Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Ustaz di Bantul Perkosa Dua Santri, Pengamat: Kejahatan Ini Tak Bisa Ditolerir

Ustaz di Bantul Perkosa Dua Santri, Pengamat: Kejahatan Ini Tak Bisa Ditolerir Ilustrasi Pelecehan Seksual Anak. ©2014 Merdeka.com

Merdeka.com - Seorang ustaz di pondok pesantren (ponpes) di Desa Trirenggo, Kecamatan/Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dilaporkan ke Polres setempat karena memperkosa dua santri laki-lakinya. Pria berinisial EK (22) itu tercatat sebagai mahasiswa di salah satu perguruan tinggi swasta di Yogyakarta. Ia merupakan ustaz pengasuh kedua korban di asrama ponpes.

Kejahatan pelaku diketahui setelah salah satu korban, Putra (bukan nama sebenarnya) menceritakan apa yang dialaminya kepada pihak keluarga. Dari cerita korban, diketahui bahwa tidak hanya sekali pelaku melakukan tindak asusila terhadap anak-anak di bawah umur yang merupakan santri asuhnya sendiri.

“Itu bukan ustaz pengajar hlo. Ustaz pembimbing (bertugas menjaga asrama santri), jadi kan orang dekat juga,” tutur Nono Karsono dari Yayasan SAMIN yang turut mengawal kasus kekerasan seksual yang menimpa Putra, melalui sambungan telepon, Rabu (23/6/2021).

Korban Menangis Ketakutan

Terbongkarnya kejahatan pelaku bermula saat korban Putra (15) menelepon omnya, Deni Arifin, pada Jumat (18/6/2021) pagi. Dalam sambungan telepon itu, Putra dengan suara ketakutan meminta yang bersangkutan untuk menjemputnya di ponpes hari itu juga.

Sebelumnya, korban juga sempat menelepon ibu dan neneknya. Kepada sang ibu, korban Putra mengatakan hal yang sama, yakni minta dijemput. Ibu korban kemudian menelepon Deni yang tinggal di Yogyakarta dan menceritakan permintaan buah hatinya itu.

Deni yang sebelumnya mengaku baru bisa menjemput korban pada Sabtu (19/6/2021) keesokan harinya memutuskan pergi ke ponpes hari itu juga. Ia merasa ada yang janggal dengan suara korban di telepon dan akan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Deni pergi ke ponpes bersama Rani Kristiani.

Sesampainya di ponpes, Deni dan Rani kaget mendapati Putra menangis dan tampak ketakutan. Ia turun dari asramanya di lantai atas dengan membawa barang-barang miliknya. Ketika ditanya Deni dan Rani, korban meminta keduanya untuk segera membawanya pulang dan akan menceritakan apa yang terjadi begitu mereka sampai di rumah.

"Putra memutuskan telepon kita pakai hp-nya ibu dapur yang memasak, secara sembunyi-sembunyi, itu karena Radit bercerita sama Putra kalau ustaz itu melakukan pelecehan seksual kepadanya. Itu tanggal 17 Juni malam, tanggal 18 Juni pagi Putra menelepon. Setelah berkonsultasi dengan orang tua Putra, saya dan Mas Deni nekat menjemput. Akhirnya Putra bisa kami bawa pulang, terus dia cerita itu," ungkap Rani Kristiani, keluarga Putra.

Pelaku Sempat Cegah Korban Pulang

ilustrasi perkosaan pelecehan seksual pencabulan

©©2012 Merdeka.com/Shutterstock

Rani kemudian mencari wali kelas Putra untuk menanyakan prosedur penjemputan santri. Ia ditemui seorang ustaz EK yang tak lain ialah pelaku. Kepada Rani, pelaku mengatakan bahwasanya Putra ingin pulang karena kangen dengan keluarga.

Meski demikian, ustaz EK sempat mencegah korban agar tidak dibawa pulang. Namun, Deni, om korban bersikeras membawa keponakannya pulang karena merasa ada yang janggal.

