Gonjang Ganjing Pilkada Langsung Mau Dievaluasi karena Politik Uang, Sudah Tepatkah?
Merdeka.com - Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian meminta sistem pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung dikaji ulang. Tito menilai, sistem pemilihan secara langsung banyak mudaratnya.
Tito mengakui ada manfaatnya terkait partisipasi politik, tetapi biaya politiknya terlalu tinggi hingga memicu kepala daerah terpilih melakukan tindak pidana korupsi.
"Kita lihat mudaratnya juga ada, politik biaya tinggi. Kepala daerah kalau enggak punya Rp 30 miliar, mau jadi Bupati mana berani dia. Sudah mahar politik," ucap Tito di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (6/11).
Perlukah Pilkada langsung dievaluasi? Berikut ulasannya:
Bentuk Arogansi Parpol
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus mengatakan usulan mengubah Pilkada langsung menjadi tidak langsung adalah ekspresi kearogansian Parpol juga nafsu akan kekuasaan yang tak disertai komitmen moral untuk mewujudkan demokrasi yang bermartabat.
Lucius menilai jika selama ini Pilkada langsung identik dengan politik uang adalah kesalahan besar. Menurut dia itu hanya akal-akalan dari parpol.
"Alasan ini dibikin sedemikian rupa sehingga nampak sebagai monster menakutkan yang entah siapa pembuatnya. Lalu kalau publik sudah merasakan efek ketakutan karena monster itu, parpol dengan mudah mengeksekusi niat mereka mengubah sistem pilkada langsung menjadi tidak langsung," jelas Lucius kepada merdeka.com, Jumat (8/11).
Menurutnya, alasan karena adanya politik uang buat mengubah sistem pilkada langsung menjadi tak langsung sesungguhnya sedang menelanjangi diri parpol sendiri.
"Mereka sedang memberikan testimoni soal money politics. Sayangnya mereka tak mau tegas mengakui diri mereka sebagai pelaku. Kan calon kepala daerah diusung oleh parpol-parpol yang kelihatan sok suci ini? Dan karena diusung parpol artinya money politics itu dilakukan oleh warga parpol kan? Kok nggak ngaku sih?," sambungnya.
Parpol yang Menyebabkan Biaya Politik Mahal
Mendagri Tito Karnavian mengatakan dengan adanya Pilkada langsung menyebabkan biaya politiknya terlalu tinggi hingga memicu kepala daerah terpilih melakukan tindak pidana korupsi. Peneliti Formappi Lucius Karus membantah hal itu. Menurutnya yang menyebabkan biaya politik mahal adalah partai itu sendiri.
"Ketika mereka menuding biaya politik yang tinggi, mereka lupa diri kalau parpol-parpol adalah biang keroknya. Mulai dari pendanaan Parpol yang tak jelas, korupsi politisi dan kepala daerah, dan biaya tinggi pilkada, semua dilakukan oleh warga parpol yang sekarang seolah-olah tak merasa sebagai pelaku kejahatan politik uang tersebut," jelasnya.
"Lha memang siapa yang menabur uang di Pilkada? Mereka adalah calon yang diusung parpol juga kan? Selain ditabur ke lapangan kampanye, uang di Pilkada itu juga banyak "dihisap Parpol untuk membeli" persyaratan dukungan calon," sambungnya.
Yang Harus Dievaluasi Bukan Pilkada Langsung, Tapi Parpol
Lucius Karus mengatakan yang seharusnya dibenahi bukan terkait sistem Pilkada langsung yang dianggap sudah tidak relevan. Namun, yang harus diperbaiki adalah partai politik.
"Kalau parpol sadar bahwa mereka adalah penyebab kerusakan sistem, maka mestinya tantangan kita sekarang untuk membereskan money politics atau Pilkada Berbiaya Tinggi adalah merevolusi Parpol. Biang pengrusakan di tubuh parpol yang selama ini telah memicu politik berbiaya tinggi harus dirubah. Parpol harus tunduk pada sistem tata kelola parpol, dan tata kelola itu yang harus dipikirkan parpol," ujarnya.
Jadi seharusnya partai politik yang memperbaiki diri, jadi jangan menyalahkan sistem pemilu yang sudah ada. "Kenapa untuk sesuatu yang pemicunya adalah parpol, perbaikannya bukan pada mereka sendiri tetapi malah menuding hal-hal lain seperti sistem Pilkada Langsung?," kata Lucius.
"Berani nggak parpol mendeklarasikan reformasi parpol sebagai fokus utama sehingga sistem pemilu tak dipaksa bergonta-ganti hanya demi melindungi terus praktik menyimpang parpol dalam mengelola organisasi partai?," ujarnya.
Dukungan dari Partai Politik
Sementara itu sejumlah partai politik mendukung rencana evaluasi Pilkada Langsung. Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan, evaluasi perlu dilakukan karena pemilu langsung menyebabkan tingginya biaya, korupsi dan ketegangan politik. Alasannya karena sistem tersebut bercita-rasa liberal kapitalistik.
"Sistem politik, sistem kepartaian, dan sistem pemilu harus senapas dengan demokrasi Pancasila yang mengandung elemen pokok perwakilan, gotong royong, dan musyawarah," katanya di Jakarta, Jumat (8/11).
