Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

WHO Luncurkan Uji Coba Global, Ini Empat Obat Perawatan Virus Corona yang Digunakan

WHO Luncurkan Uji Coba Global, Ini Empat Obat Perawatan Virus Corona yang Digunakan Direktur WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus. ©2020 REUTERS/Denis Balibouse

Merdeka.com - WHO yang terus berpacu dengan cepatnya penyebaran corona memutuskan untuk meluncurkan uji coba global, dan pada tanggal 27 Maret 2020, lebih dari 70 negara menyetujui untuk berpartisipasi. Semakin besar jumlah negara yang berpartisipasi, semakin cepat hasilnya akan didapatkan.

Tekanan COVID-19 pada sistem kesehatan menyebabkan WHO mempertimbangkan perlunya kecepatan dan skala dalam uji coba. Sementara uji klinis acak biasanya membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk merancang dan melakukannya, namun uji coba ini akan mengurangi waktu yang dibutuhkan sebanyak 80%.

Uji coba besar ini bernama Solidarity, uji klinis internasional untuk membantu menemukan pengobatan yang efektif untuk COVID-19, yang diluncurkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia dan para mitra.

Uji Coba Solidarity

Uji coba Solidarity akan membandingkan empat opsi perawatan dengan standar perawatan, untuk menilai efektivitas relatif mereka terhadap COVID-19.

Dengan mendaftarkan pasien di banyak negara, uji coba Solidarity bertujuan untuk dengan cepat menemukan apakah ada obat yang memperlambat perkembangan penyakit atau meningkatkan kelangsungan hidup. Obat-obatan lain dapat ditambahkan berdasarkan bukti yang muncul.

Dengan sekitar 15% pasien COVID-19 yang menderita penyakit parah serta menyebabkan rumah sakit kewalahan, perawatan seperti ini sangat dibutuhkan.

proses mengurus jenazah korban covid 19

KENZO TRIBOUILLARD/AFP

Sehingga, alih-alih membuat senyawa dari awal yang mungkin membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk dikembangkan dan diuji, para peneliti dan lembaga kesehatan masyarakat memutuskan untuk menggunakan kembali obat-obatan yang telah disetujui untuk penyakit lain dan diketahui sebagian besar aman.

Obat-obatan yang memperlambat atau membunuh novel coronavirus, yang disebut sindrom pernapasan akut akut virus corona 2 (SARS-CoV-2), dapat menyelamatkan nyawa pasien yang sakit parah, tetapi mungkin juga diberikan secara profilaksis untuk melindungi petugas kesehatan dan orang lain dengan risiko tinggi infeksi.

Para ilmuwan telah menyarankan lusinan senyawa yang ada untuk pengujian, tetapi WHO berfokus pada apa yang dikatakannya, yaitu empat terapi yang paling menjanjikan, senyawa antivirus eksperimental yang disebut remdesivir, obat malaria chloroquine dan hydroxychloroquine, kombinasi dua obat HIV, lopinavir dan ritonavir, dan kombinasi yang sama plus interferon-beta, messenger sistem kekebalan yang dapat membantu melumpuhkan virus. Daftar obat yang diuji pertama kali ini disusun untuk WHO oleh panel ilmuwan yang telah menilai bukti untuk terapi kandidat sejak Januari, kata Heneo-Restrepo.

Kelompok obat terpilih yang memiliki kemungkinan tertinggi untuk bekerja, memiliki data paling aman dari penggunaan sebelumnya, dan kemungkinan akan tersedia dalam persediaan yang cukup untuk mengobati sejumlah besar pasien jika uji coba menunjukkan mereka bekerja.

Berikut adalah perawatan yang akan diuji oleh SOLIDARITY dilansir dari Science Magazine:

Remdesivir

Virus corona baru memberi senyawa ini kesempatan kedua untuk bersinar.Awalnya dikembangkan oleh Gilead Sciences untuk memerangi Ebola dan virus terkait, remdesivir menghentikan replikasi virus dengan menghambat enzim viral utama, RNA polimerase yang bergantung pada RNA.

