Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

12 Pejabat divonis masuk kerangkeng karena korupsi tahun ini

12 Pejabat divonis masuk kerangkeng karena korupsi tahun ini Terpidana kasus suap DGS BI, Miranda Swaray Goeltom. ©2012 Merdeka.com/dwi narwoko

Merdeka.com - Korupsi masih menjadi musuh besar bangsa Indonesia sampai kapan pun. Pemberantasan dan pencegahan tindak pidana rasuah itu pun seakan kerap menemui jalan terjal. Mulai dari tekanan dari lembaga legislatif, dicibir tebang pilih kasus, sampai konflik dengan sesama lembaga penegak hukum.

Namun, di balik semua kekurangan, tentu ada beberapa catatan membanggakan dibuat Komisi Pemberantasan Korupsi. Satu per satu pelaku korupsi ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. Tidak jarang dari mereka adalah tokoh masyarakat dan penyelenggara negara, yang mestinya bisa memberi teladan bagi rakyat. Tapi apa daya, saat nafsu berkuasa, toh mereka terjebak juga dalam perilaku korup yang merusak.

Sudah banyak petinggi negeri ini merasakan mendekam di balik jeruji besi dan dinginnya hotel prodeo. Hal itu akibat mereka nekat berbuat korup ketimbang memikirkan masa depan bangsa. Tahun ini pun, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan vonis kepada beberapa mantan pejabat negara yang terbukti melakukan tindak rasuah. Berikut ini beberapa koruptor yang dibui lantaran korupsi tahun ini.

I Nyoman Suisnaya

Majelis hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan vonis kepada terdakwa kasus suap dana Percepatan Infrastruktur Daerah Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, I Nyoman Suisnaya, 3 tahun penjara. Hakim juga mengharuskan mantan Sekretaris Direktorat Jenderal Pembinaan dan Pengembangan Kawasan Transmigrasi pada Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi itu membayar denda Rp 100 juta, dan jika tidak mampu membayar diganti dengan kurungan tiga bulan penjara."Mengadili, menyatakan terdakwa I Nyoman Suisnaya terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan melanggar pasal 12 huruf b Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Menjatuhkan pidana penjara selama 3 tahun dan pidana denda Rp 100 juta dengan subsider 3 bulan," kata Ketua Majelis Hakim Sudjatmiko saat membacakan amar putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis (29/3).Usai pembacaan vonis, Nyoman mengaku pikir-pikir. Vonis hakim itu lebih ringan dari tuntutan jaksa. Jaksa Penuntut Umum menuntut Nyoman empat tahun enam bulan penjara dan denda Rp 200 juta subsider tiga bulan. Menurut Ketua Jaksa Muhib, hal-hal yang memberatkan adalah Nyoman telah mengabaikan kepentingan masyarakat transmigrasi dan tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Sementara hal meringankan adalah dia mengakui perbuatannya dan belum pernah dihukum, serta telah mengabdi 20 tahun dan masih memiliki tanggungan keluarga. Dalam kasus itu, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar juga dituding terlibat.

Dadong Irbarelawan

Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta memvonis terdakwa kasus suap dana Percepatan Infrastruktur Daerah Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Dadong Irbarelawan, dengan pidana penjara selama 3 tahun. Dia juga diharuskan membayar denda p 100 juta dan apabila tidak sanggup membayar maka diganti dengan kurungan penjara selama 3 bulan."Mengadili menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dengan Pasal 5 ayat 2 juncto pasal 5 ayat 1 huruf b Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Menjatuhkan pidana penjara selama 3 tahun dan pidana denda Rp 100 juta dengan subsider 3 bulan," ujar Ketua Majelis Hakim Herdi Agustin saat membacakan amar putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis (29/3).Dadong adalah anak buah Nyoman di Direktorat Jenderal Pembinaan dan Pengembangan Kawasan Transmigrasi pada Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi menuntut dia dengan pidana penjara selama 5 tahun dan denda Rp 250 juta subsider 6 bulan kurungan. Dadong terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-bersama sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 ayat 2 juncto pasal 5 ayat 1 huruf b Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Dalam kasus itu, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar juga dituding terlibat.

