Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Uang 'Siluman' di Pertarungan Pemilu

Uang 'Siluman' di Pertarungan Pemilu Alat Peraga Kampanye Hiasi Pepohonan. ©2019 Merdeka.com/Iqbal S Nugroho

Merdeka.com - Supardi (bukan nama sebenarnya), mendadak dipanggil ke Jakarta. Seorang petinggi partai politik menghubunginya. Dia diminta datang ke gedung wakil rakyat di Senayan.

Dia masih ingat betul. Kala itu, sang pejabat memintanya mendukung salah satu kandidat bupati jelang pilkada serentak 2020. Saat itu Supardi menjabat ketua dewan pimpinan cabang (DPC) salah satu parpol di sebuah kabupaten kecil di Provinsi Jawa Tengah.

Dalam pertemuan tersebut, sang pejabat menyatakan siap menggelontorkan uang kepada Supardi. Nilainya hingga miliar rupiah. Asal, parpol yang berada di bawah komando Supardi, mau mendukung jagoan sang pejabat.

Supardi dan partainya, awalnya berada di pihak lawan (incumbent). Namun, internal koalisi bersama calon incumbent tak menemukan jalan keluar jelang pilkada digelar. Komposisi pasangan calon yang diajukan menemui jalan buntu.

Padahal, kala itu parpolnya punya 7 kursi DPRD. Satu kursi dihargai Rp200 juta oleh sang incumbent. Untuk pemenuhan biaya kampanye calon. Total Rp1,4 miliar.

Lobi-lobi dilakukan. Supardi pun akhirnya memilih mengikuti perintah sang pejabat. Menolak Rp1,4 miliar, dia mengalihkan dukungan kepada calon lain. Maharnya tak kalah menarik.

"Angkanya tak bisa saya sebut, tapi lebih dari tawaran incumbent," ujar Supardi kepada merdeka.com sembari tertawa awal Maret lalu.

Dia menegaskan, uang tersebut tak masuk kantong pribadi. Tapi untuk pemenuhan biaya kampanye. Supardi mengakui praktik jual beli kursi untuk dukungan pasangan calon Pilkada sudah lumrah terjadi. Bukan tanpa sebab, biaya politik yang tinggi menjadi salah satu faktor utama.

Misalnya, parpol butuh dana untuk kampanye. Memasang billboard, spanduk, bahkan umbul-umbul agar calonnya dikenal rakyat.

Tapi Supardi menegaskan, pengalihan dukungan tersebut bukan semata mahar jual beli kursi. Tapi realitas politik bagi parpolnya yang tak bisa bergabung dengan incumbent saat itu. Meskipun pada akhirnya, incumbent kembali menang. Jalur MK sempat ditempuh. Tetap saja kalah.

Cerita soal 'beli kursi' untuk syarat pencalonan kepala daerah ini juga dituturkan oleh tokoh yang mengincar kursi kepala daerah di Pilkada 2024. Politikus salah satu partai pendukung pemerintah ini mengaku menyiapkan 'isi tas' guna mendapatkan tiket pilkada.

Dia bercerita, setidaknya untuk tingkat gubernur, membutuhkan uang ratusan miliar. Dia mengaku siap apabila harus membeli kursi anggota DPRD tingkat provinsi. Budgetnya Rp1 miliar per kursi.

"Tapi dibayar setengah dulu," ujarnya.

Sang pejabat tak ingin, uang yang dikeluarkannya sia-sia. Jika sudah mendapatkan tiket dan bertarung di pilkada, apapun hasilnya, sisa utang beli kursi akan dilunasinya.

Dia menceritakan, banyak kasus terjadi, seorang bakal calon kepala daerah sudah menyetor uang ke parpol. Namun hasil akhir, rekomendasi tak jatuh ke namanya.

"Enggak bisa dong lunas di depan. Nanti uang diambil, enggak dapat rekom," katanya.

Menurutnya, meski Pilkada serentak baru digelar November 2024, setelah Pilpres pada Februari 2024, namun sejumlah tokoh yang berniat maju sudah mulai ambil ancang-ancang.