Para peneliti menguji remdesivir tahun lalu selama wabah Ebola di Republik Demokratik Kongo, bersama dengan tiga perawatan lainnya.

Hal itutidak menunjukkan efek apa punpada Ebola.Tetapi enzim yang ditargetkan mirip dengan virus lain, pada tahun 2017, para peneliti di University of North Carolina, Chapel Hill, menunjukkan dalam penelitian tabung dan penelitian pada hewan bahwa obat itu,dapat menghambat virus corona yang menyebabkan SARS dan MERS.

Pasien COVID-19 pertama yang didiagnosis di Amerika Serikat, seorang pria muda di daerah Snohomish di Washington, diberikan remdesivir ketika kondisinya memburuk,ia membaik pada hari berikutnya.

Menurut laporan kasus di The New England Journal of Medicine (NEJM),seorang pasien California yang menerima remdesivir, dan yang menurut dokter mungkin tidak selamat, keadaannya menjadi pulih juga.

Bukti seperti itu dari masing-masing kasus tidak membuktikan bahwa obat itu aman dan efektif. Namun, dari obat-obatan dalam uji coba SOLIDARITY, remdesivir memiliki potensi terbaik untuk digunakan di klinik kata Jiang Shibo dari Universitas Fudan, yang telah lama bekerja pada terapi virus corona.

"Jiang terutama suka bahwa obat dosis tinggi ini kemungkinan dapat diberikan tanpa menyebabkan keracunan. Namun, mungkin jauh lebih kuat jika diberikan pada awal infeksi, seperti kebanyakan obat lain," kata Stanley Perlman, seorang peneliti virus corona di University of Iowa.

"Apa yang benar-benar ingin Anda lakukan adalah memberikan obat seperti itu kepada orang-orang yang berjalan dengan gejala ringan. Dan Anda tidak dapat melakukan itu karena itu adalah obat (intravena), mahal dan 85 dari 100 orang tidak membutuhkannya," jelasnya.

Chloroquine dan Hydroxychloroquine

Pada sebuah konferensi pers, Presiden Donald Trump menyebut chloroquine dan hydroxychloroquine sebagai "game changer."

"Saya merasa senang tentang hal itu," kata Trump. Pernyataannya telah menyebabkan desakan permintaan akan antimalaria yang telah berusia puluhan tahun.

Panel ilmiah WHO yang merancang Solidarity pada awalnya memutuskan untuk meninggalkan duo obat ini dari persidangan, tetapi berubah pikiran pada pertemuan di Jenewa pada 13 Maret karena obat-obatan itu mendapat perhatian signifikan di banyak negara, menurut laporandari kelompok kerja WHO yang melihat adanya potensi pada obat tersebut. Ketertarikan yang menyebar luas mendorong "kebutuhan untuk memeriksa bukti yang muncul untuk menginformasikan keputusan tentang peran potensial."

Data yang tersedia cukup tipis.Obat-obatan ini bekerja dengan mengurangi keasaman dalam endosom, kompartemen di dalam sel yang mereka gunakan untuk menelan bahan luar dan beberapa virus dapat masuk ke dalam sel. Tetapi pintu masuk utama untuk SARS-CoV-2 ini berbeda, ia menggunakan protein lonjakan (protein spike) yang disebutnya untuk menempel pada reseptor pada permukaan sel manusia.

Penelitian dalam kultur sel menunjukkan bahwa klorokuin memiliki aktivitas melawan SARS-CoV-2, tetapi dosis yang dibutuhkan biasanya tinggi, dan dapat menyebabkan toksisitas serius. Mendorong hasil studi sel dengan klorokuin terhadap dua penyakit virus lainnya, demam berdarah dan chikungunya, tidak berhasil pada orang dalam uji klinis acak.

Dan primata bukan manusia yang terinfeksi chikungunya mendapatkan efek yang lebih buruk ketika diberikan klorokuin. Para peneliti telah mencoba obat ini dari virus ke virus, dan itu tidak pernah berhasil pada manusia.Dosis yang dibutuhkan terlalu tinggi, kata Susanne Herold, seorang ahli infeksi paru di University of Giessen.