Muhammad Nazaruddin

Majelis hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan pidana penjara empat tahun sepuluh bulan kepada terdakwa kasus suap pembangunan Wisma Atlet, Jakabaring, Palembang, Muhammad Nazaruddin. Selain itu, mantan Wakil Bendahara Umum Partai Demokrat itu juga wajib membayar pidana denda Rp 200 juta dan apabila tidak sanggup membayar maka diganti dengan kurungan penjara selama empat bulan."Maka dengan ini menyatakan, terdakwa Muhammad Nazaruddin terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi. Menjatuhkan pidana penjara selama empat tahun sepuluh bulan penjara, dan denda Rp 200 juta subsider empat bulan penjara," kata Ketua Majelis Hakim Dharmawati Ningsih saat membacakan amar putusan pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Jumat (20/4).Hakim menganggap suami Neneng Sri Wahyuni terbukti bersalah melanggar pasal 11 Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2001. Hukuman itu lebih rendah dari tuntutan jaksa, yakni tujuh tahun penjara dan membayar denda sebesar Rp 300 juta subsider 6 bulan penjara. Nazaruddin sebagai penyelenggara negara terbukti menerima lima lembar cek senilai Rp 4,6 miliar dari dari Manajer Pemasaran PT Duta Graha Indah Tbk., Mohammad El Idris.Cek itu adalah imbalan karena Nazar telah membantu meloloskan anggaran proyek Wisma Atlet dan membantu PT DGI mendapat lelang pembangunan proyek itu Wisma Atlet. Kasus itu juga mantan anggota Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat fraksi Partai Demokrat dan Putri Indonesia 2001 Angelina Patricia Pinkan Sondakh. Saat ini persidangan dia telah memasuki tahap akhir. Selain itu, anggota Komisi X asal fraksi Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan, I Wayan Koster, juga ikut terseret dalam kasus itu.

Miranda Swaray Goeltom

Majelis hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan putusan kepada terdakwa kasus suap cek perjalanan pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Miranda Swaray Goeltom, dengan pidana penjara selama tiga tahun. Dia juga mesti membayar denda sebesar Rp 100 juta dan apabila tidak sanggup membayar diganti dengan kurungan penjara selama empat bulan."Terdakwa Miranda Swaray Goeltom bersalah dan terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana dalam dakwaan pertama pasal 5 ayat 1 huruf b juncto pasal 55 ayat (1) KUHP dan menjatuhkan pidana penjara selama tiga tahun dan denda Rp 100 juta subsider empat bulan," kata Ketua Mejelis Hakim Gusrizal saat membacakan amar putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (27/9)."Miranda terbukti sah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama. Maka kami menjatuhkan vonis tiga tahun penjara dan denda Rp 10 juta Majelis hakim menganggap mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia terbukti bersalah melanggar pasal 5 ayat 1 huruf b Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 juncto pasal 55 ayat (1) KUHP. Dia terbukti menyuap sejumlah anggota Komisi IX (Keuangan) DPR periode 1999-2004 terkait pemilihan itu.Vonis hakim lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi yakni dengan empat tahun penjara dan denda Rp 150 juta. Usai pembacaan vonis, Miranda langsung mengajukan banding.

