifikan. Butcher sempat bermain sebentar di Newport County, tetapi bisa dikatakan bahwa masa jabatannya di Hibs justru menghalangi ambisi manajerialnya. Rata-rata poin Butcher per pertandingan hanya mencapai 1,1, sedangkan Fenlon sebelumnya mencatatkan 1,28 poin per pertandingan dengan 31 kemenangan dari 87 laga yang dilatihnya. Tidak mengherankan jika para penggemar Hibs mulai merasa khawatir dengan arah klub di bawah Butcher, dan keraguan mereka terhadap taktik serta manajemen secara keseluruhan terbukti benar setelah terjadinya degradasi.
Tony Adams

Para pendukung Portsmouth tentunya berusaha melupakan masa-masa sulit yang telah dilalui. Seperti halnya Butcher, tidak diragukan lagi bahwa Adams memiliki kemampuan yang luar biasa sebagai pemain. Ia merupakan bek berkualitas tinggi yang layak diakui sebagai legenda Arsenal. Sayangnya, kariernya di dunia kepelatihan tidak dapat menyamai pencapaian gemilang yang diraihnya saat masih bermain. Ini terasa sedikit tidak adil bagi Adams, terutama setelah kepergian Harry Redknapp, sosok yang telah membantu klub meraih kesuksesan di Piala FA.
Adams menghadapi tantangan yang berat karena klub tersebut terjerat utang besar dan masa depan yang tidak pasti. Selama masa kepelatihannya di Fratton Park, ia hanya mampu meraih empat kemenangan dari total 21 pertandingan. Dalam periode itu, Portsmouth hanya mengumpulkan 10 poin dari 48 poin yang tersedia. Banyak orang berpendapat bahwa Adams telah menyia-nyiakan kesempatan emasnya untuk mengelola klub sepak bola. Menariknya, setelah itu, Adams melatih FK Qabala di Azerbaijan, namun catatan kinerjanya di sana juga tidak jauh lebih baik, di mana ia menangani 44 pertandingan sebelum meninggalkan klub.
Setelah itu, ia mendapatkan penunjukan yang cukup terkenal di Granada. Rata-rata poin yang diraih Adams per pertandingan di Portsmouth adalah 1,1, sementara penggantinya, Redknapp, berhasil meraih 1,5 poin per pertandingan. Redknapp memenangkan 54 dari 128 pertandingan yang dilatihnya, dengan rasio kemenangan yang lebih dari dua kali lipat dibandingkan Adams, yaitu 42,19 persen. Ini merupakan prestasi yang sangat mengesankan bagi klub seperti Portsmouth yang bersaing dengan tim-tim besar di Premier League.
Jaap Stam