Peneliti China yang melaporkan merawat lebih dari 100 pasien chloroquine menggembor-gemorkan manfaatnya dalam jurnal di BioScience, tetapi data yang mendasari klaim tersebut belum dipublikasikan.

Secara keseluruhan, lebih dari 20 studi COVID-19 di China menggunakan klorokuin atau hidroksi klorokuin. WHO sedang terlibat dengan rekan-rekan Cina di misi di Jenewa dan telah menerima jaminan peningkatan kolaborasi. Namun, tidak ada data yang dibagikan mengenai studi klorokuin.

Para peneliti di Perancis telah menerbitkan sebuah studi di mana mereka merawat 20 pasien COVID-19 dengan hydroxychloroquine. Mereka menyimpulkan bahwa obat ini secara signifikan mengurangi viral load pada usap hidung.

Tapi itu bukan uji coba terkontrol secara acak dan tidak melaporkan hasil klinis seperti kematian. Dalam panduan yang diterbitkan, Perhimpunan Kedokteran Perawatan Kritis AS mengatakan tidak ada bukti yang cukup untuk mengeluarkan rekomendasi tentang penggunaan klorokuin atau hidroksi klorokuin pada orang dewasa yang sakit kritis dengan COVID-19.

Hydroxychloroquine, khususnya, mungkin lebih berbahaya daripada manfaatnya. Obat ini memiliki berbagai efek samping dan dalam kasus yang jarang dapat membahayakan jantung.

Karena orang-orang dengan kondisi jantung berisiko lebih tinggi terkena COVID-19 yang parah, itulah yang menjadi perhatian, kata David Smith, seorang dokter penyakit menular di University of California, San Diego.

"Ini adalah sinyal peringatan, tetapi kita masih perlu melakukan uji coba. Terlebih lagi, terburu-buru menggunakan obat untuk COVID-19 mungkin mempersulit orang yang membutuhkannya untuk mengobati rheumatoid arthritis atau malaria mereka," katanya.

Ritonavir/lopinavir

Obat kombinasi ini, dijual dengan nama merek Kaletra, disetujui di Amerika Serikat pada tahun 2000 untuk mengobati infeksi HIV. Abbott Laboratories mengembangkan lopinavir secara khusus untuk menghambat protease HIV, enzim penting yang memecah rantai protein panjang menjadi peptida selama perakitan virus baru.

Karena lopinavir dengan cepat dipecah dalam tubuh manusia oleh protease kita sendiri, ia diberikan dengan ritonavir tingkat rendah, penghambat protease lain, yang memungkinkan lopinavir bertahan lebih lama.

ilustrasi obat obatan

Ilustrasi 2012 Merdeka.com

Kombinasi ini dapat menghambat protease dari virus lain juga, khususnya virus corona. Obat ini telah menunjukkan kemanjuran pada marmoset yang terinfeksi virus MERS,dan juga telah diuji pada pasien SARS dan MERS, meskipun hasil dari uji coba tersebut bersifat ambigu.

Namun, uji coba pertama dengan COVD-19 tidak menggembirakan.Dokter di Wuhan, Cina, memberi 199 pasien dua pil lopinavir/ ritonavir dua kali sehari plus perawatan standar, atau perawatan standar saja.

Tidak ada perbedaan signifikan antara kelompok, mereka melaporkan di NEJM pada 15 Maret. Tetapi penulis mengingatkan bahwa kondisi pasien sudah sangat sakit, lebih dari seperlima dari mereka meninggal, sehingga pengobatan mungkin diberikan terlambat untuk membantu.

Walaupun umumnya aman, obat ini dapat berinteraksi dengan obat yang biasanya diberikan kepada pasien yang sakit parah, dan dokter telah memperingatkan obat itu dapat menyebabkan kerusakan hati yang signifikan.

Ritonavir/lopinavir dan Interferon-beta

SOLIDARITY juga akan memiliki kekuatan yang menggabungkan dua antivirus dengan interferon-beta, sebuah molekul yang terlibat dalam mengatur peradangan dalam tubuh yang juga menunjukkan efek pada marmoset yang terinfeksi MERS.