Wa Ode Nurhayati

Majelis hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menjatuhkan putusan enam tahun penjara kepada terdakwa kasus suap Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah, Wa Ode Nurhayati. Dia juga didenda Rp 500 juta subsider kurungan enam bulan."Menyatakan terdakwa Wa Ode Nurhayati S.Sos., terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi. Menjatuhkan pidana penjara selama enamt tahun dan denda Rp 500 juta subsider enam bulan penjara," kata Ketua Majelis Hakim Suhartoyo di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis (18/10).Majelis hakim menganggap Wa Ode Nurhayati sebagai penyelenggara negara terbukti melanggar Pasal 12 huruf a atau b Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2001. Mantan politikus Partai Amanat Nasional itu juga dijerat Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi sebelumnya menuntut Wa Ode Nurhayati empat tahun penjara dalam kasus suap dana DPID. Selain itu, dia dikenai denda Rp 500 juta. JPU juga mendakwa Wa Ode Nurhayati dengan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang dan menuntut dengan hukuman 10 tahun bui dan denda Rp 500 juta. Jelas vonis hakim lebih rendah dari tuntutan jaksa.Wa Ode Nurhayati terbukti menerima uang suap Rp 5 miliar dari tiga pengusaha, yakni Fahd El Fouz atau Fahd A. Rafiq, Silvaulus "Paul" David Nelwan, serta Abram Noach Mambu. Pemberian itu sebagai imbalan pengurusan alokasi Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah pada 2011 buat tiga kabupaten di Nangroe Aceh Darussalam, yakni Aceh Besar sebesar Rp 50 miliar, Bener Meriah sebesar Rp 50 miliar, dan Pidie Jaya sebesar lebih dari Rp 200 miliar.Selain itu, Wa Ode Nurhayati terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang. Mantan anggota Badan Anggaran DPR-RI itu dianggap memiliki harta dengan jumlah tidak wajar serta sengaja tidak melaporkan semua asetnya sebagai penyelenggara negara.Dalam surat dakwaan tim jaksa KPK menyatakan dalam kurun waktu Oktober 2010 sampai September 2011, Wa Ode melakukan beberapa kali transaksi ke rekening Bank Mandiri Kantor Cabang DPR-RI seluruhnya berjumlah Rp 50,5 miliar. Uang itu diduga sebagai suap berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan wewenang dia selaku anggota Komisi VII DPR dan anggota Badan Anggaran DPR. Usai divonis, Wa Ode Nurhayati langsung mengajukan banding.

Murdoko

Majelis hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, menjatuhkan putusan kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah non-aktif Jawa Tengah, Murdoko, dengan pidana 2,5 tahun penjara. Dia juga diharuskan membayar denda Rp 150 juta dan apabila tidak sanggup membayar diganti kurungan tiga bulan."Dengan memperhatikan berbagai pertimbangan, maka dengan ini kami menjatuhkan putusan terhadap terdakwa. Mengadili, pertama, terdakwa Murdoko bersalah telah melakukan dan turut serta secara berlanjut melakukan tindak pidana korupsi. Kedua, menjatuhkan pidana penjara selama dua tahun enam bulan dan denda Rp 150 juta subsider tiga bulan kurungan. Selain itu memerintahkan agar terdakwa tetap dalam tahanan," kata Ketua Majelis Hakim Marsudin Nainggolan saat membacakan amar putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis (8/11).Hal memberatkan Murdoko adalah dia tidak mendukung pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, dan sebagai anggota DPRD tidak memberikan contoh yang baik dalam pengelolaan keuangan daerah. Hal meringankan adalah Murdoko mengabdi kepada negara sebagai anggota DPRD 13 tahun secara terus-menerus, dan sudah mengembalikan seluruh uang hasil korupsi kepada negara.Murdoko sebagai penyelenggara negara terbukti bersalah melanggar Pasal 3 ayat 1 juncto pasal 18 Undang-Undang no. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang no. 20 tahun 2001 tentang perubahan Undang-Undang no. 31 tahun 1999 juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 juncto pasal 64 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.Putusan majelis hakim lebih ringan dari tuntutan jaksa, yakni tujuh tahun enam bulan penjara dikurangi masa tahanan. Selain itu, dia mesti membayar denda Rp 250 juta dan apabila tidak sanggup membayar diganti kurungan lima bulan.Jaksa juga memerintahkan uang tunai Rp 4,75 miliar hasil korupsi Murdoko dirampas oleh negara dan dimasukkan dalam kas daerah Kabupaten Kendal. Murdoko juga diharuskan membayar biaya perkara sebesar Rp 10 ribu.Murdoko didakwa bersama-sama dengan Bupati Kendal pada 2000 sampai 2005 dan kakak kandungnya, Hendy Boedoro, serta Kepala Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah Kendal pada 2002 sampai 2006, Warsa Susilo, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri yang merugikan keuangan negara dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Kendal Rp 4,75 miliar.Murdoko terbukti memperkaya diri sendiri dengan cara memindahkan dana alokasi umum (DAU) Kabupaten Kendal tahun anggaran 2003 dan dana pinjaman daerah Kendal di Bank Pembangunan Daerah Jateng ke Bank BNI 46 cabang Karangayu.