Dia mengungkapkan, beberapa calon kepala daerah itu telah melakukan pertemuan dengan para petinggi parpol. "Yang dibahas ya 'isi tas'. Punya uang berapa kalau mau nyalon," terang dia.

Sumber lain merdeka.com, seorang anggota tim sukses di Pilkada wilayah Jawa Barat bercerita. Timnya merasa diperas oleh parpol pendukung sendiri.

Pengurus parpol itu meminta dana Rp30 juta. Dianggap sebagai uang operasional untuk memasang alat peraga kampanye di jalan-jalan.

Padahal, katanya, sebagai parpol pendukung, adalah tugas dan tanggung jawabnya dalam memenangkan calon yang diusung.

"Mereka kirim foto ke kami. APK (alat peraga kampanye) kita cuma ditumpuk di gudang," ujar sumber tersebut.

Simak berita Pemilu selengkapnya di Liputan6.com

Menghitung Modal Jadi Kepala Daerah

Mahalnya biaya menjadi kepala daerah sudah menjadi rahasia umum. Jumlah dana kampanye yang dilaporkan para kandidat ke KPU saat pilkada usai diyakini bukan angka riil yang dihabiskan di lapangan.

Menyitir data Kemendagri, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menyebut, para calon bupati, wali kota, dan gubernur harus merogoh kocek puluhan hingga ratusan miliar rupiah. Tergantung wilayahnya.

Untuk kabupaten/kota di pinggiran, modal yang harus disiapkan, mulai dari mendapatkan rekomendasi hingga diusung parpol hingga kampanye dan membayar saksi di TPS, calon kepala daerah mengeluarkan Rp20-50 miliar. Angka itu membengkak untuk wilayah menengah. Minimal Rp50-100 miliar bisa dihabiskan.

"Untuk yang metro sudah di atas Rp150 miliar," kata Ghufron beberapa waktu lalu.

Seperti diketahui, keputusan untuk memilih mekanisme pemilihan daerah secara langsung di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota melalui pasal 56 UU 32/2004 merupakan semangat reformasi untuk membangun demokrasi lokal yang demokratis.

Dalam perjalanannya, ada upaya untuk mengurangi biaya yang dikeluarkan pemerintah dengan menggelar pelaksanaan pilkada secara serentak yang dimulai sejak tahun 2015 di 269 daerah (9 provinsi, 36 kota, dan 224 kabupaten), tahun 2017 sebanyak 101 daerah (7 provinsi, 18 kota, dan 76 kabupaten), hingga pilkada langsung serentak 2018 sebanyak 171 daerah (17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten).

Sayangnya, berdasarkan penelitian Puskapol UI, desain peraturan pilkada langsung belum sampai pada memikirkan bagaimana menekan ongkos politik peserta. Setiap calon dibayang-bayangi oleh modal politik yang perlu disiapkan.

Para kandidat sejak awal dibebani mulai perkara mahar politik untuk mendapatkan rekomendasi partai, biaya menggerakkan mesin partai, mendanai tim pemenangan, biaya kampanye online dan offline, sumbangan politik pada masyarakat, hingga pembayaran saksi di TPS.

Sulit bagi calon untuk mendanai sendiri semua kebutuhan itu. Muncullah kemudian pihak-pihak yang memberikan sumbangan. UU Pemilu dan UU Pilkada tidak membatasi dana kampanye yang berasal dari calon itu sendiri. Hanya diatur batas maksimal sumbangan dana kampanye pihak ketiga.

Berdasarkan Peraturan KPU Nomor 5 tahun 2017 tentang Dana Kampanye Peserta Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota, dalam pasal 7 ayat 1 sampai 3 dijelaskan, sumbangan dana kampanye yang berasal dari partai dan badan hukum swasta maksimal sebesar Rp750 juta. Sedangkan sumbangan dari pihak perseorangan dibatasi maksimal sebesar Rp75 juta.

