Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Kecurangan pemilu di TPS

Kecurangan pemilu di TPS Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar di ruang kerjanya, Selasa (9/4). (erdeka.com/imam buhori

Merdeka.com - Pemerintah dan DPR tengah menggodok beleid pemilihan umum kepala daerah. Dalam rancangan itu,pemilihan kepala daerah diusulkan digelar serentak. Bahkan, untuk menyelesaikan sengketa, DPR meminta penyelesaian kembali ke pengadilan di bawah naungan Mahkamah Konstitusi.

Padahal, Mahkamah Konstitusi satu-satunya lembaga negara yang memutuskan perselisihan hasil pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah. Selama aturan ini tidak diubah, Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar berharap DPR tidak mengamputasi kewenangannya.

“Kalau pemerintah mau memindahkan, silakan. Cuma jangan ganti rezim ganti selera. Sistem akan bagus paling tidak setelah 25 tahun, baru dievaluasi,” katanya saat menerima wawancara khusus dengan Alwan Ridha Ramdani, Islahuddin, Arbi Sumandoyo, Ahmad Baiquni, dan juru foto Imam Buhori dari merdeka.com di ruang kerjanya, Selasa (9/4). Berikut penjelasan Akil Mochtar.

Sekarang mungkin waktu terberat bagi MK karena masuk tahun politik dan Anda bekas politikus. Bagaimana Anda menetralisir stigma itu?

Sebenarnya itu isu lama, sudah tidak cocok lagi. Itu hak publik juga berpendapat seperti itu. Saya masuk di sini 2008, 2009 saya menghadapi pemilu legislatif dan sudah menyidangkan perkara-perkara pilkada. Artinya kalau mau dibicarakan independensinya, pada saat itu independensi itu dipersoalkan.

Ini sudah lima tahun, saya periode kedua di sini, cuma saya diberi amanah untuk menjadi wakil saja. Tapi kerjanya tetap sembilan hakim itu. Saya tidak mau menonjol sendiri, tidak mau mengatakan ini pekerjaan saya. Semua harus diselesaikan sembilan hakim. Karena itu, secara objektif persoalan dihadapi dan berkaitan perkara politik hasil pemilu, pemilu daerah, tidak ada masalah.

Anda awalnya dari partai?

Sejak saya mengikuti uji kelayakan dan kepatutan pertama kali di DPR, saya sudah mengatakan hari ini saya mundur jadi orang politik. Saya akan memberlakukan semua pihak sama di hadapan saya. Kalau saya berperilaku tidak netral dan memberikan prioritas pada partai tertentu, saya melanggar sumpah jabatan saya.

Bagaimana menghadapi tahun politik ini?

Menghadapi pemilu legislatif kita sudah punya sistem, kita punya panel hakim. Misalnya tiga-tiga lalu didukung oleh panitra. Kita bikin sistem penyokong, bisa 30 pegawai dalam satu panel. Itu bisa kita kerjakan.

Asumsi saya, justru pekerjaan hasil pemilu jauh lebih ringan dibanding pemilu lalu karena partainya lebih sedikit. Sekarang daftar calon 100 persen saja, artinya kalau satu daerah alokasinya tiga, maka calonnya cuma tiga masing-masing parpol. Kalau dulu 120 persen, misalnya alokasinya 3, calon sekurang-kurangnya lima. Jadi potensi berkelahinya tinggi, belum lagi dengan partai lain.

Sekarang potensi sengketanya sedikit. Perkara itu berdasarkan daerah pemilihan, jadilah nomor perkara. Dengan asumsi partai lebih sedikit, sengketa pemilunya jauh lebih ringan. Itu asumsi kita bangun. Pada 2009, sekitar 700 perkara pemilu legislatif, kita bisa selesaikan dalam 30 hari tanpa hambatan berarti. Kalau ada kurang-kurang sedikit normal saja, manusiawi.

Sekarang kita harus siapkan itu sedemikian rupa. Kita sehari-hari banyak belajar pemilukada, karakter pemilukada itu hampir sama seperti legislatif. Kecurangannya pun hampir sama, kalau pemilukada kasih duit, di pemilu legislatif pun sama. Polanya sama, maka katakanlah pemilukada ajang untuk kita menghadapi pemilu legislatif.

Bagaimana kalau pemilihan kepada daerah nanti harus digelar serentak?

