Aksi Boikot Makin Gencar, Perusahaan Asing Terafiliasi Konflik Israel Terdampak Signifikan
Aksi boikot berimbas pada anjloknya bisnis beberapa perusahaan multinasional di Asia Tenggara.


Belakangan, aksi boikot terkait perusahaan multinasional terkait konflik Israel gencar disuarakan. Hal ini membuat pemegang merek multinasional di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia dan Malaysia, menjalankan berbagai strategi untuk membantah bahwa produk mereka terafiliasi dengan konflik Israel.
Namun, laju gerakan boikot sebagai aksi protes terhadap konflik yang terjadi di Gaza, Palestina ini semakin gencar menghantam perusahaan global tersebut. Bahkan, aksi boikot juga banyak disuarakan lewat aplikasi perpesanan instan populer.
Ia menyatakan bahwa aksi tersebut dilakukan karena ia tidak bisa pergi langsung ke Gaza untuk melawan aksi militer yang terjadi di sana. Jadi, boikot tersebut adalah bentuk dukungannya untuk tidak menggunakan produk yang terafiliasi konflik Israel.

Keuntungan Merek Besar Tergerus
Di wilayah Asia Tenggara, seruan ini ternyata berdampak signifikan terhadap produk asing yang dianggap terafiliasi konflik Israel. Hal ini membuat keuntungan merek besar menurun secara signifikan.
Cerita pun datang dari Isna Sari, seorang ibu rumah tangga di Medan. Ia mengungkapkan telah mengubah daftar belanjanya sejak awal konflik Gaza pecah.
"Selain bukan produk asing terafiliasi konflik Israel, harganya juga lebih murah," ungkapnya pada Al Jazeera.
Meskipun berbagai upaya menghapus citra terafiliasi konflik Israel dilakukan, tapi perusahaan global ini sepertinya akan terus mengalami boikot jika perusahaan induk mereka belum menyatakan menarik diri dari Israel.

YKMI Telah Menerbitkan Rekomendasi
Direktur Eksekutif Yayasan Konsumen Muslim Indonesia (YKMI), Ahmad Himawan, telah mengumumkan 10 produk asing yang terafiliasi konflik Israel dalam diskusi publik yang mengusung tema 'Ramadan Tanpa Produk Genosida' di Jakarta.
Kesepuluh produk tersebut menggunakan data acuan dari situs Boycott.Thewitness dan Bdnaash (15/3). YKMI merekomendasikan boikot massal terhadap produk-produk yang dianggap terafiliasi konflik tersebut.
Tak sebatas sampai situ, jelang bulan Ramadan pun setelah keluarnya Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No 83/2023, gerakan boikot konsumen Muslim ini juga semakin kuat dengan dukungan MUI. Mereka mengeluarkan deklarasi berupa instruksi atau 'Irsyadat Majelis Ulama Indonesia', di Gedung MUI Jakarta (10/03).
Salah satu dari lima poin instruksi MUI itu secara tegas, “Menyeru umat Islam agar mulai bulan Ramadan ini untuk tidak menggunakan lagi produk yang diproduksi oleh perusahaan yang terafiliasi Israel dan pendukungnya, seperti produk kebutuhan konsumsi sahur, berbuka puasa, dan barang hantaran Lebaran (hampers) maupun produk-produk lainnya.”
*