Di Pasar Senen, 'buaya' dan seniman berbagi tongkrongan
Merdeka.com - Kemunculan berbagai pasar di Jakarta, tak terlepas dari campur tangan penjajah Belanda ratusan silam. Mereka menyadari bahwa pasar merupakan roda untuk menggerakkan perekonomian masyarakat. Kala itu, pasar masih dijalankan dengan sangat sederhana.
Wartawan Senior Zaenuddin HM menyebut, mata pencaharian utama rakyat pada masa penjajahan adalah mengolah perkebunan atau pertanian. Nah, mereka menjadikan pasar sebagai saluran paling cepat untuk menjual hasil bumi.
"Kalau sekarang seperti pasar kaget, tak ada bangunan permanen dan lebih banyak muncul di pinggir jalan atau pusat keramaian," kata penulis buku: 212 Asal-Usul Djakarta Tempo Doeloe, saat berbincang dengan merdeka.com, Jakarta, kamis (3/2).
Pasar kala itu hanya beroperasi satu hari. Seperti Pasar Snees yang geliat perdagangannya hanya terjadi setiap Senin. Tak jauh dari situ, ada Pasar Mester atau sekarang dikenal dengan nama Jatinegara. Dulu, pasar itu beroperasi hanya setiap Kamis.
kedua pasar tersebut memiliki cerita masing-masing:
Pasar Snees, menjadi lokasi perdagangan pertama di Batavia. Dibangun oleh tuan tanah cum arsitek Yustinus Vinck pada 30 Agustus 1735.
Pasar didominasi masyarakat tionghoa tersebut diberi nama Snees lantaran aktivitas jual-belinya hanya berlangsung setiap Senin. Seiring meningkatnya jumlah penjual dan pembeli, Pasar Senen kemudian dibuka setiap hari sejak 1766.
"Barang jualannya baru seputar kebutuhan sehari-hari. Sesuai perkembangan kota, pasar kemudian berlangsung setiap hari."
Infografis Pasar Jakarta Tempo Dulu ©2017 Merdeka.com/Auliya
Wajah Pasar Senen terus berubah. Pasar kelas menengah-bawah tersebut sejak awal abad 20 telah menjadi jantung ibu kota yang tak pernah berhenti berdenyut. Di kawasan itu, orang bisa menemukan apa saja, "Termasuk tukang jambret dan copet yang dikenal sebagai buaya Senen," kata Misbach Yusa Biran dalam bukunya berjudul 'Keajaiban Pasar Senen' yang cetakan pertamanya diterbitkan Pustaka Jaya pada 1971.
Pada akhir 1930-an, kata Biran, Pasar Senen telah menjadi tempat bertemunya para intelektual muda sekaligus pejuang bawah tanah kemerdekaan RI. Pada mulanya, para mahasiswa pejuang tersebut datang ke Senen untuk menjual atau membeli buku ke toko loak "Nasution" terletak di belakang Bioskop Grand.
"Maklum, keuangan mereka menjadi minim karena banya dipakai untuk membiayai perjuangan," kata sutradara yang wafat pada usia 78 tahun tersebut. "Akhirnya sekitar toko buku itu menjadi rendezvous mereka."
Pada masa pendudukan Jepang, 1942-1945, Pasar Senen kemudian menjadi tempat persinggahan para seniman. Penyair Chairil Anwar sering muncul di sana. Awal masa revolusi, Pasar Senen menjadi pusat perlawanan terhadap tentara Belanda yang bermarkas di Batalion X, sekarang Hotel Borobudur.
"Pahlawan utamanya adalah Sapi’i, salah satu buaya Senen buta huruf dan kemudian menjadi perwira TNI," kata Biran. "Tahun 1948 Pi’i menjadi salah satu pahlawan dalam menumpas pemberontakan PKI di Madiun."
Sejak 1950 atau pascakesepakatan damai Indonesia-Belanda, Pasar Senen juga menjadi tempat berkumpulnya seniman muda, kebanyakan berasal dari Medan dan Padang. Seiring berkembangnya pembuatan film dan pementasan sandiwara.
"Mereka meneruskan tradisi di Medan dan Padang yang menjadikan pasar sebagai tempat kumpulnya seniman," katanya.
Uniknya, para seniman itu juga berbagi tongkrongan dengan buaya Senen. Lokasinya, sekitar kedai yang menjual makanan dan minuman murah. "Maka berbaurlah para seniman, tukang catut, dan pencoleng," katanya. "Semua berjalan damai, yang mengherankan, beberapa gembong pencoleng senang bergaul dengan seniman."
Pasar Mester
Sampai 1962, Jakarta masih memiliki trem listrik dengan sejumlah rute. Nah, Pasar Senen masih satu jalur dengan Pasar Mester, sekarang lebih dikenal Jatinegara. Tepatnya, tergabung ke rute 2, mulai dari Harmoni-Rijswijk (Jalan Veteran)-Wilhelmina Park (Masjid Istiqlal)-Pasar Baru-Senen-Kramat-Salemba-Matraman-Meester Cornelis (Jatinegara).
"Jatinegara dulunya kawasan hutan jati. Cornelis Senen kemudian diberi kewenangan oleh Belanda untuk menjadikan itu kawasan pemukiman, sehingga berdiri juga pasar yang diberi nama Mester Passer atau Pasar Mester," kata Zaenuddin.
Pasar Mester, awalnya, hanya menjual bahan pokok, pakaian, dan hewan ternak. Namun, sekarang berkembang hingga menjadi pusat cindera mata pernikahan murah meriah. Pasar ini sempat menjadi sasaran penjarah saat terjadi kerusuhan 1998.
(mdk/yud)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Setiap orang memiliki besaran rezekinya masing-masing.
Baca SelengkapnyaWalaupun sepi pengunjung, para pedagang pasar memilih bertahan tetap berjualan
Baca SelengkapnyaStasiun Senen menyediakan sejumlah fasilitas bagi para penumpang yang ingin mudik.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
KAI Tambah 344 Perjalanan Kereta Api dari Stasiun Gambir dan Stasiun Pasar Senen, Cek Rutenya di Sini
Baca SelengkapnyaMakanan yang Ia beli juga dibaikan ke orang-orang sekitar secara gratis.
Baca SelengkapnyaPendengar kesenian ini konon bisa hilang kesadaran dan ikut menari.
Baca SelengkapnyaPantun pembuka ceramah lucu ini mengundang senyum dan bantu cairkan suasana.
Baca SelengkapnyaNenek Satikem sempat "dibuang" oleh majikannya ke panti jompo di Bangka Belitung
Baca SelengkapnyaBegini momen keseruan Jenderal Dudung Abdurachman bareng sang cucu dengan naik becak.
Baca Selengkapnya