Pemilukada serempak itu seperti apa, perdebatan kita dengar dan baca baru pada level politik. Apakah serentak seluruh kabupaten dan kota se-Indonesia atau serentaknya satu provinsi? Ini juga belum pasti. Ada ongkos politik harus ditanggung pemerintah dan DPR. Pemilu serentak itu yang saya dengar baru dimulai pada 2015, jadi transisional.

Mana lebih baik, penyelesaian sengketa di MA atau di MK?

Saya pada 1999 ikut menentukan Undang-undang nomor 32 tahun 2002. Kemudian dalam proses berjalan perubahan Undang-undang nomor 32 dan MK sudah ditetapkan. Maka semua penyelesaian pemilu diselesaikan ke MK dari MA.

Pertanyaanya, apakah dengan pilkada serentak, apakah pengalihan sengketa dari MK ke MA, itu akan menjamin pilkada murah, demokratis, tanpa konflik. Menurut saya tidak menyelesaikan masalah, cara pandang itu salah.

Sistem fundamental pemilu itu tidak berubah. Saya kasih contoh, dari 500 lebih sengketa pemilukada, kecurangan itu dimulai dari tingkat TPS. Coba lihat adakah dalam UU Pilkada atau legislatif ada pengawas di tingkat TPS? Tidak ada. Panwasnya hanya ada di tingkat desa, itu pun satu orang. Itulah ujung tombaknya.

Jadi bukan KPU tingkat kabupaten curang?

Persoalan muncul tidak pernah di KPU tingkat kabupaten/kota, tidak mungkin. KPU tingkat kabupaten/kota sudah pintar. Tapi persoalan muncul dari tingkat KPPS. Di KPPS itu lima orang penyelenggara plus dua hansip, itu dengan biaya negara. Apa susahnya di tiap KPPS dikasih satu pengawas, nggak bankrut negara ini. Tapi sistem itu tidak pernah diperbaiki. Padahal, itulah yang menyebabkan konflik hingga sengketa pilkada masuk ke pengadilan. Orang bunuh-bunuhan di TPS, nakalnya di TPS, orang mati namanya dimasukin, dicoblos banyak-banyak. Praktek-praktek itu yang terjadi.

Jadi soal pemindahan sengketa dari MK ke MA nanti tidak menyelesaikan masalah?

Menurut saya, soal pemindahan bukan substantif. Kalau soal itu terserah yang mau membuat undang-undang. Selagi pemilukada itu masuk rezim pemilu dan belum dicabut undang-undangnya, kita kerja. Kalau pemerintah mau memindahkan, silakan. Cuma jangan ganti rezim ganti selera.

Sistem akan bagus, paling tidak 25 tahun baru dievaluasi, tidak bisa sistem demokrasi itu instan. Ini baru berapa tahun mau dievaluasi. Biarkan sistem itu berjalan dulu 25 tahun. Kalau memang ada yang kurang setelah 25 tahun, ada evaluasi. Tidak pada posisi kerjanya tambal sulam. Ini tidak, setiap pemilu, UU Pemilu ganti, tiap pilkada ganti juga.

Jadi apa yang paling penting?

Menurut saya, evaluasi substansi harus dipikirkan oleh mereka. Saya tidak mau ngomong apapun. Saya bilang terserah saja, mau pindah monggo, tidak pindah kita laksanakan. Yang diperlukan penyelesaian sengketa pilkada di MK. Tujuan besarnya adalah kita ingin menciptakan jalan hukum dalam konteks negara hukum demokratis, bagaimana rekrutmen kepemimpinan nasional dalam konsep NKRI. Apa yang dibawa dari Jombang sana satu pandangan hukum, yang di Aceh pun, satu pandangan hukum.

Kalau diserahkan ke pengadilan negeri?

Kalau diserahkan ke daerah, ke pengadilan bawah, ini bisa beda-beda keputusan. Konflik jauh lebih mudah tersulut, akar rumput akan ketemu. Peradilan jadi tertekan. Saya bukan juru ramal, bisa saja hakimnya dibunuh atau pengadilannya dibakar.

