Teror Diskusi Pemakzulan, Penguasa Disudutkan
Merdeka.com - Diskusi Fakultas Hukum UGM bertajuk 'Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan' berbuntut panjang. Tema diskusi virtual itu berbuah teror kepada pembicara, moderator maupun narahubung yang namanya tertera dalam poster.
Teror yang menyasar mereka beragam, mulai dari pengiriman pemesanan ojek online ke kediaman, teks ancaman pembunuhan, telepon, hingga adanya beberapa orang yang mendatangi kediaman mereka. Bahkan, teror merembet hingga menyasar nomor telepon orang tua para mahasiswa tersebut.
Diskusi virtual yang akan digelar Jumat (29/5) itu akhirnya batal digelar karena jadi kontroversi. Gara-gara teror diskusi UGM terkait pemakzulan presiden itu, penguasa mulai disudutkan.
Satu persatu pegiat hukum, LSM hingga tokoh nasional mempermasalahkan teror tersebut sebagai bentuk pembungkaman terhadap kebebasan berpendapat.
Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin menilai pemberangusan terhadap kebebasan berpendapat merupakan langkah awal pembodohan terhadap kehidupan bangsa.
"Kalau ada pembungkaman kampus, pembungkaman akademik, pemberangusan mimbar akademik, itu sebenarnya bertentangan secara esensial dengan mencerdaskan kehidupan bangsa," kata Din dalam diskusi yang disiarkan melalui YouTube Mahutama, Senin (1/6).
Din mengaku sangat terganggu jika ada rezim yang cenderung otoriter, represif dan antikebebasan berpendapat. Padahal, kebebasan berpendapat sudah diatur dalam Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945.
Dia kemudian memaparkan perspektif Islam terhadap kebebasan berpendapat. Dia menyebut, Islam sangat membuka ruang kebebasan berpendapat seluas-luasnya. Dia juga menggambarkan bagaimana Tuhan memberikan ruang kebebasan kepada malaikat saat proses penciptaan manusia terjadi.
"Ketika Adam diciptakan dan malaikat diminta untuk bersujud kepada Adam, malaikat bertanya adakah engkau menciptakan makhluk yang senantiasa menumpahkan darah dan membuat kerusakan di muka bumi? Allah sang pencipta tidak membungkamnya, hanya menyatakan Aku lebih tahu tentang apa yang engkau tidak tahu," jelasnya.
Tiga Syarat Kepala Negara Bisa Dimakzulkan
Dosen Pemikiran Politik Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta juga berbicara ada tiga syarat untuk memakzulkan kepala negara. Tiga syarat ini merujuk pada pendapat pemikir politik Islam, Al Mawardi.
Syarat pertama, tidak adanya keadilan. Pemimpin bisa dimakzulkan bila tidak bisa berlaku adil, misalnya hanya menciptakan satu kelompok lebih kaya.
"Prinsip freedom menyerukan kepada rakyat untuk melawan pemimpin yang zalim, kepemimpinan yang tidak adil terutama jika kepemimpinan itu membahayakan kepentingan bersama seperti melawan konstitusi," kata Din.
Syarat kedua, lanjut Ketua Dewan Pertimbangan MUI itu, ketika pemimpin tidak memiliki ilmu pengetahuan yang cukup. Pemimpin tersebut juga tidak memberi ruang bagi dunia akademik untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
"Kalau ada pembungkaman kampus, pembungkaman akademik, pemberangusan mimbar akademik itu sebenarnya bertentangan secara esensial dengan mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam praktik-praktik sebaliknya adalah pembodohan kehidupan bangsa," jelas Din.
Terakhir, pemimpin bisa dimakzulkan ketika dia kehilangan kewibawaan dan kemampuan memimpin, terutama dalam masa kritis. Terlebih, jika dalam situasi kritis, pemimpin mudah didikte atau ditekan orang di sekelilingnya atau pihak luar.
Rezim Otoriter Muncul Lagi?
Pakar Hukum Tata Negara, Denny Indrayana juga menyesalkan pembungkaman terhadap diskusi virtual Fakultas Hukum UGM itu. Denny menyebut, upaya ini menunjukkan kepemimpinan otoriter seperti yang terjadi di masa orde baru muncul kembali.