Aturan KPU mengharuskan sumbangan dana kampanye dilengkapi dengan identitas lengkap penyumbang. Aturan itu juga mengatur pencatatan dua bentuk sumbangan yang bisa berupa uang atau barang dan jasa.

Laporan Dana Kampanye Tak Sesuai Pengeluaran

Pada Pilkada 2020, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) pernah melakukan riset biaya kampanye. Di antara 9 daerah yang menggelar pemilihan gubernur, dana kampanye tertinggi yang dilaporkan ke KPU adalah pasangan calon gubernur Kalimantan Tengah, Sugianto Sabran dan Pratowo. Angkanya mencapai Rp34.680.532.391.

Sementara paling rendah adalah pasangan calon gubernur Sulawesi Utara, Vonnie Anneke Panambunan dan Hendry C M Runtuwene dengan nominal Rp50.000,000.

Faktanya, dana kampanye yang dilaporkan resmi itu jauh dari jumlah dana yang dikeluarkan para calon. Perludem menduga, banyak dana yang dikeluarkan namun tidak dimasukkan dalam laporan.

Dari temuan riset Perludem, di Pilkada Kota Madiun, Jawa Timur tahun 2018, kandidat Harryadin Mahardika-Arief Rahman tercatat melaporkan mengeluarkan dana kampanye hanya Rp841.913.440. Namun, penelusuran riilnya pengeluaran calon tersebut mencapai Rp7.020.500.

Dalam tulisannya di The Conversation, Fiantonius Sihotang, akuntan publik yang terlibat mengaudit dana kampanye pemilu legislatif di Provinsi Sumatera Utara pada 2019 mengungkapkan, ada celah dari aturan batasan sumbangan kampanye dengan praktik yang ditemukan di lapangan.

Peraturan KPU tidak membatasi sumbangan dalam bentuk barang dan jasa dan tidak adanya keharusan untuk mencatat sumbangan tersebut ke rekening bank.

Dalam audit ditemukan, semua peserta pemilu melaporkan penerimaan sumbangan dana kampanye tidak dalam bentuk uang tunai, tapi dalam bentuk barang dan jasa yang jumlahnya bisa lebih besar dari yang dilaporkan karena tidak termonitor dan terverifikasi dalam rekening koran.

Dosen FEB Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya itu juga menyebutkan, parpol pada umumnya melaporkan penerimaan dalam bentuk sumbangan barang dan jasa sesuai dengan batasan sumbangan yang diperbolehkan, padahal jumlah sebenarnya bisa lebih dari yang dilaporkan.

Dia mencontohkan, salah satu peserta pemilu menerima sumbangan dalam bentuk kaus, spanduk, biaya percetakan, dan jasa penyanyi pada saat kampanye terbuka. Sumbangan ini diterima hanya dengan bukti dokumen kwitansi pembelian barang dan pembayaran jasa saja yang nilainya rawan dimanipulasi.

"Manipulasi data sumbangan kampanye akan sulit dilakukan jika seluruh penerimaan dana kampanye termasuk dalam bentuk barang dan jasa masuk ke rekening bank terlebih dahulu. Setelah dana masuk baru bisa dikeluarkan untuk belanja barang dan jasa," ujar Fiantonius.

Sistem pengawasan yang ada saat ini juga belum melibatkan publik untuk ikut mengawasi. "Laporan akhir penggunaan dana kampanye hanya diunggah setelah diaudit oleh akuntan publik independen di laman KPU dan juga Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang proses pelaporannya masih tertutup," ujarnya.

Saat Cagub Berutang untuk Kampanye

Berdasarkan Peraturan KPU, setiap pasangan calon wajib melaporkan dana kampanye mereka sebanyak tiga kali. Pertama, laporan awal dana kampanye. Kedua, laporan penerimaan sumbangan dana kampanye, dan ketiga, laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye (LPPDK). Ketiga laporan itu wajib disampaikan kepada KPU agar kandidat tidak didiskualifikasi.