Deni kemudian menemui kepala sekolah untuk meminta izin membawa korban pulang.

“Akhirnya diperbolehkan pulang tetapi korban seperti diintimidasi untuk tidak bercerita tentang kejadian yang dialami dengan alasan nanti orang tua korban shock,” terang Nono melalui pesan WhatsApp yang diterima Merdeka, Kamis (24/6/2021).

Modus Pelaku

Sesampainya di rumah, Deni dan Rani menanyakan kepada korban mengenai apa yang sebenarnya terjadi. Korban pun menceritakan detail kekerasan seksual yang dialaminya.

Kejadian pertama berlangsung pada malam pergantian tahun 2020 menuju 2021. Pelaku mengajak Putra ke kamarnya untuk bermain gim. Keduanya juga sempat makan malam bersama santri lain. Selanjutnya, sekitar pukul 23.00 WIB, pelaku memaksa korban membuka celananya. Pelaku kemudian melakukan oral seks pada penis korban.

“Korban berusaha menolak tetapi dipaksa dan karena ketakutan serta kalah tenaga terjadilah kejahatan,” lanjut Nono.

Kejadian kedua dan ketiga berlangsung pada Januari 2021. Saat kejadian kedua, korban diajak masuk kamar dengan alasan pelaku minta tolong dikerokin. Kejahatan yang sama terulang dengan disertai pemaksaan.

“Yang ketiga itu saya lupa disuruh apa, tapi terus digituin lagi (oral seks). Habis itu saya mulai benci ustaznya. Benci, benci,” tutur Putra melalui rekaman suara yang diterima Merdeka.

Ia juga mengaku, pada lain kesempatan mengalami kekerasan fisik dari pelaku EK. “Iya ditampar, seinget saya banyak, seingat saya setiap saya ngomong ditampar,” lanjutnya.

Pelaku EK membenarkan dirinya telah melakukan pemerkosaan kepada Putra dan Radit. "Tapi bisa ditanyakan apakah itu sepenuhnya salah saya," ujar EK saat ditemui keluarga korban di ponpes, Jumat (18/6) malam. 

Pada kesempatan yang sama, seorang pejabat struktural di ponpes yang menjadi TKP kekerasan seksual meminta supaya masalah tersebut diselesaikan secara kekeluargaan.

"Gini aja, tadi kan ustaz (pelaku) sudah mengakui itu. Masalah itu tetap masalah dengan orang tua dari Putra. Jadi kami akan bertemu kembali dengan ibu/bapak Putra. Artinya yang kami harapkan kekeluargaan, yang tidak sampai ke ranah hukum. Kami menjaga nama baik pondok juga," tutur Muhadjir, mudir ponpes kepada om dari korban Putra.

Diduga Masih Ada Korban Lain

pernyataan deputi perlindungan khusus anak kemen pppa terkait pencegahan kekerasan anak di institusi pendidikan berbasis agama

©2021 Merdeka.com/Dok. Nono Karsono

Selain Putra, ada satu korban lain bernama Radit (bukan nama sebenarnya) yang mengaku mengalami kekerasan seksual oleh ustaz EK. Pelaku melancarkan aksi bejatnya kepada Radit pada Rabu (16/6/2021) malam.

"Setelah salat Isya saya datang ke kamar, masuk. Diajak makan dan segala macemnya, main laptop sampai jam 10 lewat. Habis itu saya disuruh naik kasurnya, disuruh tidur duluan. Pasa jam 11 lewat, saya bangun nggak bisa tidur. Terus tiba-tiba ustaz menarik baju saya, nggak tahu tiba-tiba dia bangun. Habis itu dia tiba-tiba maksa saya buat buka celana gitu. Dia mainin kemaluan, lama banget menurut saya itu sampai jam 12 lewat. Udah selesai, saya disuruh tidur. Saya pura-pura tidur," ungkap Radit, melalui rekaman suara yang diterima Merdeka, Kamis (24/6) sore.

