Merdeka.com - Berbagai upaya dilakukan agar wayang suket Purbalingga tetap lestari. Perajin wayang, Badriyanto memimpikan wayang suket dapat dipentaskan.

Bayangan itu, secara khusus adalah situasi psikologis dari seorang pencipta yang tak ingin karyanya menjadi yatim piatu dan tetap terhubung dengan ruang dan waktu penjadian (baca: pertunjukan) yang terikat kepada publik. Sedang secara luas, bayangan itu adalah manifestasi etika Jawa, sebagaimana disampaikan Frans Magnis Suseno: "Pelajaran yang paling efektif dalam moral kongkret diperoleh orang Jawa melalui wayang" (Etika Jawa, Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. 1993). Pernyataan yang memang memunculkan keistimewaan bagi wayang, simbol moral baik dan buruk sebagai kemajemukan pribadi manusia.

Bayangan Badriyanto itulah, yang kiranya hendak memfungsikan wayang dalam bingkai kebudayaan Jawa sebagai benda yang bercerita. Wayang dalam budaya Jawa memang panggung cerita yang meresapkan segala sesuatu perilaku manusia mulai dari cinta, pengkhianatan dan kesetiaan sampai kekuasan. Lewat lakon yang mengangkat mitos-mitos permulaan kosmos, epos Ramayana atau Mahabarata, tokoh-tokoh di dalamnya adalah pribadi-pribadi yang beraneka ragam yang menggambarkan pluralitas peranan moral dalam siklus kehidupan (Suseno. 1993. hal 160-167).

Hanya sayang, mewujudkan bayangan Badriyanto itu, dikatakan Kepala Seksi Sejarah, Museum dan Keperbukalaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dindikbud) Kabupaten Purbalingga, Rien Anggraeni bukan perkara mudah.

Pasalnya, Badriyanto mesti melakukan pembikinan satu set wayang suket dan Pemkab pun belum tentu memiliki anggaran untuk mengapresiasi pembuatan wayang itu. Pasalnya harga wayang suket tergolong tinggi antara Rp 400.000 sampai Rp 800.000. Rien pun mengaku dalam pameran pun wayang suket sulit diikutsertakan karena pameran yang digalang oleh provinsi Jawa Tengah hanya untuk produk budaya.

"Kami juga punya bayangan yang sama. Tapi untuk saat ini, hal itu sulit. Menyosialisasikan lewat pameran juga sulit. Hal yang kami lakukan paling mengkomunikasikan dengan museum di berbagai daerah agar mengkoleksi wayang suket. Seperti yang sudah kami lakukan ke Museum Jawa Tengah Ranggawarsita di Semarang," kata Rien.

Badriyanto sendiri mengakui untuk membuat satu tokoh wayang membutuhkan waktu lama kurang lebih satu bulan. Ia bercerita membutuhkan sekitar 300 batang rumput Kasuran. Pengerjaan yang lama, sebab karena bahan baku rumput kasuran memang hanya tumbuh di saat bulan Sura atau Suran. Sedang untuk memanen rumput ini, ia katakan hanya satu tahun sekali.

"Memang untuk satu set waktunya sangat panjang. Bisa satu tahun pembuatannya. Karena saya harus mementingkan detail dan kerapian, jadi harus pelan-pelan," ujarnya.

Wayang dalam Etika Jawa

Wayang dalam etika Jawa, memang punya peran penting sebagai media bercermin masyarakat melalui cerita. Dalam versi sebagai media bercerita, dalam pandangan Badriyanto, wayang suket setidaknya berpotensi lebih produktif, di banding menjadi pajangan semata di dalam bingkai kaca. Sedang di sisi lain, dalam panggung cerita wayang pun bukan semata pertunjukan; merujuk Shindunata (Bayang-Bayang Ratu Adil. 1999) wayang adalah ritualisasi dari pandangan eskatologis Jawa, di mana penonton diajak secara konkret mengalami peristiwa sejarah manusia dan keselamatannya.

Tapi memang, untuk merealisasikan bayangan itu, wayang suket dihadapkan pada banyak problem. Sebuah ironi dari produk keterampilan seni yang kian langka.