"Hal-hal semacam ini tentu saja menunjukkan karakteristik otoritarianisme yang muncul lagi," kata Denny dalam diskusi yang disiarkan melalui YouTube Mahutama, Senin (1/6).
Denny mengatakan, seharusnya pemerintah menyambut baik diskusi-diskusi yang digelar para mahasiswa. Sebab, diskusi dan dialog merupakan cara mahasiswa melestarikan budaya intelektual.
Sebagai mantan guru besar Hukum Tata Negara UGM, Denny mengaku sangat terganggu dengan ancaman pembunuhan terhadap penyelenggara diskusi tersebut. Bahkan ancaman teror serupa diarahkan kepada para narasumber.
"Tentu saja ini satu hal yang mengganggu. Saya tahu persis teman-teman yang menyelenggarakan kegiatan ini lintas mahasiswa hukum tata negara," ujarnya.
Sulit Makzulkan Kepala Negara Lewat Kebijakan
Namun, Denny menilai sangat sulit untuk memakzulkan Presiden Joko Widodo dengan alasan kebijakan yang dikeluarkan selama masa pandemi-19 tidak tepat. Sebab, kebijakan bukan salah satu alasan konstitusional untuk memberhentikan kepala negara.
Denny menyebut, merujuk Undang-Undang Dasar 1945 pasal 7A ada tiga syarat pemakzulan presiden. Pertama, presiden melakukan pengkhianatan, korupsi atau tindak pidana berat.
Kedua terkait etika, yaitu perbuatan tercela. Ketiga, alasan administratif, yakni jika presiden dan wakil presiden tidak memenuhi syarat untuk jadi presiden dan wakil presiden.
"Kalau itu sepanjang terkait dengan kebijakan maka kebijakan saja bukan merupakan alasan untuk memakzulkan presiden," kata Denny dalam diskusi 'Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitusional Pemakzulan Presiden di Era Pandemi Covid-19', Senin (1/6).
"Kalau kebijakannya saja maka pemberhentiannya bukan melalui proses pemakzulan tetapi melalui pilpres. Kalau kita tidak setuju dengan cara kerja presiden, tidak setuju dengan pilihan-pilihan kebijakan presiden maka proses kita menghentikannya bukan di tengah jalan tapi melalui proses pemilu," sambungnya.
Selain tak memenuhi syarat konstitusional, lanjut Denny, proses pemakzulan presiden akan terganjal restu DPR. Saat usulan pemakzulan masuk ke DPR, maka kemungkinan besar koalisi partai pendukung Jokowi di DPR akan menolak.
Apalagi, jumlah partai koalisi Jokowi, yakni PDIP, Golkar, NasDem, PKB, dan PPP memiliki 349 kursi atau 60 persen kursi DPR.
Pasang Badan Koalisi Jokowi
Politikus PDIP Hendrawan Supratikno menilai, pernyataan Din Syamsudin terkait pemakzulan merupakan masukan yang penting. Hendrawan menilai, syarat yang dibicarakan Din berlaku umum. Dia mengatakan, perlu program kerja dan kepemimpinan nasional yang menekankan keadilan, kedaulatan ekonomi dan pelaksanaan strategi cerdas berbasis data agar syarat tersebut tidak terpenuhi.
"Agar syarat tersebut tidak dipenuhi, program-program kerja dan kepemimpinan nasional memang menekankan komitmen untuk keadilan, kedaulatan ekonomi dan pelaksanaan strategi yang cerdas berbasis data yang akurat," kata Hendrawan.
Hendrawan mengatakan, masalah pemakzulan presiden sudah diatur dalam UUD 1945. Dia mengatakan, pernyataan Din tak perlu diperkeruh dan ditafsirkan bermacam-macam.
Selain PDIP, PKB juga angkat bicara soal pernyataan Din. Politikus PKB Marwan Dasopang menilai, pemakzulan presiden tidak bisa ditafsirkan secara politis. Sebab, sudah diatur perihal pemakzulan dalam undang-undang.
