Merdeka.com - Budi, bukan nama sebenarnya, ikut tawuran bila sekolahnya, PSKD Mandiri di Jalan Slamet Riyadi, Jakarta Timur, terlibat perkelahian massal di jalanan atau di sekolah. Dia mengekor kawan-kawannya mencari musuh siswa sekolah lain di jalanan atau sekadar membalas dendam kalah tawuran sebelumnya. Bila kalah, harus siap membalas dendam pada laga berikutnya. Bila menang, harus siap menerima serangan balasan.

Apalagi kalau namanya sudah masuk daftar incaran sekolah lain. Sudah dipastikan, di dalam tas sekolahnya pasti ada celurit kecil atau sabuk berkepala gir sepeda motor. Berangkat sekolah harus bergerombol, tidak boleh sendiri-sendiri. Begitu pula ketika pulang, harus selalu waspada ketika musuh datang.

“Jadi memang tidak tenang, selalu was-was. Apalagi kalau sudah diincar, di tas harus selalu siap senjata. Kalau saya membawa gir sepeda motor, terus diikat dengan sabuk karate itu,” kata dia kepada merdeka.com, Kamis pekan lalu.

Senjata gir bergerigi itu lebih efektif digunakan saban tawuran. Tali sabuk sepanjang tiga meteran, dengan ujung gir, diputar-putar di atas kepala, lalu dibidikkan ke kepala musuh. Jangkauannya juga panjang, lebih efektif dibanding parang atau celurit. Bila ada lawan sudah memutar-mutar gir, parang dan celurit sulit melawan.

Siang itu Budi bercerita bak pendekar. Pelajar kelas tiga PSKD, ini memiliki trik-trik tawuran agar menang. Strategi dia peroleh berdasar pengalaman. Misalnya urusan senjata. Samurai sulit dibawa bila pada jam-jam biasa. Begitu juga parang. Dua senjata itu hanya dipakai bila memang keluar mencari musuh atau ada janji berkelahi. Begitu juga dengan celurit. “Paling efektif gir sepeda motor. Jangakauanya panjang, sekali kena kepala bisa langsung pecah. Senjatanya juga ringkas, bisa dimasukkan ke dalam tas,” ujar pelajar ringkih ini.

Beberapa kali dia ikut tawuran melawan sekolah lain. Terakhir pada Mei tahun lalu. Dia bersama teman sekolah bergabung dengan enam sekolah lain, di antaranya Yayasan Karya 66, sekolah Israil, dan Kartika Zeni, melawan sekolah Boedoet di Jalan Raya Matraman, Kecamatan Senen, Jakarta Pusat. Beberapa kawannya luka karena hantaman gir.

Di tengah arena memang mencekam. Kedua pihak sama-sama kesetanan, ingin menang. Sebab itu, saban pelajar terlibat harus membekali diri dengan senjata. Senjata-senjata itu sudah disiapkan dari rumah. Ada yang mengasah celurit dan parang. Setelah sampai di sekolah, semua berkumpul, lalu naik bus Patas. “Bus Patas dipilih karena muat banyak, sekali naik langsung puluhan anak masuk. Kalau ada bus Patas penuh anak-anak, itu pasti mau tawuran,” ujarnya.

Di sepanjang jalan, mereka mencari-cari pelajar dari sekolah musuh. Kalau ketemu, mereka turun, terus berkelahi di lokasi. Musim tawuran biasa terjadi usai ujian atau menjelang liburan panjang. Tapi paling sering biasanya pada bulan atau hari menjelang ulang tahun salah satu sekolah terkenal. Misalnya ulang tahun Boedoet. Seluruh sekolah di Jakarta, biasanya datang ke sana.

“Bahkan jangan salah. Meski yang ulang tahun Boedoet, tapi tawuran bisa menyebar di mana-mana, semua sekolah mencari gara-gara, mencari musuh,” dia menegaskan. Sebagai pelajar, sesungguhnya Budi bukan tidak takut mati bila sudah di tengah arena tawuran. Dia mengaku kadang ketakutan sendiri. ”Saya takut juga. Tapi kalau tidak ikut, dibilang cupu, dimarahi sama yang lain.”

Radit, pelajar Sekolah Menengah Atas Negeri 1, dan Basyar, siswa Sekolah Menengah Kejuruan Negeri di Jalan Boedi Oetomo (Boedoet). Keduanya sesungguhnya prihatin melihat akibat tawuran itu. Bila bisa memilih, mereka ingin semua pelajar di Jakarta damai. Sayang, ancaman tawuran bisa datang kapan saja. “Ya harus waspada. Apalagi sekarang ini ngeri, semua membawa senjata seperti itu,” kata Radit ketika ditemui di depan sekolahnya.