Rustam Syarifuddin Pakaya

Majelis Hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menjatuhkan putusan kepada mantan pejabat Kementerian Kesehatan, Rustam Syarifudin Pakaya, dengan pidana penjara selama empat tahun dalam kasus korupsi pengadaan alat kesehatan di Kementerian Kesehatan tahun anggaran 2007. Selain itu, dia diharuskan membayar denda Rp 250 juta dan apabila tidak sanggup membayar diganti kurungan enam bulan penjara."Menyatakan terdakwa Rustam Syarifudin Pakaya terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara dalam dakwaan subsider. Menjatuhkan hukuman kepada terdakwa yakni dengan pidana penjara selama empat tahun, serta denda Rp 250 juta subsider 6 bulan kurungan. Memerintahkan terdakwa tetap dalam tahanan dan masa pidana penjara dikurangkan dari masa tahanan," kata Ketua Majelis Hakim Pangeran Napitupulu saat membacakan amar putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Selasa (27/11).Selain itu, majelis hakim memberikan tambahan pidana kepada Kepala Pusat Penanggulangan Krisis Kemenkes, yakni membayar uang pengganti kepada negara sebesar Rp 2,570 miliar selambat-lambatnya satu bulan setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap. Kedua, Memerintahkan seluruh harta benda terdakwa dirampas untuk negara. Jika nilainya tetap tidak memenuhi denda maka diganti pidana 2 tahun penjara. Menurut Hakim Anggota Tati, perbuatan Rustam tidak memenuhi unsur setiap orang pada dakwaan primer, yakni Pasal 2 ayat 1 junto Pasal 18 (1) Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 junto pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Tetapi, perbuatan mantan anak buah bekas Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari itu melanggar Pasal 3 junto Pasal 18 (1) Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 junto pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.Vonis itu lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi. Mereka menuntut Rustam lima tahun penjara dikurangi masa tahanan dan pidana denda Rp 250 juta subsider enam bulan kurungan. Tambahan pidana, yakni membayar uang pengganti kepada negara Rp 2,470 miliar, selambat-lambatnya satu bulan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. Jika terdakwa tidak sanggup membayar diganti pidana tiga tahun penjara.Majelis hakim juga memerintahkan uang senilai Rp 1,275 miliar yang ada di tangan saksi atas nama Siti Fadilah Supari dirampas untuk negara. Hakim juga menilai Siti terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi pengadaan alat kesehatan tahap satu di Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan tahun anggaran 2007.Selain mengalir ke Siti, uang hasil korupsi yang dilakukan Rustam juga dinikmati oleh pihak lain, yakni Else Mangundap senilai Rp 850 juta, Amir Syamsuddin sebesar Rp 100 juta, Yayasan Orbit melalui Meidiana Hutomo dan suaminya, Gunadi Soekemi sebesar Rp 100 juta, Tengku Luckman Sinar senilai Rp 25 juta, PT Indofarma Global Medika sebesar Rp 1,7 miliar, serta PT Graha Isyama senilai Rp 15 miliar. Siti Fadillah Supari juga terseret kasus itu dan sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri. Tetapi, sampai saat ini, berkas anggota Dewan Pertimbangan Presiden itu tetap belum rampung. Padahal, dua anak buahnya, Rustam Pakaya dan mantan Sekretaris Jenderal Kemenkes, Syafii Ahmad, sudah dijebloskan ke dalam penjara. Bahkan, gara-gara perkara ini, dua artis ibukota yakni Sri Wahyuningsih alias Cici Tegal dan Meidiana Hutomo juga sempat bersaksi dalam sidang.

