Rakyat tidak siap berdemokrasi
Merdeka.com - Pemilihan kepala daerah secara langsung dinilai merusak sistem otonomi daerah. Pemimpin dihasilkan hanya instan dan tidak menjawab kebutuhan masyarakat daerah.
Pakar otonomi daerah Ryaas Rasyid menilai perlu ada kebijakan tidak populer untuk mengubah otonomi daerah kembali ke jalurnya. Menurut dia, konstitusi tidak mengharuskan Indonesia menggelar pemilihan kepala daerah secara langsung. “Coba lihat perilaku rakyat, sekarang ini mereka dikorbankan oleh ketiadaan infrastruktur, pendidikan lemah, dan lapangan kerja tidak terbuka," katanya kepada merdeka.com Rabu lalu.
Berikut penuturan Ryaas kepada Alwan Ridha Ramdani saat ditemui di kantor Asosiasi Pemerintahan Provinsi Seluruh Indonesia di Jakarta.
Masyarakat cenderung menyalahkan pemilihan daerah langsung atas sengkarut otonomi daerah. Bagaimana pendapat Anda?
Saya setuju. Itu merusak masyarakat, merusak sistem keseluruhan, merusak birokrasi. Banyak kerusakan dibawa oleh pemilihan langsung itu.
Lantas apa yang bisa dilakukan?
Masyarakat harus berani bicara kita sudah bosan dengan hal ini. Tapi kalau kita lihat secara realistis ini sudah dibicarakan dengan DPR. Masyarakat tunggu saja atau dukung saja. Pemerintah cenderung menyadari ada yang salah dalam pilkada langsung sehingga harus dikoreksi.
Kondisi saat ini apatisme masyarakat karena bukan hanya pada proses, tapi pemimpinnya ternyata tidak menjalankan visi dan misi dijanjikan?
Itu banyak bohongnya, tidak konsisten. Tapi kenapa juga mereka memilih orang-orang itu, tanya kembali kepada masyarakat. Ini rumit sekali, kusut sekali persoalan ini. Dia terpilih karena masyarakat, tapi mereka tidak tahu kenapa pilih dia.
Setelah terpilih ternyata banyak kekurangan, mereka komplain lagi. Jadi kesimpulannya, yang dikatakan Salim Said itu benar. Kita tidak siap berdemokrasi tapi tidak ada pilihan lain, kita harus berdemokrasi.
Terobosan bisa dilakukan untuk memperbaiki ini?
Kalau kembalikan lagi memang ada masalah tapi itu lebih kurang mudaratnya. Masak, tidak bisa pulang. Orang jalan juga bisa maju lagi, mundur lagi. Namanya masih coba-coba. Pemilu ini tiap lima tahun aturannya berubah-ubah. Ya itu artinya coba-coba semua, tidak pernah menemukan format permanen.
Kesalahan ini karena DPR atau pemerintah?
Di mana-mana, kesimpulannya bangsa ini tidak siap untuk maju. Pemimpinnya tidak siap, masyarakatnya juga tidak siap. Saya nonton saja di TV, saat ini banyak sekali kerusuhan, bakar-bakar, menjarah toko orang lain. Ini kapan majunya bangsa? Pada sektor masyarakat terjadi masalah, pada sektor pemerintahan terjadi masalah.
Ini karena pemimpin kebanyakan janji?
Mereka berjanji karena sistemnya mengharuskan mereka berjanji. Pilkada langsung tadi itu membuat orang mengumbar janji dan rakyatnya senang mendengar janji. Nah itu lah sebabnya, tapi sudah terlanjur dan tidak bisa dihindari.
Solusinya untuk jangka pendek ini kembalikan pada DPRD, paling tidak di sana ada diskusi untuk memilih orang. Nah kalau di publik bagaimana bisa bikin diskusi sekian juta orang.
Solusi pemilihannya di tingkat dua atau satu?
Yang saya setuju adalah untuk pemilihan bupati/walikota itu cukup di DPRD saja. Gubernurnya mau langsung dipilih rakyat boleh juga. Tapi gubernurnya pun kalau tidak langsung rakyat nggak masalah kalau format pemerintahannya tidak diubah. Gubernur kan hanya perwakilan pemerintah pusat. Kecuali kalau provinsi diberi kewenangan otonomi penuh, itu bisa langsung.
Kembali dipilih DPRD dinilai kemunduran, alasannya karena kepala desa pun dipilih rakyat langsung?
Kenapa harus semua dipilih langsung? Kenapa nggak sekalian saja jaksa dipilih, hakim-hakim dipilih semua. Bukan itu masalahnya. Desa itu sudah tradisi dari dulu-dulu. Justru saya mau mengatakan kalau kepala desa sudah dipilih langsung, yang atas-atasnya ya tidak usah dipilih lagi. Masak semua dipilih langsung, terbalik cara berpikirnya.
Jadi tidak harus seragam?
Tidak harus. Kenapa mesti semua dipilih langsung? Ilmu dari mana. Baca undang-undang dasar, ada nggak begitu. Jangan berpikir semua dimudahkan. Kalau saya cuma dua yang dipilih, presiden dan kepala desa. Yang lain DPRD saja. Rakyat sudah repot pilih DPR, DPRD dan DPD.