Apa yang terjadi dengan seorang bek tengah yang beralih menjadi manajer yang tidak berhasil? Jaap Stam adalah contoh lain dari mantan pemain hebat yang kesulitan dalam karir manajerialnya. Ia dipecat saat FC Cincinnati berada di posisi kedua dari bawah di Wilayah Timur, setelah hanya memenangkan empat pertandingan sepanjang musim. Stam melihat timnya hanya mampu meraih satu kemenangan dari 16 laga yang dijalani. Ketika Stam bergabung, klub tersebut baru berusia lima tahun, dan menjadi pemimpin di sepak bola MLS adalah tantangan besar, terutama bagi tim yang tidak memiliki sejarah yang kuat. Hal ini membuatnya sulit untuk menarik pemain berbakat yang diperlukan untuk bersaing dengan klub-klub besar di liga.
Meski begitu, catatan Stam di klub tersebut sangat mengecewakan, dengan hanya delapan kemenangan dari 47 pertandingan yang dijalani. Jika ada tanda-tanda bahwa masa Stam di MLS tidak akan berjalan baik, itu terlihat saat klub mengumumkannya sebagai manajer, yang menggambarkan situasi yang tidak menguntungkan. Pelatih asal Belanda ini belum pernah melatih sejak dipecat dari Cincinnati pada September 2021. Rata-rata poin yang diraih Stam adalah 1,2 per pertandingan. Jika dibandingkan dengan masa jabatannya di Reading, di mana ia berhasil memenangkan 40 dari 98 pertandingan dengan rata-rata 1,5 poin per pertandingan, jelas bahwa ia mengalami kesulitan dalam beradaptasi dengan lingkungan di Amerika. Reputasinya sebagai manajer pun mengalami penurunan, meskipun ia pernah mendapatkan rasa hormat berkat kesuksesannya di Reading dan Feyenoord.
Lawrie Sanchez
Setelah berhasil sebagai manajer tim nasional Irlandia Utara, Fulham mengambil langkah berani dengan merekrut Sanchez setelah pemecatan Chris Coleman. Sanchez kemudian mengambil alih tugas sebagai pelatih sementara Cottagers, meskipun saat itu ia masih menjabat sebagai pelatih Irlandia Utara. Salah satu keputusan yang paling mengejutkan adalah meninggalkan posisinya di Irlandia Utara, di mana ia sangat dihormati. Selama masa jabatannya, ia berhasil meraih beberapa hasil yang mengesankan, seperti kemenangan 1-0 atas Inggris dalam pertandingan kualifikasi Piala Dunia dan hasil imbang 1-1 melawan Portugal, yang kemudian mencapai semifinal Piala Dunia 2006.
Meskipun Sanchez berhasil menjaga posisi Fulham di Premier League, catatan satu kemenangan, satu hasil imbang, dan tiga kekalahan selama masa tersebut terbilang kurang memuaskan. Walaupun demikian, Fulham tetap memberikan kontrak permanen kepada Sanchez, tetapi hubungan itu tidak bertahan lama. Ia dipecat pada bulan Desember setelah kekalahan dari Newcastle United, yang membuat Fulham terjebak di zona degradasi. Sebelumnya, Sanchez juga pernah bermain untuk Barnet dan klub Yunani, Apollon Smyrni, tetapi setelah meninggalkan Craven Cottage, ia sebagian besar menjauh dari dunia sepak bola. Rata-rata poin per pertandingan yang diraih Sanchez adalah 1,2, yang jelas tidak cukup untuk menghindari ancaman degradasi di Premier League. Masih belum diketahui apakah Sanchez akan menerima tawaran pekerjaan di Fulham lagi jika ia diberi kesempatan untuk mengulang masa lalunya. Ia telah menciptakan sesuatu yang istimewa dengan tim nasional Irlandia Utara dan sedang dalam proses memperkuat warisannya di tim tersebut.
Howard Wilkinson

Masa-masa sulit yang dialami Howard Wilkinson saat menjabat sebagai manajer Sunderland menjadi salah satu yang paling diingat. Di akhir masa kerjanya dengan Black Cats, rasio kemenangannya tercatat hanya 14,81 persen setelah memimpin 27 pertandingan di Wearside. Ia diangkat sebagai manajer pada Oktober 2002 ketika Sunderland berada dalam ancaman degradasi.
Sayangnya, ia tidak mampu menyelesaikan musim tersebut dan memilih untuk mundur pada Maret 2003, tanpa berhasil mengubah keadaan klub. Meskipun Sunderland sedang berada dalam krisis, mereka memiliki kesempatan untuk menunjuk manajer baru yang dapat membawa perubahan positif bagi tim.
Namun, keputusan untuk memilih Wilkinson cukup mengejutkan, mengingat ia sudah enam tahun tidak terlibat dalam manajemen yang signifikan. Mantan pelatih Leeds United itu tampaknya sudah kehilangan arah sejak awal, mengingat atmosfer klub yang tidak sehat, dan ia harus berjuang keras untuk memberikan dampak yang berarti.
Selain itu, Wilkinson juga terlibat dalam beberapa pertikaian dengan wartawan lokal, yang menggambarkan suasana yang tegang di Wearside. Akibatnya, Sunderland mengakhiri musim di posisi terbawah klasemen dengan rekor terendah saat itu, yaitu hanya 19 poin. Sejak saat itu, Wilkinson tidak terlihat lagi di bangku cadangan. Rata-rata poin per pertandingannya di Sunderland mencapai 1,35, yang pada akhirnya memastikan klub tersebut terdegradasi dari Premier League. Sumber: Givemesport