Dalam demokrasi Pancasila, dia mengungkapkan, hikmat kebijaksanaan untuk kepentingan rakyat, bangsa dan negara dikedepankan. Menurutnya, Pemilu langsung selama ini selain berbiaya mahal, memunculkan oligarki baru, kaum pemegang modal dan yang memiliki akses media yang luas, serta mereka yang mampu melakukan mobilisasi sumber dayalah yang berpeluang terpilih.
"Demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat tereduksi menjadi demokrasi kekuatan kapital. Dalam perspektif inilah kritik Mendagri terasa begitu relevan," jelasnya.
Hasto mengungkapkan, PDIP telah melakukan praktik politik guna menyempurnakan demokrasi Pancasila di internal Partai, yang menempatkan merit sistem melalui psikotest, test tertulis dan wawancara di dalam pemilihan pimpinan Partai di tingkat provinsi dan kabupaten kota. Semuanya diterapkan secara musyawarah tanpa voting, dan dipimpin oleh ideologi Pancasila.
"Hasilnya, kualitas kepemimpinan Partai di semua tingkatan meningkat, berbiaya sangat murah, dan minim konflik. PDI Perjuangan menegaskan sebagai Partai dengan biaya paling kompetitif dan efektif di dalam melakukan konsolidasi struktural Partai," tutupnya.
Sekjen PPP Arsul Sani menilai sudah waktunya ada penelitian empiris soal manfaat dan kerugian dari pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung. Hal ini, ia katakan terkait dengan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian yang ingin pilkada langsung dievaluasi.
"Menurut kami di PPP sudah saatnya ada penelitian empiris tentang manfaat dan mudaratnya Pilkada langsung sebelum pemerintah dan DPR sebagai pembentuk UU kemudian mengambil langkah kebijakan termasuk politik hukum baru misalnya pilkadanya diubah jadi enggak langsung," katanya pada wartawan, Jumat (8/11).
Dia menilai memang pilkada langsung lebih banyak negatifnya dari manfaatnya. Terutama karena pilkada langsung memakan biaya yang tinggi serta marak politik uang.
"Artinya kan biaya politiknya lebih tinggi. Kalaupun ada istilahnya hengkipengki politik DPRD dengan katakanlah membiayai pilkada yang harus mencakup sekian luas wilayah dan masyarakat, itu saya yakin pilkada enggak langsung jauh lebih rendah," ungkapnya.
(mdk/dan)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Krisis Pangan Akibat Pupuk Langka, 22 Negara Ogah Jual Beras ke Luar Negeri
Banyak negara kini memilih berjaga untuk kepentingan dalam negeri dengan cara menutup keran ekspor pangannya,
Baca SelengkapnyaDikeluhkan Soal Modal saat Blusukan ke Pasar Boyolali, Ganjar Janjikan Kredit Bunga Ringan Khusus Pedagang
Ganjar bicara memiliki program bernama Kredit Lapak, kredit murah khusus untuk para pedagang pasar saat menjabat Gubernur Jateng.
Baca SelengkapnyaPemerintah Bantah Kenaikan Harga dan Kelangkaan Beras Akibat Program Bansos Pangan, Begini Penjelasannya
Pemerintah membantah kenaikan harga dan kelangkaan beras karena program bansos pangan yang aktif dibagikan belakangan ini.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Debat Ketiga Pilpres, Ganjar Cerita Saat Bertemu Istri Jenderal Hoegeng Bicara Kondisi Polisi
Ganjar mengungkapkan sejumlah tantangan yang dihadapi Indonesia terkait keamanan.
Baca SelengkapnyaDi Sulteng, Jokowi Apresiasi Gebrakan Mentan Lakukan Percepatan Tanam Padi
Luas hamparan panen di Desa Pandere, Kecamatan Gumbasa seluas 266 hektar.
Baca SelengkapnyaTanggapi Kubu Ganjar, Istana: Penyaluran Bansos Tak Ada Hubungan dengan Proses Pemilu
Saat ini banyak rakyat atau keluarga miskin yang membutuhkan bantuan akibat kenaikan harga bahan-bahan pokok.
Baca Selengkapnya6 Orang Jadi Tersangka Penganiayaan Relawan Ganjar-Mahfud, Ganjar: Oknumnya Tak Boleh Semena-Mena
Ganjar Pranowo memuji gerak cepat Panglima TNI Agus Subiyanto dalam menangani kasus penganiayaan relawannya.
Baca SelengkapnyaMentan Sentil Dirut Bulog: Jangan Terlalu Bersemangat Impor Daging Kerbau, tapi Lupa Serap Gabah dan Jagung Petani
Saat ini, Kementan tengah fokus pada pemenuhan pangan dalam negeri untuk menekan kebijakan impor. Dua di antara komoditas jagung dan padi.
Baca SelengkapnyaHari Pers Nasional, Ganjar: Ujian Jurnalis Tidak Ringan, Apalagi Memberitakan Isu Politik
Ganjar mengingatkan, kebebasan pers dijamin oleh negara
Baca Selengkapnya