Klaim China Soal Laut Natuna Tak Berdasar, RI Tak Perlu Negosiasi
Merdeka.com - Sejumlah kapal asing milik nelayan China mencuri ikan dengan memasuki perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) di perairan Natuna. Kapal tersebut diduga dikawal oleh Pemerintah negara Tirai Bambu tersebut
Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia sudah melayangkan protes atas masuknya kapal Cina ke wilayah perairan Natuna. Hal itu dinilai sudah tepat. Mengacu pada Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982, China memang tak memiliki hak dan kedaulatan apapun di perairan tersebut.
Argumen bahwa perairan tersebut merupakan wilayah tradisional penangkapan ikan nelayan Cina (traditional fishing right), sama sekali tak punya dasar hukum dan tak diakui.
Dalam UNCLOS, konsep yang dikenal adalah Traditional Fishing Rights, bukan Traditional Fishing Grounds. Hal itu diatur dalam Pasal 51 UNCLOS. Itu sebabnya masyarakat internasional tidak mengakui keabsahan 9 garis putus yang diklaim oleh Cina, termasuk klaim "Traditional Fishing Rights" mereka.
Indonesia punya dasar hukum internasional yang kuat untuk menolak klaim Cina tersebut. Apalagi, Putusan Permanent Court of Arbitration pada tahun 2016, dalam sengketa antara Filipina melawan Cina, juga telah menegaskan kembali UNCLOS 1982.
"Artinya, China tak punya dasar hukum mengklaim perairan Natuna Utara dan sembilan garis putus yang selalu mereka sampaikan. Padahal, China sendiri adalah anggota UNCLOS," kata Ketua BKSAP DPR RI Fadli Zon, Senin (6/1).
Fadli menjelaskan, dalam kasus Coast Guard Cina kemarin memang tidak ada sengketa kedaulatan (sovereignty) antara Indonesia dengan China. Mereka tak memasuki laut teritorial Indonesia. Dalam hukum laut internasional, dibedakan antara sovereignty dengan sovereign rights. Sovereignty merujuk pada konsep kedaulatan yang di laut disebut Laut Teritorial (Territorial Sea). Sementara "sovereign rights"bukanlah kedaulatan. Mereka hanya memasuki ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) Indonesia, di mana kita punya "sovereign rights"atasnya.
"Sovereign rights"memberi negara pantai seperti Indonesia hak untuk mengeksploitasi dan mengelola sumber daya alam di wilayah laut lepas tertentu (ZEE) atau yang berada di bawah dasar laut (landas kontinen). Jadi, ZEE memang tidak berada di laut teritorial, tetapi di laut lepas (high seas). Di laut lepas memang tak dikenal konsep kedaulatan, sehingga tak dikenal juga tindakan penegakan kedaulatan.
"Namun, kita punya hak penegakan hukum di wilayah tersebut. Sebab, dalam undang-undang kita, misalnya UU No. 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, ZEE termasuk ke dalam laut yurisdiksi nasional. Sesuai Pasal 9 ayat (2), TNI kita diberi tugas untuk menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah laut yurisdiksi nasional," kata dia.
Sikap Tegas Indonesia
Dalam konteks konflik di Laut Cina Selatan hari ini, sebagai negara non-claimant state, Indonesia sebenarnya sejak lama telah mengambil sikap tegas untuk melindungi kedaulatan perairan Natuna. Sejak dulu Indonesia tidak pernah mengakui klaim sepihak Cina.
Pada 2010, Indonesia bahkan pernah menulis catatan kepada Sekjen PBB bahwa klaim China mengenai sembilan garis putus-putus itu tidak memiliki basis hukum internasional.
Pada 2017, kita juga telah mengambil inisiatif penting dengan mengubah nama perairan Natuna menjadi perairan Natuna Utara. Setidaknya ada dua alasan, kenapa perubahan nama itu perlu dilakukan.
Pertama, untuk mencegah kebingungan di antara pihak-pihak yang ingin mengeksploitasi landasan kontinen tersebut, mengingat di wilayah itu kita memiliki hak berdaulat. Dan kedua, untuk memberikan petunjuk yang jelas kepada Tim Penegakan Hukum di TNI Angkatan Laut (AL) Indonesia.
