Analisis Hukum: Kenapa Harus Sistem Pemilu Coblos Parpol Bukan Caleg
Merdeka.com - Mekanisme mencoblos partai politik bukan calon legislatif (caleg) atau proporsional tertutup pada Pemilu 2024 menuai pro dan kontra. Wacana itu mencuat seiring aturan pemilu proporsional terbuka atau coblos caleg langsung yang tertuang dalam Pasal 168 ayat (2) Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Wacana tersebut sontak menuai reaksi keras delapan parpol fraksi di DPR. Delapan parpol itu adalah Golkar, Gerindra, Demokrat, NasDem, PAN, PKB, PPP dan PKS. Mereka mengajukan diri sebagai pihak terkait dalam judicial review sistem proporsional tertutup di MK. Strategi disiapkan menghadapi sidang perdana yang akan digelar MK pada Selasa 17 Januari 2023.
Sikap menolak pemilu dengan sistem proporsional tertutup juga ditunjukan dengan pertemuan delapan ketua umum dan pimpinan partai politik parlemen pada Minggu (8/1).
Mereka adalah Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto, Ketum PKB Muhaimin Iskandar, Presiden PKS Ahmad Syaikhu, Ketum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono, Ketum PAN Zulkifli Hasan, Waketum NasDem Ahmad Ali dan Waketum PPP Amin Uskara. Sementara Gerindra izin tidak dapat hadir namun menyampaikan sepakat dengan sikap ketujuh parpol tersebut. Hasil pertemuan tersebut menyatakan sikap delapan parpol menolak proporsional tertutup.
Airlangga menyebut sistem pemilu proporsional terbuka yang telah dilakukan selama tiga kali pemilu merupakan perwujudan dari demokrasi yang berasaskan kedaulatan rakyat. Lewat sistem tersebut, rakyat dapat menentukan calon anggota legislatif yang dicalonkan oleh partai politik.
Sehingga gugatan terhadap sistem pemilu proporsional terbuka menjadi preseden buruk bagi hukum Indonesia dan tidak sejalan dengan asas nebis in idem. Sistem pemilu proporsional tertutup juga dinilai kemunduran bagi demokrasi Indonesia.
"Kami tidak ingin demokrasi mundur," kata Airlangga di Hotel Dharmawangsa, Minggu (8/1).
Sementara itu, PDI Perjuangan mendukung pemilu di Indonesia menerapkan kembali sistem proporsional tertutup. Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI-P Hasto Kristiyanto mengatakan, sistem proporsional terbuka membawa dampak liberalisasi politik.
Berita Pemilu 2024 lainnya, bisa dibaca di Liputan6.com
Sistem pemilu proporsional terbuka juga dinilai Hasto cenderung mendorong adanya nepotisme. Sebab, caleg-caleg yang diangkat adalah anak atau istri para tokoh tanpa melalui pendidikan politik.
"Kami melihat proporsional terbuka dalam pragmatisme partai politik cenderung mendorong nepotisme yang mengangkat sekadar anak anak tokoh, istri istri tokoh untuk sekadar diangkat (caleg) tanpa melakukan proses kelembagaan melalui kaderisasi dan pendidikan politik," kata Hasto dalam acara rilis survei Indikator Politik Indonesia, Rabu (4/1).
Analisis Hukum
Secara hukum, Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi Universitas Muslim Indonesia Fahri Bachmid menilai sistem pemilu proporsional tertutup tetap bersifat konstitusional serta menjamin terjaganya demokrasi. Secara teori bahkan menurut Fahri, sistem pemilu tertutup dapat memperkuat sistem presidensialisme dan memperkuat kualitas demokrasi konstitusional Indonesia
"Pada sisi lainnya negara dapat mengorganize partai politik menjadi lebih kuat, dan aspiratif," kata Fahri kepada merdeka.com, Kamis (12/1).
Fahri berpandangan, sistem proporsional tertutup idealnya memiliki banyak keunggulan. Salah satunya mampu menekan politik uang. Sebab biaya pemilu nantinya akan lebih murah ketimbang sistem proporsional terbuka.
Selain itu menurut Fahri, sistem pemilu proporsional tertutup memastikan bahwa masyarakat cukup memilih partai untuk mendelegasikan kader potensial ke parlemen. Dengan pertimbangan, partai telah paham betul menentujan siapa kader yang punya kapasitas, integritas untuk duduk di parlemen.
"Sesungguhnya, partai paham betul bahwa siapa kader mereka yang punya kapasitas, integritas, serta yang memahami ideologi dan konsep bernegara," tutur dia.
Di samping itu sistem proporsional tertutup juga bukan hal baru bagi pemilu di Indonesia. Pada Pemilu 1955, Pemilu Orde Baru, dan Pemilu tahun 1999, dengan menggunakan daftar tertutup. Lantas, baru pada Pemilu Legislatif 2004, 2009, 2014, dan 2019 Indonesia memakai sistem terbuka.
Di sisi lain, Fahri menyampaikan jika sistem proporsional terbuka memiliki kekurangan dengan cenderung menyuburkan demokrasi liberal serta berwatak oligarkis, diwarnai kekisruhan, praktek kotor politik serta 'Vote Buying' dan kecurangan sistemik dalam bentuk lainnya.
