Merdeka.com - "Suaraku tak bisa berhenti bergema, di semesta raya suaraku membara walau kau terus saja coba membungkamnya, namun suaraku takan pernah bisa kau redam. Tak bisa kau redam karena kebenaran akan terus hidup. sekalipun kau lenyapkan, kebenaran takkan pernah mati. Aku akan tetap ada dan berlipat ganda, siapkan barisan dan siap tuk melawan. Aku akan tetap ada dan berlipat ganda, akan terus memburumu seperti kutukan"

Hanya satu kata : Lawan!

Sepenggal bait lagu putra penyair Wiji Thukul, Fajar Merah menjadi lagu wajib bagi Ar, perempuan korban pemerkosaan dalam mengobarkan semangat perempuan lain yang mengalami nasib mirip dirinya di luar sana.

"Setiap saya diminta menyampaikan kata-kata, maka saya akan meminta diberi kesempatan untuk menyanyikan lagu Fajar Merah saja, karena kebenaran akan terus hidup," ujarnya kepada merdeka.com di Jakarta pekan lalu.

Sulit baginya bisa kembali ke kehidupan normal. Bagaimana tidak pelaku masih satu lingkungan kampus. Lelaki bejat itu masih bebas berkeliaran, dan sering kali berpapasan dengan dirinya. Perlakuan diskriminatif masih tertanam di lingkungan sosial pendidikannya. Namun, dia punya cara sendiri dalam menghadapi itu semua.

"Saya akan sekuat-kuatnya berani menerima perasaan-perasaan yang menakutkan itu. Penerimaan. Jika masih susah, saya tulis di kertas, saya mau mengampunimu (pelaku). Begitu," kata mahasiswi semester akhir itu.

Apalagi, menurut dia, perasaan-perasaan kelam masih menghantui dalam pikirannya. Dalam keadaan sendirian, perasaan takut, sedih, malu, cemas, dan segala macamnya, masih dialami. Dia punya terapi buat dirinya sendiri. Dia memastikan dengan menggenggam semua jari jemarinya sendiri sambil merasakan deru napasnya. "Setelah tahu apa kebutuhan saya seperti apa dan membuat nyaman diri saya," ujarnya.

Semuanya didapatkan sejak membuka diri dengan lembaga konseling di Jakarta. Setelah semua terapi yang dilakukan sendiri menguras energi, dia memilih berinteraksi dengan lembaga konseling tersebut. Ternyata hal itu seperti obat ampuh bagi dirinya. "Terapi sentuhan mengganti energi negatif dengan energi positif baru," katanya riang.

Namun, menurut Ar, terapi sendiri itu menguras energi dan berdampak pada penurunan fisik secara drastis. "Saya akan pusing dan kelelahan setelah itu," ujarnya sendu.

Terkadang dia menghadirkan pelaku (pemerkosaan) di pikiran untuk dicaci atau sekadar menyampaikan atau membicarakan segala hal terkait dengan peristiwa tersebut. "Secara visualisasi saya hadirkan semuanya agar beban pikiran bisa berkurang," katanya. Dia kini pun aktif di kegiatan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) rohani kampusnya.

Lambat laun, kepercayaan dari keluarganya mulai terbit. Kedua orangtuanya mendukung kegiatan sosial perempuan dan anak yang dia jalani. Padahal sebelumnya, saban kali pikiran-pikiran negatif menghampiri isi kepalanya, semua tingkah lakunya tak bisa dikendalikan.

"Saya bisa mengurung diri, marah-marah dan banting barang, atau menangis tidak terkontrol. Waktu itu saya tidak bisa mengatasi diri saya sendiri," ujarnya.

Peristiwa Ar terjadi saat dalam lingkungan rohani. Dia sempat mengalami kekecewaan luar biasa kepada sang pencipta. Kondisi rohaninya terasa kosong. Terlintas di benaknya untuk mengganti keyakinannya. "Ibu saya mengajak saya berdoa, saya tidak mau, saya ingin mengganti rupa Tuhan yang lain," katanya.

Sampai di lembaga konseling perempuan dan anak memberikan bimbingan rohani dalam dirinya. Salah satu konselor mengarahkan kembali tentang pentingnya berserah diri kepada sang khalik bagi umatnya yang percaya.

"Saya tahu setiap udara yang berhasil saya hirup adalah karena kehadirannya. Saya percaya Tuhan sedih saat saya tidak bahagia. Saya tahu, doa yang saya sampaikan dipeluknya," ujarnya bersemangat.