Fahd El Fouz alias Fahd A. Rafiq

Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, menjatuhkan putusan kepada pengusaha dan terdakwa kasus korupsi Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah, Fahd El Fouz alias Fahd A Rafiq, dengan pidana penjara selama 2,5 tahun dikurangi masa tahanan. Selain itu, dia mesti membayar denda Rp 50 juta dan apabila tidak sanggup membayar diganti dengan hukuman kurungan dua bulan."Maka dengan ini mengadili. Menyatakan terdakwa Fahd El Fouz alias Fahd A Rafiq terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana dalam dakwaan primer. Menjatuhkan hukuman kepada terdakwa yakni dengan pidana penjara selama dua tahun enam bulan, serta denda Rp 50 juta subsider dua bulan kurungan," kata Ketua Majelis Hakim Suhartoyo saat membacakan amar putusan pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Selasa (11/12).Majelis hakim berpendapat hal-hal memberatkan Fahd adalah tidak mendukung program pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sementara, hal-hal meringankan adalah suami Ranny Meydiana itu bersikap sopan selama masa persidangan, menyesali perbuatannya, belum pernah dihukum, dan masih memiliki tanggungan keluarga dan anak yang masih balita.Menurut Hakim Anggota Pangeran Napitupulu, perbuatan anak musikus dangdut A. Rafiq itu terbukti melanggar dakwaan primer, yakni pasal 5 ayat 1 huruf a, Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.Putusan itu lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi. Mereka menuntut pengusaha Fahd El Fouz alias Fahd A Rafiq, 3,5 tahun penjara dikurangi masa tahanan dalam kasus korupsi Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah. Selain itu, dia dituntut denda Rp 100 juta dan apabila tidak sanggup membayar diganti kurungan empat bulan.Menurut Hakim Anggota Pangeran Napitupulu, Fahd terbukti bersalah memberi atau menjanjikan uang sebesar Rp 5,5 miliar melalui Haris Andi Surahman (saat ini tersangka perkara DPID) kepada penyelenggara negara atau anggota Dewan Perwakilan Rakyat-Republik Indonesia Fraksi Partai Amanat Nasional periode 2009 sampai 2014, Wa Ode Nurhayati, dengan maksud agar dia berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya, yaitu meloloskan proposal alokasi Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah buat tiga kabupaten di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, yakni Aceh Besar, Bener Meriah, dan Pidie Jaya pada 2011.

Dalam kasus itu, nama beberapa politikus lain juga disebut terlibat. Antara lain Anggota Badan Anggaran dari Fraksi Partai Demokrat Mirwan Amir dan dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Tamsil Linrung.

Gondo Sudjono Notohadi Susilo

Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, menjatuhkan pidana penjara kepada Direktur Operasional PT Hardaya Inti Plantation, Gondo Sudjono Notohadi Susilo, satu tahun penjara.Anak buah pengusaha Siti Hartati Murdaya itu juga diharuskan membayar denda Rp 50 juta, dan apabila tidak sanggup membayar maka diganti dengan kurungan masing-masing tiga bulan."Dengan memperhatikan berbagai pertimbangan, maka dengan ini menjatuhkan menjatuhkan putusan terhadap terdakwa. Mengadili, pertama, terdakwa bersalah telah melakukan tindak pidana korupsi. Kedua, menjatuhkan pidana penjara masing-masing selama satu tahun penjara dan denda Rp 50 juta subsider tiga bulan kurungan," kata Ketua Majelis Hakim Gusrizal Lubis, saat membacakan amar putusan keduanya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (12/11).Gondo merupakan anak buah terdakwa kasus suap pengurusan sertifikat Izin Usaha Perkebunan dan Hak Guna Usaha perkebunan kelapa sawit PT Cipta Cakra MUrdaya dan PT Hardaya Inti Plantation di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah, Siti Hartati Tjakra Murdaya.

Hukuman itu lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi. Mereka menuntut Gondo dengan pidana penjara selama dua tahun enam bulan penjara, dan denda Rp 50 juta subsider tiga bulan kurungan. Keduanya dianggap berperan dalam memberi uang suap Rp 3 miliar kepada Bupati Buol non-aktif, Amran Abdullah Batalipu.Menurut Hakim Anggota Made Hendra, karena dakwaan disusun dalam bentuk alternatif, maka hakim akan memilih salah satu dari dua dakwaan yang fakta hukumnya lebih mendekati.Menurut Hakim Anggota I Made Hendra, keduanya terbukti melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Saat ini persidangan Hartati Murdaya dan Amran Batalipu masih berjalan.