Pada kenyataannya, laporan dana kampanye tersebut tidak menggambarkan kondisi ril yang dikeluarkan setiap kandidat. LPPDK hanya untuk memenuhi syarat administrasi saja.

Kasus 'utang' Anies Baswedan terhadap Sandiaga Uno dengan total Rp92 miliar beberapa waktu lalu sempat heboh, mengonfirmasi angka-angka ratusan miliar rupiah dana kampanye itu.

Saat maju di Pilgub DKI 2017, Anies membuat surat perjanjian pengakuan utang pada 9 Maret 2017 dengan Sandiaga Uno yang mewakili 'konsorsium' pemodal sebanyak dua kali. Dia menerima dana untuk pemenangan sebesar Rp20 miliar, Rp30 miliar, dan Rp42 miliar. Dana itu dia terima bertahap mulai Januari 2017.

"Dengan demikian Saya mengakui total jumlah Dana Pinjaman I, Dana Pinjaman II dan Dana Pinjaman Ill adalah sebesar Rp92.000.000.000,00 (sembilan puluh dua miliar rupiah). Saya mengetahui bahwa Dana Pinjaman Ill tersebut berasal dari pihak ketiga dan Bapak Sandiaga S. Uno menjamin secara pribadi pembayaran kembali Dana Pinjaman III tersebut kepada pihak ketiga."

Perjanjian bertanda tangan di atas meterai itu menyatakan, jika Anies kalah, dia akan bertanggung jawab menanggung pembayaran utang tersebut. Sebaliknya, jika Anies-Sandi terpilih, utang tersebut tidak perlu dibayar atau dianggap dihapuskan dengan mekanisme yang akan ditentukan Sandiaga Uno.

Dalam laporannya ke KPU, Tim Kampanye Anies Baswedan-Sandiaga Uno melaporkan pengeluaran pengeluaran selama kampanye putaran satu Pilgub DKI, pasangan ini menghabiskan sebesar Rp 64.719.656.703. Kemudian saat putaran kedua, Anies-Sandi mengeluarkan biaya kampanye sebesar Rp 17,9 miliar. Total selama dua putaran, dana yang digelontorkan Rp82 miliar lebih.

Mengacu pada pengakuan surat utang Anies, ada selisih sedikitnya Rp10 miliar dana yang dia terima sebagai modal kampanye dengan yang dilaporkan ke KPU.

Mempertanyakan Peran KPU

Lantas, bagaimana selama ini peran Komisi Pemilihan Umum (KPU) menelusuri dana kampanye yang dilaporkan? Anggota KPU Idham Holik mengungkapkan, pihaknya masih menyusun draf peraturan laporan dana kampanye untuk pemilu serentak 2024. Ada sejumlah aturan yang akan diperkuat.

Berbeda dengan Pemilu 2019, masa kampanye pemilu serentak 2024 berdasarkan lampiran satu peraturan KPU No 3 tahun 2022, ditetapkan selama 75 hari yang akan dimulai pada tanggal 28 November 2023 sampai dengan 10 Februari 2024.

"Saat ini kami sedang melakukan beberapa kajian dalam rangka memperbaiki pengaturan pelaporan dana kampanye pada pelaksanaan kampanye serentak 2019 yang lalu," ujarnya ketika dihubungi merdeka.com.

Idham belum bisa menjelaskan berapa batas maksimal dana sumbangan kampanye dalam aturan yang sedang dibahas KPU. Salah satu penyebabnya saat ini masih menunggu putusan judicial review di Mahkamah Konstitusi.

Terkait penggunaan dana kampanye, Idham menjelaskan, KPU dan Bawaslu bekerja sama melakukan pengawasan. Dari pelaksanaan kampanye yang dilakukan para kandidat, termasuk parpol, bisa diperkirakan berapa biaya yang mereka keluarkan.

Untuk pelaporan penerimaan dan penggunaan dana kampanye yang ditengarai banyak yang tidak sesuai, Idham mengatakan, KPU tengah melakukan pembahasan intensif bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

"Kami ingin mendalami berkaitan dengan regulasi-regulasi mengenai transaksi keuangan yang berlaku di negara ini," tukasnya.