"Sehingga, saya sepakat dengan pandangan bahwa persoalan perairan Natuna Utara ini memang tak boleh dan tak perlu dibawa ke meja perundingan. China tidak mengakui ZEE Indonesia di Natuna Utara, demikian pula Indonesia juga tidak mengakui wilayah tradisional penangkapan ikan nelayan China. Jadi, tak ada yang perlu dirundingkan. Itu mencederai konsistensi kita dalam menjaga kedaulatan Natuna sejauh ini," lanjutnya.
Hak kita atas perairan Natuna Utara sudah dilindungi oleh hukum laut internasional. China sendiri mengakui UNCLOS. Jadi, dasar kita sangat kuat. Itu sebabnya jangan sampai dibuka ruang negosiasi sekecil apapun dengan Cina terkait wilayah perairan tersebut. Kita tak boleh didikte oleh China atau berada di bawah tekanan China.
Kita hanya perlu meningkatkan patroli dan memperkuat penjagaan keamanan di perairan Natuna Utara. Harus diakui itu adalah kelemahan kita selama ini. Sebab, saya melihat perairan Natuna Utara sepertinya akan selalu diwarnai insiden serupa. Jangan lupa, insiden seperti kemarin sudah terjadi berkali-kali, seperti tahun 2016, 2015, 2013, bahkan sejak tahun 2010 dulu. Kita perlu mencurigai ada upaya sistematis untuk membawa persoalan ini ke meja perundingan bilateral.
"Sebagai negara berdaulat, kita sebaiknya tidak terjebak pada skenario tersebut. Di meja perundingan bilateral, bagaimanapun posisi Indonesia akan mudah sekali ditekan Cina. Kita tak menginginkan itu terjadi," tutup Fadli.
(mdk/ian)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Dua Bangkai Kapal Berusia Ratusan Tahun Ditemukan di Laut China Selatan, Muatan 100.000 Porselen dan Kayu Masih Utuh
Dua kapal ini berasal dari masa Dinasti Ming, yang berkuasa di China dari tahun 1368-1644.
Baca SelengkapnyaSatelit Ungkap China Nekat Bangun Pangkalan Udara di Pulau Sengketa Laut China Selatan, Ini Buktinya
China benar-benar nekat membangun pangkalan udara di sana.
Baca SelengkapnyaKonflik LCS, Kepala Bakamla Ingin TNI Diperkuat Melebihi China
Irvansyah juga mengusulkan Kota Ranai di Natuna dibuat seperti stasiun atau pangkalan untuk titik kumpul anggota.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Berkaca dari China, Nasib Indonesia Jadi Negara Maju atau Tidak Ditentukan 2 Pilpres Selanjutnya
Adapun perhitungan ini didapatnya setelah berkaca dari China, yang butuh waktu 40 tahun untuk jadi negara dengan kekuatan ekonomi besar dunia.
Baca SelengkapnyaMenyelam Hingga 47 Meter Di Bawah Laut, Penyelam Temukan 10 Bangkai Kapal Kuno dari Zaman Romawi Sampai Perang Dunia
Menyelam Hingga 47 Meter Di Bawah Laut, Penyelam Temukan 10 Bangkai Kapal Kuno dari Zaman Romawi Sampai Perang Dunia
Baca SelengkapnyaKapal Nelayan Rute Jakarta-Lombok Angkut 37 Orang Tenggelam di Selayar, 2 Meninggal dan 24 Hilang
Namun saat berada di 52 NM dari Pelabuhan Benteng, Kabupaten Kepulauan Selayar, kapal tersebut dihantam cuaca buruk.
Baca SelengkapnyaWN Taiwan Hilang saat Kapal Terbalik di Pulau Seribu, Basarnas Kerahkan 7 Kapal untuk Pencarian
Basarnas mengerahkan tujuh unit kapal untuk mencari WN Taiwan yang hilang saat kapal terbalik di Pulau Seribu.
Baca SelengkapnyaNelayan Banyuwangi Terima Dua Kapal Rampasan Ilegal Fishing dari KKP
KKP menyerahkan dua kapal ikan barang milik negara yang berasal dari barang rampasan ke nelayan Banyuwangi.
Baca SelengkapnyaPengamanan Lanal Banyuwangi Kini Diperkuat KAL Sembulungan
Kapal ini merupakan buatan dalam negeri yang diproduksi dengan teknologi yang lebih modern.
Baca Selengkapnya