Marwan mengatakan, tidak mudah untuk memakzulkan presiden. Ada proses panjang yang telah diatur oleh undang-undang. "Tak mudah kalau di dalam pasal-pasal pemakzulan kita karena melalui pengadilan, melalui apa semua kan panjang," kata dia.
Marwan menilai, tak perlu mempermasalahkan pernyataan Din. Sepanjang hanya bicara sejarah politik dan berwacana. Berbeda kasusnya jika sudah menyiapkan gerakan politik untuk memakzulkan presiden.
Istana Beri Tanggapan Teror UGM
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Donny Gahral, menegaskan, teror kepada panitia diskusi di UGM soal pemecatan Presiden bukan ulah kekuasaan resmi. Dia menyebut, pelakunya pihak di luar kekuasaan yang punya tujuan tertentu.
"Saya kalau bisa dikatakan ya yakin bahwa itu bukan ulah kekuasaan resmi, itu ulah sub, sub, kekuasaan yang partikelir yang berupaya untuk mengambil hati pemegang kekuasaan demi reputasi dan mobilisasi politik," kata Donny saat diskusi 'Teror dalam ruang Demokrasi', Rabu (3/6).
Menurutnya, terlalu jauh bila disimpulkan pemerintahan Jokowi membelenggu dan membatasi kekuasaan dengan hanya indikator teror. Donny pun mendukung teror tersebut diusut tuntas.
"Saya beberapa kesempatan mengatakan bahwa pemerintah menginginkan agar diusut saja sehingga terang benderang siapa yang meneror, apa motivasinya dan kemudian bisa diproses lebih lanjut," ucapnya.
Dia menambahkan, jika pun yang meneror diskusi di kampus tersebut bagian dari kekuasaan ataupun aparat resmi negara, itu adalah penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan.
(mdk/ray)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
5 Cara yang Terbukti Ilmiah Bisa Membuat Lebih Sehat di Akhir Pekan
Untuk menghabiskan akhir pekan secara lebih sehat, terdapat beberapa cara yang terbukti secara ilmiah bisa kita lakukan.
Baca SelengkapnyaDiminta Bersihkan Halaman Lapas, Napi Permisan Malah Kabur
Pihak lapas sudah memilih dia sebagai petugas kebersihan karena sudah dinyatakan memenuhi persyaratan yang ditentukan.
Baca SelengkapnyaCara Memulihkan Tubuh saat Kelelahan Akibat Banyak Bersosialisasi
Pada saat seseorang kelelahan akibat terlalu banyak bersosialisasi, penting untuk melakukan pemulihan yang tepat.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Tenggang Rasa adalah Sikap Peduli pada Orang Lain, Ini Contohnya
Tenggang rasa bentuk penghargaan terhadap perasaan, pemikiran, dan kepentingan orang lain.
Baca SelengkapnyaPakar Nilai Berdasarkan UU, MK Tak Berwenang Tangani Dugaan Pelanggaran TSM Pemilu
Penanganan pelanggaran atau kecurangan secara TSM itu ranahnya ada di Bawaslu, bukan MK.
Baca SelengkapnyaMengapa Penting untuk Mencuci Telur Sebelum Menyimpannya dan Cara Aman Melakukannya
Sebelum disimpan, telur perlu untuk dicuci dulu secarea menyeluruh untuk mencegah munculnya masalah.
Baca Selengkapnya'Kita Harus Rayakan Demokrasi dengan Damai Kedepankan Persaudaraan'
Berdemokrasi sehat berarti mengerti jika Pemilu sarana untuk bersatu bukan bermusuhan.
Baca SelengkapnyaPenggembala Ternak Jadi Tersangka Usai Bunuh Maling, Kapolres: Ada Kesempatan Minta Tolong
Menurut Sofwan pertimbangan perkara tersebut tetap diproses agar status tersangka M memperoleh kepastian hukum yang tetap melalui proses hukum.
Baca SelengkapnyaDitemui Keluarga Pelaku, Orangtua Remaja Perempuan Korban Penganiayaan di Ciputat Tolak Damai
Nida bersama suaminya kemudian membuat laporan Polisi.
Baca Selengkapnya