 

Reporter Magang: Rafi Indra Jaya Putra

(mdk/bal)
ATAU
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
Pemilu Satu Putaran Dinilai Berdampak Baik ke Investasi, Ini Alasannya

Pemilu Satu Putaran Dinilai Berdampak Baik ke Investasi, Ini Alasannya

Pemilu 2024 akan diselenggarakan secara serentak pada Rabu, 14 Februari 2024.

Baca Selengkapnya
Utang Indonesia Tembus Rp8.041 Triliun per November 2023, Kemenkeu: Masih Aman

Utang Indonesia Tembus Rp8.041 Triliun per November 2023, Kemenkeu: Masih Aman

Utang Indonesia saat ini justru mengalami perbaikan yang cukup signifikan jika dibandingkan dengan periode sebelumnya.

Baca Selengkapnya
Uang Lauk Pauk Prajurit TNI Sudah Naik per 1 Januari 2024, Segini Besarannya

Uang Lauk Pauk Prajurit TNI Sudah Naik per 1 Januari 2024, Segini Besarannya

Kepastian kenaikan tunjangan uang lauk pauk prajurit itu disampaikan Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto.

Baca Selengkapnya
Kamu sudah membaca beberapa halaman,Berikut rekomendasi
video untuk kamu.
SWIPE UP
Untuk melanjutkan membaca.
BI Sebar 4.264 Lokasi Penukaran Uang Receh Lebaran 2024, Dibuka Mulai 15 Maret-7 April 2024

BI Sebar 4.264 Lokasi Penukaran Uang Receh Lebaran 2024, Dibuka Mulai 15 Maret-7 April 2024

BI menyediakan opsi layanan penukaran uang baru melalui Layanan Kas Keliling di lokasi-lokasi strategis.

Baca Selengkapnya
Pemudik di Pelabuhan Merak Ngeluh, Banyak Calo Sangar Tukang Palak Tak Ragu Aniaya Korban Jika Tak Dikasih Uang

Pemudik di Pelabuhan Merak Ngeluh, Banyak Calo Sangar Tukang Palak Tak Ragu Aniaya Korban Jika Tak Dikasih Uang

'Saya suami istri, dimintai ongkos Rp500.000 buat berdua. Padahal biasanya cuma Rp100.000."

Baca Selengkapnya
Perempuan Muda Asal Nganjuk Ini Bersikeras Jadi Petani, Beli Sawah Pakai Uang Tabungan Kini Omzetnya Puluhan Juta per Hari

Perempuan Muda Asal Nganjuk Ini Bersikeras Jadi Petani, Beli Sawah Pakai Uang Tabungan Kini Omzetnya Puluhan Juta per Hari

Sejak lulus SMK, ia merantau ke kota besar agar bisa menabung dari penghasilannya

Baca Selengkapnya
Stok Beras Bulog 1,4 Juta Ton, Aman untuk Libur Natal dan Tahun Baru

Stok Beras Bulog 1,4 Juta Ton, Aman untuk Libur Natal dan Tahun Baru

Pemerintah melalui Bapanas menugaskan Bulog untuk melaksanakan 2 instrumen utama untuk mengantisipasi gejolak harga beras.

Baca Selengkapnya
Pemudik Disarankan Pulang Lebih Awal, Jumat atau Sabtu Pekan Ini

Pemudik Disarankan Pulang Lebih Awal, Jumat atau Sabtu Pekan Ini

Karena dua hari itu masih sepi sehingga pemudik bisa lebih nyaman menempuh perjalanan pulang.

Baca Selengkapnya
Perputaran Uang Musim Libur Natal dan Tahun Baru Diprediksi Tembus Rp80.250 Triliun

Perputaran Uang Musim Libur Natal dan Tahun Baru Diprediksi Tembus Rp80.250 Triliun

Berdasarkan data Kementerian Perhubungan, jumlah orang yang akan bepergian di musim libur akhir tahun mencapai 107 juta orang.

Baca Selengkapnya