Sehingga, sistem proporsional tertutup tak ada pertentangan dengan ketentuan norma Pasal 22E ayat (3) UUD 1945, yang mengatur bahwa 'Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.'
"Jadi basis legal konstitusional dari pelaksanaan sistem Pemilu untuk anggota DPR/DPRD pesertanya adalah partai politik," ujar dia.
Pendapat Lain
Pandangan Lain diutarakan Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Feri Amsari. Dia menilai seharusnya peluang gugatan sistem pemilu proporsional terbuka dikabulkan MK sangat kecil. Mengingat persoalan sistem pemilu proporsional terbuka telah selesai lewat putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 pada 23 Desember 2008.
"Perdebatan soal konstitusionalitas sistem pemilu sudah selesai. MK sudah menyatakan sistem pemilu proporsional terbuka merupakan pilihan konstitusional yang mengejawantahkan atau menerapkan konstruksi pasal 1 ayat 2 soal kedaulatan rakyat," kata Feri saat dihubungi merdeka.com, Selasa (10/1).
Menurutnya, penafsiran perihal kedaulatan rakyat dalam sistem pemilu telah sesuai penerapan proporsional terbuka. Dengan kekuasaan penuh ada di tangan rakyat dalam menentukan pilihannya apakah ke calon legislatif langsung atau partai.
"Sementara kalau meletakan sistem proporsional tertutup, maka peletakan penentuan calon legislatif itu berada di tangan ketua partai," tutur dia.
Sistem pemilu proporsional terbuka juga telah sesuai dengan asas pemilu sebagaimana Luber (Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia) Jurdil (Jujur dan Adil). Hal itu sejalan dengan UUD 1945 Pasal 22E, untuk pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
"Langsung maka tentu saja yang akan menentukan secara langsung calon wakilnya yang duduk adalah rakyat itu sendiri bukan ketua umum partai," kata dia.
Terlebih putusan MK bersifat final and binding bermakna bahwa putusan MK adalah putusan pertama dan terakhir yang tidak ada ruang hukum untuk mengujinya lagi.
"Nah sementara, jika MK mencoba mengubah dan menginterpretasikan yang lain banyak problematikannya," bebernya.
Adapun dampak jika MK mengabulkan gugatan tersebut akan berimbas pada pelaksanaan pemilu yang tinggal menuju 14 bulan menuju hari H, 14 Februari 2024. Di mana perlu sosialisasi baik bagi publik yang akan kebingungan dengan para pilihannya, serta peserta pemilu juga akan menyesuaikan strateginya, dan tentu penyelenggara pemilu harus mensosialisasikan sistem yang baru.
"Kedua tentu MK akan dituding sebagai peradilan yang tidak konsisten, karena putusannya berubah ubah sesuai kepentingan partai politik penguasa," tutup dia.
(mdk/gil)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Pengertian Sistem Pemilu Proporsional Tertutup, Lengkap dengan Kekurangan dan Kelebihannya
Dalam sistem ini, pemilih memberikan suaranya kepada partai politik, bukan kandidat individual.
Baca SelengkapnyaMengenal Sistem Pemilu di Indonesia, Lengkap Beserta Asas dan Tujuannya
Pemilihan Umum (Pemilu) adalah proses demokratis yang dilakukan secara periodik di suatu negara untuk memilih wakil rakyat atau pemimpin tertentu.
Baca Selengkapnya11 Prinsip Pemilu beserta Tujuan, Fungsi, dan Asasnya
Prinsip-prinsip dalam pemilu adalah kriteria yang harus dipenuhi oleh penyelenggara pemilu agar pemilu berjalan dengan demokratis dan transparan.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
"Cak Imin: Digosok Supaya Milih yang Lain? Coblos AMIN untuk Keselamatan!"
Suara rakyat dalam menentukan pemimpin juga menjadi pilihan untuk merubah nasib ke depan.
Baca SelengkapnyaBerkali-kali Jadi Capres, Para Politikus Luar Negeri Ini Selalu Kalah dalam Pemilu, Ada yang Sampai 10 Kali
Berkali-kali Jadi Capres, Para Politikus Luar Negeri Ini Selalu Kalah dalam Pemilu, Ada yang Sampai 10 Kali
Baca SelengkapnyaDemokrat: Hak Angket Pemilu 2024 Tidak Menghargai Suara Rakyat
Demokrat menilai wacana koalisi 01 dan 03 menggulirkan hak angket sama artinya dengan tak menghargai suara rakyat.
Baca SelengkapnyaJelang Masa Tenang Pemilu 2024, Menpan RB Ingatkan ASN Wajib Netral dan Bebas Pengaruh Politik Tak Sehat
Sejumlah alasan mengapa ASN harus netral karena sebagai bentuk kewajiban profesionalism.
Baca SelengkapnyaDua Caleg Parpol Ini Tak Bisa Ikut Pemilu 2024, Padahal Sudah Masuk Daftar Calon Tetap
KPU akan menyampaikan pada Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di dapil 4.
Baca SelengkapnyaBeda Nasib dengan Komeng, Berikut Perolehan Sementara Suara Opie Kumis hingga Dede Sunandar di Pemilu
Para pelawak itu bersaing memperebutkan suara dari daerah pemilihan masing-masing dengan kolega satu partai maupun partai politik lain.
Baca Selengkapnya