Sekarang lihat, tingkat partisipasi pilkada semakin turun. Artinya mereka jenuh, desa dia pilih, bupati/walikota dia pilih, DPR, DPRD kabupaten/kota, DPRD Provinsi dan DPD, Presiden dia pilih. Jadi mungkin negara ini tidak ada kegiatan lain.
Anggarannya berapa? Sementara kita teriak-teriak kemiskinan tidak selesai, infrastruktur miskin, untuk keperluan sehari-hari air tidak cukup, listrik padam-padam terus, tapi belanjakan uang habis-habisan untuk pilkada sekian triliun, dimana logikanya, hanya menghasilkan bupati/wali kota masuk penjara.
Apakah elite partai akan ikhlas kalau pilkada langsung diubah kembali?
Ini bukan rida atau tidak. Yang pasti tidak setuju itu, satu KPU menjadi kurang kerjaan. Kedua, tukang survei dan konsultan politik, media massa, tidak kebagian berita konflik, dan iklan, iya toh. Keempat, partai kecil tidak mungkin menggolkan kepala daerahnya. Kelima, tukang kumpul suara.
Apakah harus rida dulu semuanya baru melakukan perubahan? Dulu mau merdeka siapa menentukan kita merdeka? Apakah ada demonstrasi rakyat supaya para elite menentukan kemerdekaan? Itu cuma segelintir pemuda manggil Bung Karno karena perjuangan sudah berakumulasi sekian ratus tahun itu. Tidak ada republik dibangun dengan voting.
Artinya, mengubah otonomi ke jalurnya tidak perlu menunggu elite partai sepakat?
Tidak perlu. Orang mengalami pencerahan dan berada di puncak kekuasaan harus berani mengambil keputusan tidak populer demi kepentingan jangka panjang.
Tapi saat ini belum ada pemimpin mau ambil keputusan tidak populer?
Harus ada, kalau tidak, bangsa ini semakin tenggelam. Coba lihat trennya? Apakah ada kemajuan dari segi budaya politik? Dari segi penanggulangan kemiskinan? Dari segi pembangunan infrastruktur dibutuhkan? Itu loh.
Coba lihat perilaku rakyat, sekarang ini mereka dikorbankan oleh ketidakadaan infrastruktur, pendidikan lemah, dan lapangan kerja tidak terbuka. Mereka mengamuk, sesuai kondisinya. Dikasih ceramah tiap hari tidak masuk di kepalanya, ditangkapi tiap hari, digunduli di kantor polisi, ya keluar bandel lagi. Faktor pendidikan, faktor kesejahteraan, kenapa bukan itu difokuskan?
(mdk/fas)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Ketua DPP NasDem Ingatkan Masyarakat Pilih Pemimpin Bukan karena Penampilan Lucu
Taufik mengingatkan kepada masyarakat untuk memilih presiden dan wakil presiden berdasarkan kemampuan mengatasi permasalahan bangsa.
Baca SelengkapnyaKaesang: Politik Menjadi Satu Bagian yang Seru dan Indah
Dengan politik seseorang bisa menerapkan kebijakan baik untuk kepentingan rakyat banyak.
Baca SelengkapnyaMenggunakan Hak Pilih dalam Pemilu Sila Ke 4, Ini Penjelasannya
Pemilu merupakan penerapan nyata dari kehendak rakyat untuk menjalankan negara secara demokratis.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
JK Ungkap Penyebab Pemilu 2024 Diwarnai Protes
Demokrasi tidak berjalan sesuai yang diharapkan dan didambakan oleh rakyat.
Baca SelengkapnyaBerkali-kali Jadi Capres, Para Politikus Luar Negeri Ini Selalu Kalah dalam Pemilu, Ada yang Sampai 10 Kali
Berkali-kali Jadi Capres, Para Politikus Luar Negeri Ini Selalu Kalah dalam Pemilu, Ada yang Sampai 10 Kali
Baca Selengkapnya'Kita Harus Rayakan Demokrasi dengan Damai Kedepankan Persaudaraan'
Berdemokrasi sehat berarti mengerti jika Pemilu sarana untuk bersatu bukan bermusuhan.
Baca SelengkapnyaApa yang Dimaksud dengan Pemilu? Berikut Penjelasan Lengkapnya
Pemilu adalah landasan bagi pembentukan pemerintahan yang mewakili kehendak rakyat.
Baca SelengkapnyaSengketa Pemilu Seharusnya Dibawa ke MK, Bukan Diwacanakan ke Hak Angket
Sebaiknya MK difungsikan agar proses dari pemilu cepat selesai, legitimasi rakyat diterima dan pemerintahan bisa berjalan.
Baca SelengkapnyaSejarah Pemilu 2004: Pelaksanaan, Peserta, dan Hasil Pemilihan
Pemilu 2004 menjadi pemilihan bersejarah karena untuk pertama kalinya rakyat dapat memilih langsung presiden dan wakil presiden mereka.
Baca Selengkapnya