Kombinasi ketiga obat tersebut sekarang sedang diuji pada pasien MERS di Arab Saudidalam uji coba terkontrol acak pertama untuk penyakit itu.

Tetapi penggunaan interferon-beta pada pasien dengan COVID-19 yang parah mungkin berisiko, kata Herold. "Jika diberikan terlambat pada penyakit, penyakit ini dapat dengan mudah menyebabkan kerusakan jaringan yang lebih buruk daripada membantu pasien," ujarnya mengingatkan.

(mdk/amd)
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
Daftar 9 Varian yang Mendominasi Kasus Covid-19 Dunia Menurut WHO
Daftar 9 Varian yang Mendominasi Kasus Covid-19 Dunia Menurut WHO

WHO saat ini memonitor berbagai varian yang banyak ditemui.

Baca Selengkapnya
Penyebab Selesma dan Gejalanya yang Perlu Diwaspadai, Kenali Cara Mencegahnya
Penyebab Selesma dan Gejalanya yang Perlu Diwaspadai, Kenali Cara Mencegahnya

Selesma adalah infeksi virus yang menyerang saluran pernapasan bagian atas, seperti hidung dan tenggorokan.

Baca Selengkapnya
Kasus Covid-19 Muncul lagi, Sekda Jateng Sebut yang Terpapar Karena Belum Booster
Kasus Covid-19 Muncul lagi, Sekda Jateng Sebut yang Terpapar Karena Belum Booster

Terkait mobilisasi orang yang banyak berpotensi terjadi pada liburan Natal dan Tahun Baru, pemerintah belum mengeluarkan kebijakan pembatasan perjalanan.

Baca Selengkapnya
Kamu sudah membaca beberapa halaman,Berikut rekomendasi
video untuk kamu.
SWIPE UP
Untuk melanjutkan membaca.
Kasus Covid-19 Kembali Muncul di Solo
Kasus Covid-19 Kembali Muncul di Solo

Meskipun Covid-19 yang muncul saat ini sudah tidak berbahaya seperti dulu.

Baca Selengkapnya
Kemenkes Temukan Kasus Covid-19 Varian JN.1 di Jakarta dan Batam
Kemenkes Temukan Kasus Covid-19 Varian JN.1 di Jakarta dan Batam

Covid-19 varian JN.1 dilaporkan berkaitan erat dengan varian BA.2.86 dan dikhawatirkan dapat mempengaruhi pola penularan dan tingkat keparahan penyakit.

Baca Selengkapnya
Mengenal JN.1, Varian Baru Pemicu Lonjakan Covid-19 di Singapura
Mengenal JN.1, Varian Baru Pemicu Lonjakan Covid-19 di Singapura

Varian JN.1 merupakan pemicu lonjakan Covid-19 di Singapura.

Baca Selengkapnya
Jokowi ke Menkes soal Kasus Covid-19: Amati Betul Secara Detail Perkembangannya Seperti Apa
Jokowi ke Menkes soal Kasus Covid-19: Amati Betul Secara Detail Perkembangannya Seperti Apa

Informasi Jokowi terima dari Menkes, kasus Covid-19 masih dalam kondisi yang baik meski memang ada kenaikan.

Baca Selengkapnya
Antisipasi Covid-19 dan Pneumonia, 5 Pendeteksi Suhu Tubuh Dipasang di Bandara I Gusti Ngurah Rai
Antisipasi Covid-19 dan Pneumonia, 5 Pendeteksi Suhu Tubuh Dipasang di Bandara I Gusti Ngurah Rai

Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai mengantisipasi lonjakan Covid-19 dan temuan mycoplasma pneumonia di luar negeri.

Baca Selengkapnya
Bagaimana Seseorang Bisa Sembuh dari HIV?
Bagaimana Seseorang Bisa Sembuh dari HIV?

Sebagian besar orang meyakini bahwa HIV adalah penyakit yang tidak dapat diobati. Yuk, cek kebenarannya!

Baca Selengkapnya