5 Pasal 'Mengekang Demokrasi' di RUU KUHP yang Disorot Aliansi Masyarakat Sipil
Merdeka.com - Pembahasan rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) oleh DPR dan Pemerintah menuai kritik tajam dari aliansi masyarakat sipil. Pasal-pasal yang dirancang dinilai masih sangat kuat dengan kolonialisme dan mengekang demokrasi.
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mendorong agar pemerintah dan DPR menghapus pasal kontroversial dari pembahasan.
"Yang terpenting adalah menghapus pasal-pasal yang akan membunuh dan mengekang iklim demokrasi di Indonesia, utamanya dalam kondisi Indonesia saat ini," ucap Erasmus, Kamis (10/6).
Pasal sorotan aliansi masyarakat sipil yaitu;
Pertama, terkait dengan Tindak Pidana Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden yang diatur dalam pasal 218-220 RKUHP.
"Pasal ini sejatinya ditujukan untuk Kepala Negara bukan kepada Kepala Pemerintahan atau disebut lesse majeste," ujar Erasmus.
Rumusan pasal tersebut menurut Erasmus sama dengan konsep kejahatan yang ada dalam Pasal 134 dan Pasal 137 ayat (1) KUHP yaitu penghinaan presiden, yang merupakan warisan kolonial Belanda, pada awalnya digunakan untuk memproteksi martabat dari raja atau ratu di Belanda.
Namun pasal tersebut sudah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan 013-022/PUU-IV/2006. Saat itu, MK menyatakan bahwa sudah tidak relevan jika dalam KUHP Indonesia masih memuat pasal penghinaan presiden dan menegasi prinsip persamaan di depan hukum, mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi, dan prinsip kepastian hukum.
Kedua, terkait Tindak Pidana Penghinaan terhadap Pemerintah yang diatur dalam pasal 240-241 RKUHP.
Pasal ini disebut dengan nama pasal Haatzaai Artikelen yang berasal dari British Indian Penal Code, dan pada waktu itu dianggap tepat untuk diberlakukan terhadap bangsa Indonesia sebagai bangsa yang terjajah oleh Belanda.
Erasmus menilai pasal ini sudah tidak tepat karena kondisi Indonesia sudah berubah menjadi negara merdeka.
"Sudah sepatutnya pasal kolonial ini tidak perlu ada karena tidak sesuai lagi dengan negara demokratis yang merdeka," lugasnya.
Ketiga, terkait Tindak Pidana Penghinaan terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara yang diatur dalam pasal 353-354 RKUHP.
Sama dengan dua pasal sebelumnya, pasal tentang Tindak Pidana Penghinaan terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara berpotensi menjadi pasal karet dengan potensi pengekangan hak dan kebebasan warga negara yang sangat besar dan juga dapat menjadi jelmaan dari pasal subversif.
Erasmus menyoroti, pasal ini, tidak saja kabur dan multitafsir, namun juga sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan nilai-nilai sosial dasar dalam masyarakat demokratik yang modern.
Keempat, terkait Tindak Pidana Penyelenggaraan Pawai, Unjuk Rasa, atau Demonstrasi Tanpa izin yang diatur dalam pasal 273 RKUHP.
Pasal ini menjadi sorotan lantaran adanya politik perizinan mencerminkan watak birokrasi pemerintah yang penerapannya sangat bertumpu pada keamanan dan ketertiban umum (rust en orde) yang akrab dipakai pemerintah kolonial Belanda, dan juga sebagai bentuk acuan legal pemerintah atau aparat dalam memantau gerak-gerik masyarakat di Tahun 1960an.
"Belum lagi pada rezim orde baru digunakan juga sebagai pasal langganan penguasa saat itu untuk membatasi kegiatan masyarakat yang akan berdemonstrasi," ucapnya.
Kelima, terkait Tindak Pidana Gangguan dan Penyesatan Proses Peradilan yang diatur dalam pasal 281 RKUHP.
"Pasal ini akan dengan mudah menyasar akademisi, pers/media, hingga kelompok masyarakat sipil yang berusaha menyuarakan penilaiannya terhadap hakim atau pengadilan yang dianggap tidak imparsial," tegasnya.
Aliansi, kata Erasmus, melihat bahwa menyuarakan pendapat terhadap tindakan penguasa, dalam hal ini termasuk juga hakim atau pengadilan, dalam dunia demokrasi merupakan hal yang biasa.
(mdk/bal)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
11 Prinsip Pemilu beserta Tujuan, Fungsi, dan Asasnya
Prinsip-prinsip dalam pemilu adalah kriteria yang harus dipenuhi oleh penyelenggara pemilu agar pemilu berjalan dengan demokratis dan transparan.
Baca SelengkapnyaJenis Surat Suara Pemilu yang Patut Diketahui, Simak Penjelasannya
Surat suara bukan hanya secarik kertas, melainkan sebuah instrumen demokratis yang menggambarkan kehendak rakyat.
Baca SelengkapnyaCiri Pemilu yang Demokratis adalah Bebas, Adil, dan Rahasia, Berikut Penjelasannya
Pemilu yang demokratis sangat penting untuk menegakkan prinsip-prinsip demokrasi dan memastikan bahwa warga negara memiliki suara.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Contoh Koalisi Partai Politik Sebagai Penentu Pembentukan Pemerintahan Kuat, Kenali Bedanya dengan Oposisi
Berikut contoh koalisi Partai Politik dan kenali perbedaan dengan oposisi.
Baca SelengkapnyaMenggunakan Hak Pilih dalam Pemilu Sila Ke 4, Ini Penjelasannya
Pemilu merupakan penerapan nyata dari kehendak rakyat untuk menjalankan negara secara demokratis.
Baca SelengkapnyaPrinsip Pemilu, Tujuan, dan Fungsinya yang Penting Dipelajari
Prinsip-prinsip dasar pemilu mencerminkan nilai-nilai demokratis yang mendasari proses ini.
Baca SelengkapnyaKomisi II: Putusan DKPP soal Etik Ketua KPU Mirip MKMK, Tuai Perdebatan Publik
Ketua KPU terbukti melanggar etika saat menerima pendaftaran pencalonan Gibran Rakabuming Raka
Baca SelengkapnyaCak Imin soal Ketua KPU Disanksi Langgar Etik Berat: Jangan Main-Main dengan Demokrasi dan Etika
Menanggapi sanksi Ketua KPU, Cak Imin meminta semua pihak jangan bermain-main dengan demokrasi dan etika di Indonesia.
Baca SelengkapnyaJelang Masa Tenang Pemilu 2024, Menpan RB Ingatkan ASN Wajib Netral dan Bebas Pengaruh Politik Tak Sehat
Sejumlah alasan mengapa ASN harus netral karena sebagai bentuk kewajiban profesionalism.
Baca Selengkapnya