Yani Anshori

Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, menjatuhkan pidana penjara kepada General Manager Supporting PT Hardaya Inti Plantation, Yani Anshori, satu tahun enam bulan penjara.Anak buah pengusaha Siti Hartati Murdaya itu juga diharuskan membayar denda Rp 50 juta, dan apabila tidak sanggup membayar maka diganti dengan kurungan masing-masing tiga bulan."Dengan memperhatikan berbagai pertimbangan, maka dengan ini menjatuhkan menjatuhkan putusan terhadap terdakwa. Mengadili, pertama, terdakwa bersalah telah melakukan tindak pidana korupsi. Kedua, menjatuhkan pidana penjara selama 1 tahun enam bulan dan denda Rp 50 juta subsider tiga bulan kurungan," kata Ketua Majelis Hakim Gusrizal Lubis, saat membacakan amar putusan keduanya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (12/11).Keduanya merupakan anak buah terdakwa kasus suap pengurusan sertifikat Izin Usaha Perkebunan dan Hak Guna Usaha perkebunan kelapa sawit PT Cipta Cakra MUrdaya dan PT Hardaya Inti Plantation di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah, Siti Hartati Tjakra Murdaya.Usai pembacaan vonis, Yani Anshori menyatakan akan pikir-pikir. Jaksa penuntut umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun menyampaikan hal yang sama.Hukuman itu lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi. Mereka menuntut Yani dengan pidana penjara selama dua tahun enam bulan penjara. Dia juga dikenai pidana denda Rp 50 juta subsider tiga bulan kurungan. Keduanya dianggap berperan dalam memberi uang suap Rp 3 miliar kepada Bupati Buol non-aktif, Amran Abdullah Batalipu.Menurut Hakim Anggota Made Hendra, karena dakwaan disusun dalam bentuk alternatif, maka hakim akan memilih salah satu dari dua dakwaan yang fakta hukumnya lebih mendekati.Menurut Hakim Anggota I Made Hendra, keduanya terbukti melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.  Saat ini persidangan Hartati Murdaya dan Amran Batalipu masih berjalan.

Nunun Nurbaeti

Majelis hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta memvonis terdakwa kasus suap cek perjalanan pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia pada 2004, Nunun Nurbaetie, dengan pidana penjara selama dua tahun enam bulan. Dia juga diganjar denda Rp 150 juta, dan apabila tidak sanggup membayar diganti dengan kurungan penjara selama tiga bulan"Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Nunun Nurbaetie dengan pidana penjara selama dua tahun enam bulan, dan denda sebesar Rp 150 juta rupiah subsider tiga bulan," kata Ketua Majelis Hakim Sudjatmiko saat membacakan amar putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Rabu (9/5). Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi menuntut istri anggota DPR Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Adang Daradjatun, dengan pidana empat tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 4 bulan kurungan. Mereka juga mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk merampas harta Nunun senilai Rp 1 miliar yang diduga berasal dari hasil tindak pidana korupsi.Majelis hakim menilai Nunun terbukti bersalah lantaran telah memberikan janji atau hadiah berupa cek perjalanan Bank Internasional Indonesia sebesar Rp 20,8 miliar kepada beberapa anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004. Pemberian itu buat menyuap mereka terkait dengan bursa pencalonan Miranda Swaray Goeltom saat akan menjadi Gubernur Bank Indonesia pada 2004.Nunun terbukti melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf b Undang-undang No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Undang-Undang nomor 20 tahun 2001. Dalam kasus sama, Miranda Goeltom juga divonis bersalah dan diganjar pidana penjara selama tiga tahun.