Keesokan harinya, Kamis (17/6), Putra dan Radit (15) janjian di toilet untuk saling bercerita mengenai apa yang dialami masing-masing. Rupanya, keduanya menjadi korban kekerasan seksual dengan pola sama oleh ustaz EK.

Mendapati kenyataan bahwa tak hanya dirinya yang menjadi korban, Putra yang sebelumnya takut menceritakan hal ini kepada orang lain akhirnya berani buka suara kepada omnya. Sebelumnya, ia takut untuk menceritakan apa yang dialaminya kepada orang lain lantaran takut akan dicap sebagai pembohong.

Pendampingan Korban

Kasus kekerasan seksual di lingkungan institusi pendidikan berbasis keagamaan ini muncul di tengah upaya Pemkab Bantul menjadikan wilayahnya sebagai Kabupaten Layak Anak (KLA). Salah satu instrumen KLA ialah minimal ada tiga sekolah ramah anak pada setiap kecamatan. Di tingkat desa juga ada indikator yang menunjukkan desa bersangkutan ramah anak.

Hingga kini, belum semua indikator tersebut terpenuhi. Kasus kekerasan seksual di sebuah ponpes di Bantul itu menjadi tamparan keras.

“Lagi berproses menuju ke sana ada kejadian pelecehan seksual kepada santri yang dilakukan ustaz pembimbingnya. Ini kalau dilihat dari Undang-undang Perlindungan Anak kan tidak ada toleransi kalau dengan anak,” ungkap Nono Karsono.

Senada, Arif Saifudin Yudhistira, pendidik sekaligus penulis buku Momong: Seni Mendidik Anak (Perisai Pena, 2021) mengungkapkan, kasus pelecehan apapun apalagi di bawah umur adalah tindak kejahatan yang tidak bisa ditolerir.

“Pelaku dan keluarga korban sering mengatasinya dengan damai. Tapi bisakah kita memposisikan diri sebagai korban yang traumanya tidak bisa kita sembuhkan?” ujar Ketua Sarekat Taman Pustaka Muhamadiyah Rumpun Komunitas itu melalui pesan WhatsApp, Kamis (24/6).

Lebih lanjut, Nono mengungkapkan perlunya kerja bersama antarelemen baik pemerintahan maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang fokus pada upaya perlindungan anak untuk memastikan kehadiran negara dalam kasus pelecehan seksual yang menimpa anak-anak.

“Setelah mendapat informasi dari keluarga korban, saya berkoordinasi dengan UPT Dinas Sosial yang menangani kekerasan terhadap anak dan perempuan, juga dengan Satgas Perlindungan Anak Kabupaten Bantul, serta konselor untuk mendampingi korban,” imbuh Nono.

Konselor inilah yang akan mendampingi korban dalam upayanya sembuh dari trauma. Catatan traumatik korban, lanjut Nono, bisa menjadi salah satu alat bukti hukum untuk memperkarakan tindakan asusila ustaz EK. Selain itu, keluarga korban juga akan mendapat pendampingan untuk proses hukum dan rehabilitasi.

Intervensi Ponpes

002 ovan zaihnudin

©2016 Merdeka.com

Menurut Arif, pelecehan dan/atau kekerasan seksual bisa terjadi di institusi pendidikan berbasis agama lantaran adanya sikap mengagungkan lembaga agama.

“Tindakan ini terjadi di institusi berbasis agama karena kerap terjadi pengagungan lembaga agama sebagai yang sakral seolah tidak tersentuh dosa. Sehingga pelaku dengan mudah memanfaatkan ini sebagai jalan untuk melancarkan aksinya. Ini membuat kasus kejahatan seksual makin tinggi di lingkungan yang notabene religius,” ungkap pengasuh SD MBS Yogyakarta itu.