Kita ingin sistem pemilu luber, jurdil. Demokrasi itu harus terjamin penyelenggaraannya. Untuk mendapatkan pemilu seperti itu, pers bebas hanya salah satu syarat. Tapi demokrasi dalam arti formal adalah terlaksana dan terjaminnya pelaksanaan pemilu. Ketika muncul konflik dari pemilu, harus diselesaikan dengan sebuah sistem yang sama karena kita ini NKRI. Kalau federal masa bodoh.

Tapi beban MK bisa berkurang?

Secara logika, beban berkurang. Apakah kita akan lahir dari tanggung jawab? MK itu lahir untuk mengawal konstitusi dan demokrasi. Ketika tugas itu datang, kenapa harus lari dari kenyataan, kita harus selesaikan itu. Saya katakan kalau mau pemilu serentak, tapi waktu sengketa pemilukadanya tidak diperpanjang seperti sekarang, 14 hari. Apa logika dari 14 hari itu?

Padahal, logika 14 hari itu mengikuti masa sengketa pemilu presiden. 14 hari waktu sengketa itu agar agenda ketatanegaraan tidak bergeser. Kalau masa jabatan presiden habis 22 Oktober, maka 15-16 Oktobernya anggota DPR dan MPR sudah terpilih, DPD dan DPR juga sudah dilantik. Sehingga tidak melewati kalender ketatanegaraan.

Sehingga kalau terjadi sengketa, beri waktu ketat 14 hari. Jika sampai 22 Oktober belum ada presiden Indonesia terpilih, siapa jadi presiden? Negara ini ke mana. UUD kita tidak mengatur, kecuali kalau presiden dan wakil presiden berhalangan tetap dalam satu masa jabatan, itu ada aturannya. Lalu nanti dibawa ke MPR untuk dipilih.

Kalau dua-duanya masanya habis, itu demisioner, itu tidak ada dalam konstitusi kita. Karena itu waktunya harus ketat. Maksud saya, kalau ada masa kekosongan presiden dan wakil presiden, maka yang berpotensi adalah yang punya senjata. Makanya tidak boleh kosong.

Eh, pilkada ikut 14 hari, padahal bupati yang kosong selama setahun banyak sekarang. Pejabatnya diisi. Kalau bupati, gubernurnya yang tunjuk. Kalau gubernur, menteri dalam negeri yang menunjuk, tidak ada masalah. Pemerintahan tetap jalan. Kenapa? karena itu, kasih saja waktu sengketanya satu bulan.

Pengalaman lalu bagaimana?

Pemilu legislatif ada 700 perkara, sebulan selesai kita putus. Pemilukada berapa, tidak banyak. Kita sudah ada daftarnya. Itu soal kecil kalau kita mau selesaikan. Kalau mau melakukan perubahan konsepsi itu menyeluruh. Substansi pentingnya dicari, bukan hanya memindah ke sana, bukan hanya asal serentak.

Katanya murah, oke murah secara politik. Tapi biaya sosialnya dihitung tidak? Kalau misalnya pilkadanya serentak, terjadi kerusuhan di lima provinsi akibat pilkada. Kira-kira aparat kita kuat tidak untuk melakukan pengamanan? Itu dihitung juga. Banyak orang berpikir sederhana, saya tidak mau berpikir seperti itu karena belajar dari pengalaman. Nah kalau mau dipindah perkara sengketa pilkada dan pemilu ke MA, silakan.

Kenapa sengketa pemilu itu harus dibawa ke MK?

Kalau kita berpikir dengan perspektif ilmiah, minimal 25 tahun kita evaluasi. Pak Harto membangun Orde Baru 35 tahun, itu sudah kuat, tetap runtuh juga. Padahal infrastruktur politiknya luar biasa, dengan rezim otoriter dan runtuh. Kita dengan rezim reformasi, hari ini makan tempe, besok makan tahu, maka perputaran kita jalan di tempat. Sistem jalan dulu 25 tahun, normal kok.

Seberapa berat memutuskan sengketa pemilu?

Tidak ada yang berat, tidak ada urusan sama kita. Saya batalin, saya batalin. Saya diskualifikasi pasangan calon, sudah kita lakukan. Ulang apa lagi. Tidak ada problem.

Walau pengacara atau penggugatnya teman Anda?

Oh enggak. Misalnya dengan Pak Yusril, saya tidak pernah berteman sama dia. Justru dia jadi pasangan kerja saya di komisi hukum waktu dia jadi menteri. Kalau Yusril tidak banyak memenangkan perkara pilkada jauh sebelumnya. Yusril baru main sekarang, dulu-dulu enggak. Artinya enggak ada, mau teman atau siapa saja.