Dhana Widyatmika

Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, mengganjar mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak dan terdakwa kasus korupsi, Dhana Widyatmika, dengan pidana selama tujuh tahun penjara. Selain itu, dia mesti membayar denda Rp 300 juta dan apabila tidak sanggup membayar diganti hukuman kurungan 3 bulan."Dengan memperhatikan berbagai pertimbangan, maka dengan ini kami menjatuhkan putusan terhadap terdakwa. Mengadili, pertama, terdakwa Dhana Widyatmika bersalah telah melakukan tindak pidana korupsi. Kedua, menjatuhkan pidana penjara selama 7 tahun dan denda Rp 300 juta subsider 3 bulan kurungan," kata Ketua Majelis Hakim Sudjatmiko, saat membacakan amar putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Jumat (9/11). Hakim menganggap Dhana tidak menyadari dan tidak menunjukkan rasa penyesalan atas perbuatannya.Vonis itu lebih rendah dari tuntutan jaksa. Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan menuntut dia dengan 12 tahun penjara ditambah denda Rp 1 miliar. Jika tidak mampu membayar, Dhana harus menggantinya dengan hukuman kurungan penjara selama enam bulan. Jaksa juga meminta hakim menyita beberapa harta hasil kejahatan Dhana dan dirampas buat negara.Menurut majelis hakim, Dhana terbukti melanggar pasal 12 b ayat 1 Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 tahun 2001 juncto pasal 55 Ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Dia sebagai penyelenggara negara, dalam hal ini pegawai Ditjen Pajak, menerima pemberian (gratifikasi) dari Herly Isdiharsono dan Hendro Tirtajaya lewat Liana Apriani dan Femi Solikhin berupa uang Rp 3,4 miliar lewat rekening Bank Mandiri cabang Nindya Karya. Uang itu adalah imbalan buat Herly dari Direktur Utama PT Mutiara Virgo, Johnny Basuki, karena berhasil mengurangkan nilai pajak lebih bayar perusahaan itu dari Rp 128 miliar menjadi Rp 17 miliar. Sisa uang yang ada dalam rekening itu digunakan Dhana dan Herly sebagai modal mendirikan PT. Mitra Modern Mobilindo. Perusahaan itu bergerak dalam usaha jual beli kendaraan. Pemberian uang itu dianggap sebagai suap karena tidak dilaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi dan memenuhi unsur perbuatan melawan hukum pada dakwaan kesatu primer.Dhana juga terbukti bersalah dalam dakwaan kedua kedua primer, yakni pasal 12 huruf e Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 tahun 2001 juncto pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.Dhana dianggap menyalahgunakan wewenang dan jabatan dengan melakukan percobaan pemerasan terhadap PT Kornet Trans Utama dengan dalih membantu mengurus laporan hasil pemeriksaan pajak perusahaan itu. Dalam proses pemeriksaan pajak, Dhana dan Salman berdalih PT KTU kurang bayar jumlah pajak sebanyak Rp 3 miliar. Dia dan rekan sejawatnya di Kantor Pelayanan Pajak Pancoran, Jakarta Selatan, Salman mencoba menakut-nakuti PT KTU dengan menyatakan data eksternal mereka peroleh buat pemeriksaan pajak nilainya berbeda dengan hasil pemeriksaan. Padahal data yang mereka pakai adalah neraca keuangan dari PT KTU hanya berbekal cap perusahaan, tapi tidak tercantum tanda tangan Direktur Utama PT. KTU, Mr. Lee Jun-hoo alias Mr. Leo.Selain itu, Dhana juga didakwa dengan pasal 3 Undang-Undang No. 8 tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang juncto pasal 65 KUHP. Dhana dianggap memiliki berbagai aset yakni rumah, tanah, simpanan valuta (mata uang) asing, peternakan ayam di Tangerang, emas, minimarket, beberapa arloji mahal dan sertifikat berharga dari hasil korupsi. Dhana menerima gratifikasi atau pemberian dari para wajib pajak dalam proses pengurusan pajak dan uang itu kemudian diputar dan disamarkan dengan bentuk usaha dagang, aset bergerak, atau bentuk lainnya.Tindakan Dhana dengan mengalihkan bentuk harta hasil kejahatan dianggap sebagai perbuatan menyembunyikan dan menyamarkan harta benda agar tidak diketahui pihak berwenang. Maka tindakan dia memenuhi unsur-unsur pelanggaran hukum.Beberapa harta benda Dhana dirampas oleh negara, kecuali dua buah rumah dan sebidang tanah. Usai divonis, Dhana langsung mengajukan banding.