Lebih lanjut, Nono yang juga aktif di Satgas Perlindungan Perempuan dan Anak Kota Yogyakarta menceritakan, dalam perjalanan mengawal kasus kekerasan seksual oleh oknum ustaz di ponpes Bantul itu, muncul intervensi dari institusi yang bersangkutan.

“Muncul intervensi pesantren kepada para orang tua wali. Para orang tua ini akhirnya melakukan bullying kepada orang tua si korban. Lalu orang tua si korban mengalami perubahan perilaku, yang tadinya mau maju ini sebagai kasus hukum, jadi menjudge anaknya,” ujarnya.

Rani Kristiani mewakili pihak keluarga korban Putra menuturkan bahwa orang tua korban tetap bersikukuh membawa kasus ini ke ranah hukum. "Ibunya Putra nggak pernah ragu. Cuma kemarin sempat down karena di-bully di grup WA ponpes. Ibunya juga langsung dikeluarkan dari grup ponpes," jelas Rani melalui pesan WhatsApp, Kamis (24/6) sore. 

Bahkan, lebih lanjut Rani menceritakan ada dugaan akun WhatsApp (WA) milik ibu Putra diretas. Hal itu diketahui karena ada perbedaan tampilan percakapan grup WA ponpes di ponsel milik ibu Putra dengan di ponsel para orang tua wali santri lainnya. 

"Seolah ibunya Putra ngirim pesan di grup. Tapi waktu kami cek, pesan itu sudah dihapus. Padahal ibu Putra tidak melakukannya," imbuh Rani.

Sementara itu, Arif mengungkapkan penting bagi institusi pendidikan berbasis agama untuk membuka diri, alih-alih menutup-nutupi kasus pelecehan seksual yang terjadi di institusinya.

“Lingkungan pondok harus membuka diri dan berhubungan dengan instansi masyarakat sekitar. Ini penting agar setiap masalah internal yang bersangkutan dengan siswa apalagi kekerasan seksual bisa ditangani secara adil dan tidak tertutup. Jangan sampai hanya karena mementingkan citra lembaga islaminya atau lembaga religiusnya kita jadi mentolerir kekerasan seksual,” terang Alumnus Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) itu.

Sementara itu, menjadi rahasia umum bahwasanya orang tua dalam masyarakat pada umumnya masih memandang kejadian-kejadian kekerasan seksual sebagai sesuatu yang tabu.

“Maka perlu kerja bareng untuk menyosialisasikan kalau korbannya anak itu nggak bisa ditawar. Ini yang ngaku baru dua orang, yang lainnya mungkin ada. Model kekerasan seksual seperti ini kan efek dominonya besar,” imbuh Nono.

Ia berharap kasus ini diproses secara hukum dan pelaku mendapat hukuman seadil-adilnya. Harapannya, pesantren akan bertanggung jawab terhadap oknum ustaz yang menjadi pelaku kekerasan seksual kepada santri. Selain itu, ia juga berharap pihak kampus memberi sanksi tegas dengan mengeluarkan pelaku.

Sementara itu, sampai berita ini dirilis, belum ada respons lanjutan dari ponpes yang bersangkutan. Merdeka telah menghubungi kontak resmi institusi hingga berkirim pesan kepada dua ustaz yang tak lain ialah pengurus ponpes.

Masa Depan Korban

Selanjutnya, yang perlu menjadi perhatian khusus ialah masa depan korban anak-anak. Dengan menjadi korban pelecehan dan/atau kekerasan seksual menimbulkan catatan psikologis tersendiri. Proses rehabilitasi korban bisa berlangsung cukup lama akibat traumatik yang dialaminya.

“Kami khawatir kalo korban tidak direhab bisa jadi pelaku ke depannya. Banyak pelaku kekerasan seksual yang dulunya korban,” ungkap Nono.