Padahal pilkada pintu masuk bagi kepentingan politik orang mau cawe-cawe sama kita. Tapi nyatanya tidak. Mau pemenangnya Golkar, kalau persidangan terbukti curang, kita batalin. Suruh pemungutan suara ulang dan itu banyak. Makanya, guyonnya Pak Mahfud ke saya begini, kalau orang luar nilai saya pasti menangkan Golkar, tapi orang Golkar bilang waduh ini pengkhianat pula yang pegang, kalah kita. Kita berperkara tidak seperti itu.

(mdk/fas)
ATAU
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
Pakar Nilai Berdasarkan UU, MK Tak Berwenang Tangani Dugaan Pelanggaran TSM Pemilu

Pakar Nilai Berdasarkan UU, MK Tak Berwenang Tangani Dugaan Pelanggaran TSM Pemilu

Penanganan pelanggaran atau kecurangan secara TSM itu ranahnya ada di Bawaslu, bukan MK.

Baca Selengkapnya
‘Cari Keadilan Lewat MK, Bukan Mengerahkan Massa Turun ke Jalan’

‘Cari Keadilan Lewat MK, Bukan Mengerahkan Massa Turun ke Jalan’

Semua pihak diminta menghormati proses di MK yang sedang berjalan saat ini

Baca Selengkapnya
Pemilu 2024 Tinggal 2 Hari, Pukul Berapa TPS Mulai Dibuka? Ini Jawabannya

Pemilu 2024 Tinggal 2 Hari, Pukul Berapa TPS Mulai Dibuka? Ini Jawabannya

Sebelum TPS dibuka, Ketua KPPS akan membuka rapat pemungutan suara

Baca Selengkapnya
Kamu sudah membaca beberapa halaman,Berikut rekomendasi
video untuk kamu.
SWIPE UP
Untuk melanjutkan membaca.
Respons Putusan MK, PDIP Khawatir Kecurangan TSM Terjadi saat Pilkada Serentak 2024

Respons Putusan MK, PDIP Khawatir Kecurangan TSM Terjadi saat Pilkada Serentak 2024

Respons Putusan MK, PDIP Khawatir Kecurangan TSM Terjadi saat Pilkada Serentak 2024

Baca Selengkapnya
KPU Serahkan ke Bawaslu Jika Ada Temuan Kecurangan Pemilu

KPU Serahkan ke Bawaslu Jika Ada Temuan Kecurangan Pemilu

Banyaknya pihak yang mengawasi setiap proses pemungutan dan perhitungan suara.

Baca Selengkapnya
95 TPS di Tangerang Selatan Gelar Perhitungan Suara Ulang, 475 Kotak Suara Dihitung Lagi

95 TPS di Tangerang Selatan Gelar Perhitungan Suara Ulang, 475 Kotak Suara Dihitung Lagi

Penghitungan ulang dilakukan setelah Bawaslu menjatuhkan saksi akibat kelalaian anggota KPPS membuka kotak suara sebelum jadwal pleno rekapitulasi.

Baca Selengkapnya
Perjuangan Petugas KPPS Wanita di Sikka Susuri Jalan Berbatu & Terjal Antar Logistik Pemilu

Perjuangan Petugas KPPS Wanita di Sikka Susuri Jalan Berbatu & Terjal Antar Logistik Pemilu

Wanita petugas KPPS harus berjalan kaki sejauh empat kilometer dengan medan yang terjal untuk mendistribusikan logistik pemilu

Baca Selengkapnya
Reaksi KPU Usai Temuan Pembagian Surat Suara Lebih Awal di Taiwan

Reaksi KPU Usai Temuan Pembagian Surat Suara Lebih Awal di Taiwan

Idham berharap pengiriman surat suara dapat berjalan dengan lancar.

Baca Selengkapnya
Sengketa Pemilu Seharusnya Dibawa ke MK, Bukan Diwacanakan ke Hak Angket

Sengketa Pemilu Seharusnya Dibawa ke MK, Bukan Diwacanakan ke Hak Angket

Sebaiknya MK difungsikan agar proses dari pemilu cepat selesai, legitimasi rakyat diterima dan pemerintahan bisa berjalan.

Baca Selengkapnya