(mdk/hhw)
ATAU
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
Kasus Korupsi Rumah Dinas DPR, Komisi III: Silakan Diproses Asal Jangan Tebang Pilih

Kasus Korupsi Rumah Dinas DPR, Komisi III: Silakan Diproses Asal Jangan Tebang Pilih

intinya siapa pun terlibat diproses, silakan, asal jangan tebang pilih," kata Benny

Baca Selengkapnya
Terseret Kasus Korupsi, Ema Ajukan Pengunduran Diri Jadi Sekda Kota Bandung

Terseret Kasus Korupsi, Ema Ajukan Pengunduran Diri Jadi Sekda Kota Bandung

Sebelumnya, Yana Mulyana dan beberapa pejabat Pemkot Bandung serta dari pihak swasta divonis penjara pada Desember tahun lalu.

Baca Selengkapnya
Krisis Pangan Akibat Pupuk Langka, 22 Negara Ogah Jual Beras ke Luar Negeri

Krisis Pangan Akibat Pupuk Langka, 22 Negara Ogah Jual Beras ke Luar Negeri

Banyak negara kini memilih berjaga untuk kepentingan dalam negeri dengan cara menutup keran ekspor pangannya,

Baca Selengkapnya
Kamu sudah membaca beberapa halaman,Berikut rekomendasi
video untuk kamu.
SWIPE UP
Untuk melanjutkan membaca.
Terbukti Lakukan 3 Tindak Pidana Korupsi, Eks Bupati Meranti M Adil Divonis 9 Tahun Penjara

Terbukti Lakukan 3 Tindak Pidana Korupsi, Eks Bupati Meranti M Adil Divonis 9 Tahun Penjara

Mantan Bupati Kepulauan Meranti, Muhammad Adil terbukti terbukti bersalah melakukan tiga tindak pidana korupsi. Dia dijatuhi hukuman 9 tahun penjara.

Baca Selengkapnya
Dijemput Paksa Jaksa, Terpidana Korupsi Buldoser di Bekasi Sempat Coba Bepergian ke Sejumlah Kota

Dijemput Paksa Jaksa, Terpidana Korupsi Buldoser di Bekasi Sempat Coba Bepergian ke Sejumlah Kota

Jaksa menjemput paksa Soni Petrus, terpidana korupsi pengadaan alat berat pada Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekas. Dia langsung dijebloskan ke penjara.

Baca Selengkapnya
Dicegah KPK Keluar Negeri Terkait Korupsi Pengadaan Rumah Dinas, Begini Reaksi Sekjen DPR

Dicegah KPK Keluar Negeri Terkait Korupsi Pengadaan Rumah Dinas, Begini Reaksi Sekjen DPR

KPK mencegah Sekjen DPR keluar negeri terkait kasus korupsi pengadaan rumah dinas.

Baca Selengkapnya
KPK Cegah 7 Orang ke Luar Negeri Terkait Korupsi Pengadaan Rumah Dinas DPR RI

KPK Cegah 7 Orang ke Luar Negeri Terkait Korupsi Pengadaan Rumah Dinas DPR RI

Terhadap ketujuh orang tersebut dicegah untuk enam bulan pertama hingga bulan Juli 2024 mendatang.

Baca Selengkapnya
Politik Dinasti Disebut Tak akan Berdampak Buruk ke Ekonomi, tapi Ada Syaratnya

Politik Dinasti Disebut Tak akan Berdampak Buruk ke Ekonomi, tapi Ada Syaratnya

Syaratnya adalah ada orang lain yang bukan bagian keluarga Kepala Negara tadi juga mendapatkan porsi dan hak yang sama.

Baca Selengkapnya
Komisi III DPR Minta Kejagung Tak Tutup Ada Tersangka Lain di Korupsi Kereta Besitang-Langsa

Komisi III DPR Minta Kejagung Tak Tutup Ada Tersangka Lain di Korupsi Kereta Besitang-Langsa

Modusnya, para pelaku melakukan korupsi dengan sengaja memecah proyek

Baca Selengkapnya