Catatan merah dari 'oposisi' untuk 3 tahun Jokowi-JK
Merdeka.com - Hari ini 20 Oktober 2017, tepat tiga tahun Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla memerintah. Banyak program kerja mereka terutama di bidang infrastruktur yang mulai terlihat hasilnya. Namun, masih banyak janji kampanye yang belum berhasil diwujudkan. Hal ini menjadi sorotan dari partai politik yang tidak bergabung dalam pemerintahan.
Ketua DPP Partai Gerindra Ahmad Riza Patria menilai aspek demokrasi merupakan catatan merah dari pemerintahan Jokowi-JK. "Kalau dari aspek demokrasi, menurut kami luar biasa. Menurut kami ini catatan merah ya," kata Riza di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (19/10).
Contohnya, langkah pemerintah memaksakan ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen dalam UU Pemilu. Penerapan angka ambang batas pencalonan presiden dinilai melanggar hak demokrasi warga negara dan konstitusi. "Konstitusi pemilu misalnya, pemerintah memaksakan presidential threshold 20 persen, ini sangat melanggar. Melanggar hak demokrasi, keadilan, melanggar hak yang sama, melanggar konstitusi," tegasnya.
Pemerintah seharusnya menurunkan bukan malah menaikkan angka ambang batas pencalonan presiden. Untuk itu, Riza menyebut penerapan ambang batas justru merupakan kemunduran demokrasi. "Kita telah memberi kesempatan pemilihan presiden dan wakil presiden diusung melalui partai politik tidak memberi ruang pada independen, tapi di partai politik sendiri sudah dibatasi lagi dengan threshold 20 persen," sambung dia.
Selain UU Pemilu, keluarnya Perppu Ormas semakin menambah mundur iklim demokrasi di Indonesia. Terbitnya Perppu Ormas menunjukkan pemerintah arogan, represif dan otoriter. "Tambah lagi sekarang Perppu Ormas, lebih mundur karena ini seperti arogansi kekuasaan, bentuk otoriter, ini bentuk represif, bentuk tafsir tunggal, absolut pada pemerintah semata," ujar Riza.
Lebih lanjut, Riza menyoroti soal program revolusi mental yang dikampanyekan Jokowi-JK saat Pemilihan Presiden 2014 silam. Hingga saat ini, dia mengaku tidak memahami konsep dan implementasi program tersebut.
Wakil Ketua Komisi II ini menambahkan, pekerjaan rumah pemerintah yang harus segera diatasi yakni masalah sembako, masalah tingginya listrik, pengangguran, sulitnya lapangan pekerjaan. "Sampai hari ini kita enggak ngerti, enggak tau apa konsep revolusi mental, implementasinya seperti apa, bentuknya seperti apa. Buktinya kriminal meningkat, pidana meningkat, korupsi meningkat, dan sebagainya," ucapnya.
Sedangkan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menyoroti dua hal yakni soliditas menteri kabinet kerja yang belum kompak dan upaya menepati janji kampanye Jokowi yang mulai memudar. "Kalau saya mengevaluasi pemerintahan ini yang belum mantap itu soliditas. Yang kedua janji kampanyenya memudar," kata Fahri di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (19/10).
Lemahnya soliditas para menteri, kata Fahri, dikarenakan Jokowi gagal menjadi pemimpin yang membuat mereka solid. "Dugaan saya Pak Jokowi gagal sebagai solidarity maker. Pak Jokowi kurang nge-grip orang-orangnya. Dan tidak ada yang membantu Jokowi nge-grip kabinet. Kalau kita lihat pertengkaran-pertengkaran ini kan nyata," terangnya.
Kemudian, Fahri menduga janji kampanye memudar karena tidak diinternalisasi dengan baik di jajaran menteri Kabinet Kerja. Hal ini berpengaruh terhadap semangat kerja dan kekompakan para menteri pembantu Jokowi. "Dugaan saya ini janji-janji kampanye tidak terlalu diinternalisasi di kalangan anggota kabinet. Sehingga itu menjadi dasar persatuan kerja," tegasnya.
Tak hanya itu, dia menilai janji Jokowi dalam pembangunan infrastruktur terlalu tinggi namun tidak bisa dilaksanakan dengan maksimal. Pasalnya, pembangunan infrastruktur era Jokowi banyak dibebankan kepada rakyat dengan mencabut subsidi dan menaikkan harga bahan kebutuhan pokok. "Sebab kalau kita mau melakukan kritik teknis kan pembangunan di masa Pak Jokowi kan biayanya dibebankan kepada rakyat. Karena banyak bangun infrastruktur maka subsidi banyak dicabut, harga-harga dinaikin," ujarnya.
Demikian juga dengan Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Syarief Hasan yang menyoroti masalah seperti kesenjangan sosial, dan kemiskinan. "Saya pikir yang harus perhatikan menyangkut masalah kesenjangan, masalah kemiskinan, keberpihakan kepada rakyat kecil," ujar Syarief di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (19/10).
Selain masalah kesenjangan sosial, Syarief mengingatkan agar Presiden Jokowi mengevaluasi lagi kekompakan para menteri Kabinet Kerja. "Kemudian kekompakan kabinet ini harus betul-betul lebih dievaluasi lagi dan harus betul dibuat kompak," ujarnya.
Terkait pembangunan infrastruktur, dia menilai hal itu memang dibutuhkan untuk jangka panjang. Akan tetapi belum memberikan pengaruh besar kepada masyarakat untuk saat ini. "Infrastruktur itu tentu dalam jangka panjang mungkin bagus. Saya pikir itu bagus tetapi yang lebih penting sekarang karena infrastruktur tidak berdampak sekarang," tukasnya.
(mdk/bal)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
AHY menilai, banyak keterbatasan saat partainya berada di luar pemerintah atau oposisi.
Baca SelengkapnyaLangkah Gibran maju di Pilpres 2024 membuat sejumlah pihak meradang dan mendorong pemakzulan Jokowi.
Baca SelengkapnyaJK mengapresiasi Jokowi yang menegaskan tidak akan ikut kampanye Pilpres 2024.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Istana menegaskan, Presiden Joko Widodo atau Jokowi tak terganggu dengan munculnya wacana pemakzulan Jokowi.
Baca SelengkapnyaPanglima TNI Jenderal Agus Subiyanto Jamin Prajurit Netral walaupun Presiden Jokowi Berkampanye
Baca SelengkapnyaJK menyatakan bahwa semua pejabat sampai kepala pemerintah, presiden turut diambil sumpahnya agar berlaku adil bagi masyarakat.
Baca SelengkapnyaCapres Anies mengkritik pemerintahan Jokowi yang banyak melakukan pembangunan infrastruktur jalan tapi berbayar (jalan tol).
Baca SelengkapnyaUsulan kenaikan pangkat Prabowo ini merupakan usulan Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto.
Baca SelengkapnyaPertemuan itu membahas terkait program pemerintah saat ini supaya bisa dilanjutkan oleh presiden terpilih agar terjadi kesinambungan pembangunan.
Baca Selengkapnya