Merdeka.com - Malaria adalah salah satu penyakit yang telah menelan banyak korban jiwa. Hingga saat ini peneliti mencari cara untuk menekan jumlah korban malaria. Tak terkecuali organisasi kemanusiaan medis internasional MSF (Medecins Sans Frontieres).

Sejak bulan Juli 2012, MSF menerapkan strategi Intervensi Pencegahan Malaria Musiman di dua negara Afrika. Mereka menerapkan beberapa strategi awal untuk meningkat daya cegah malaria.

Pada mulanya para peneliti menyeleksi rejimen pengobatan anti-malaria yang pernah diterapkan. Peneliti mengenalkan obat malaria yang terdiri atas kombinasi amodiaquine dan sulphadoxine/pyrethamine. Kedua obat ini dipilih karena efektif dan tak menimbulkan efek samping pada anak-anak. Obat tersebut diketahui mampu memberikan perlindungan anti malaria selama kurang lebih 28 hari.

Langkah kedua, peneliti memberikan obat-obatan tersebut pada anak-anak balita usia tiga bulan hingga lima tahun. Pasalnya, pada usia tersebut sistem kekebalan tubuh anak masih belum berkembang, sehingga mereka lebih rentan menjadi korban penyakit malaria.

Peneliti kemudian memilih dua daerah di Afrika untuk melaksanakan program tersebut, yaitu Mali dan Chad. Selama ini, penyakit malaria telah menelan banyak korban di dua kota tersebut. Setidaknya terdapat 60 persen kasus yang muncul dalam empat bulan di daerah-daerah tersebut.

Kabar baik muncul setelah program dilaksanakan, peneliti mendapatkan hasil yang bagus. Setidaknya terdapat 65 persen penurunan kasus malaria di Mali, hanya dalam kurun waktu satu minggu setelah program diterapkan.

"Kasus-kasus malaria akut yang biasanya butuh perawatan rumah sakit juga menurun tajam hingga 70 persen. Jika biasanya terdapat 247 kasus malaria setiap minggu, saat ini hanya ada 84 kasus. Hasil ini sangat menggembirakan," jelas Dr Estrella Lasry, spesialis penyakit malaria MSF.

Meski begitu Lasry menganggap hasil ini terlalu dini untuk dijadikan kesimpulan yang pasti. Mereka masih membutuhkan perawatan berkala bagi seluruh penduduk, termasuk orang dewasa, karena malaria bisa ditularkan melalui gigitan beberapa jenis nyamuk.

"Untuk saat ini kami sedang fokus pada upaya pengurangan kematian akibat malaria," jelas Lasry.

Saat ini setidaknya terdapat 15 persen anak yang terkena jenis malaria parah. Tanpa penanganan yang tepat, anak-anak tersebut bisa kehilangan nyawa. Untuk itu, peneliti berfokus untuk mengurangi jumlah kasus malaria pada kelompok yang memiliki risiko kematian terbesar, yaitu anak-anak.

Ke depannya peneliti masih akan mempelajari dan menemukan program pencegahan malaria yang paling cocok untuk diterapkan di semua negara. Selain meneliti keamanan obat untuk digunakan sepanjang tahun, peneliti juga memperhatikan efek samping yang bisa diakibatkan oleh obat jika dikonsumsi berkali-kali.

Misalkan obat amodiaquine yang bisa mengakibatkan anak muntah-muntah atau pyrithamine yang juga bisa menyebabkan efek samping seperti alergi. Selain itu, meski saat ini biaya pengobatan malaria masih murah (sekitar Rp 5.000 per anak), namun biaya ini bisa melangit jika suatu negara ingin membagikannya secara nasional ke seluruh masyarakat.

Lasry menekankan bahwa penelitian dan program yang mereka lakukan masih belum final. Walaupun saat ini hasil yang mereka dapatkan sudah menggembirakan, namun peneliti harus sangat berhati-hati mengenai dampak program yang bisa terjadi. Setidaknya dari program ini peneliti telah menemukan senjata baru untuk mencegah dan menyembuhkan penyakit malaria.