Merdeka.com - Pengadilan selama ini dikontruksikan sebagai tempat bagi masyarakat untuk mencari keadilan. Setiap persoalan yang tidak bisa diselesaikan secara kekeluargaan diharapkan bisa selesai di pengadilan.

Namun apa yang terjadi bila pengadilan sebagai tempat mencari keadilan tidak bisa berdaya dalam menghadapi sebuah kasus? Bisa jadi sumpah pocong menjadi solusinya.

Paling tidak hal itulah yang selama ini terjadi di beberapa wilayah di Indonesia. Sebut saja dalam kasus dukun santet, warga masyarakat ternyata lebih mempercayai sumpah pocong sebagai alternatif mencari keadilan.

Begitu juga yang dilakukan oleh Saliha, warga Desa Gedugan, Pulau Giligenting, Kecamatan Giligenting, Kabupaten Sumenep, rela melakukan sumpah pocong demi membersihkan nama baiknya. Sumpah yang selama ini dianggap 'terbelakang' oleh sebagian orang.

Saliha dituding menyantet seorang warga, ASN, hingga meninggal itu, tak tahan lagi dengan tuduhan warga tempatnya tinggal. Dia kemudian memutuskan melakukan sumpah itu di Masjid Agung, Senin (28/5).

Sumpah pocong sendiri sebenarnya adalah ritual dimana seseorang dibungkus kain kafan bak mayat dan dihadapkan ke kiblat. Oleh pemuka agama setempat kemudian dibacakan sumpah di bawah kitab suci Al-quran.

Lalu dimana aspek keadilannya?

Bagi mereka yang mempercayai sumpah pocong hal ini dianggap sebagai sebuah jawaban atas kebuntuan yang ada. Orang yang disumpah diyakini benar dalam hal ini tuduhan yang ditimpakan kepada tidak benar sehingga yang bersangkutan berani bersumpah.

Tidak berbohong masyarakat percaya bahwa yang bersangkutan akan tertimpa sebuah kemalangan atau musibah. Namun bila seseorang yang dituduh telah melakukan sumpah pocong, maka masyarakat akan kembali seperti semula. Tidak ada lagi fitnah, gunjing dan dendam, sehingga ketentraman di masyarakat setempat akan pulih seperti sedia kala.

Lalu mampukah pengadilan saat ini memberikan rasa tentram seperti halnya sumpah pocong? Bukankah masih banyak persoalan yang belum selesai meski putusan pengadilan telah dijatuhkan?