Lebih jauh, Nono mengungkapkan bahwa pendidikan seksualitas perlu diberikan kepada anak-anak. Dimulai dari di rumah yakni kaitannya dengan pola asuh, lalu di lingkungan, dan di sekolah.

“Ini Indonesia yang belum kuat, belum ada, karena tantangannya kalau ngomongin pendidikan seksualitas pasti ketabuan, tidak sesuai agama. Padahal kita tidak ngomongin dan tidak menunjukkan alat reproduksi. Enggak. Tapi nilai-nilai yang kita bangun supaya ada pemahaman, kemudian ada pencegahan,” tandasnya.

(mdk/rka)
ATAU
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
Pria di Palembang Gantung Diri Karena Ditinggal Anak Istri, Tulis Wasiat Menyentuh Hati

Pria di Palembang Gantung Diri Karena Ditinggal Anak Istri, Tulis Wasiat Menyentuh Hati

Pria di Palembang Gantung Diri Karena Ditinggal Anak Istri, Tulis Wasiat Menyentuh Hati

Baca Selengkapnya
Peristiwa Aneh Sebelum Ibu Bunuh Anak Kandung di Bekasi

Peristiwa Aneh Sebelum Ibu Bunuh Anak Kandung di Bekasi

Bocah tak berdosa itu tewas di tangan ibu kandungnya yang berinisial SNF (26) pada Kamis (7/3) pagi.

Baca Selengkapnya
Keji! Bapak Anak Pemilik Ponpes di Trenggalek Tega Cabuli Belasan Santrinya

Keji! Bapak Anak Pemilik Ponpes di Trenggalek Tega Cabuli Belasan Santrinya

Pelaku adalah M (72) selalu pemilik pondok pesantren dan F (37) anaknya. Saat diminta keterangan, bapak-anak itu mengakui perbuatannya.

Baca Selengkapnya
Kamu sudah membaca beberapa halaman,Berikut rekomendasi
video untuk kamu.
SWIPE UP
Untuk melanjutkan membaca.
Kondisi 12 Korban Tewas Kecelakaan Maut Tol Japek KM 58 Alami Luka Bakar 90-100%

Kondisi 12 Korban Tewas Kecelakaan Maut Tol Japek KM 58 Alami Luka Bakar 90-100%

"Kondisi luka bakar jenazah 90-100 persen, dalam kondisi hangus,” kata Kabid Dokkes Polda Jawa Barat Kombes Nariyan

Baca Selengkapnya
Santri Bakar Ponpes di Siak karena Sakit Hati Karena Sering Dibully Ditangkap, Bersikukuh Tak Melakukan

Santri Bakar Ponpes di Siak karena Sakit Hati Karena Sering Dibully Ditangkap, Bersikukuh Tak Melakukan

serangkaian pemeriksaan yang dilakukan terhadap pelaku, saksi dan ahli, E merupakan pelaku tunggal melakukan perbuatan itu.

Baca Selengkapnya
Keji! Santri di Parepare Dianiaya Guru, Bagian Punggungnya Disetrika

Keji! Santri di Parepare Dianiaya Guru, Bagian Punggungnya Disetrika

Korban yang berusia 13 tahun sedang menjalani perawatan. Kasus terungkap setelah orang tua korban membuat laporan.

Baca Selengkapnya
Begini Keseharian KRA, Mahasiswi Cantik Korban Pembunuhan di Depok

Begini Keseharian KRA, Mahasiswi Cantik Korban Pembunuhan di Depok

Setiap berangkat kuliah, kakeknya selalu mengantar dan menjemput kalau sudah selesai.

Baca Selengkapnya
Diremehkan Mantan Suami & Diganggu Preman, Janda Cantik 2 Anak Nekat Jualan Bakso Gerobak Kini Omzetnya Rp100 Juta

Diremehkan Mantan Suami & Diganggu Preman, Janda Cantik 2 Anak Nekat Jualan Bakso Gerobak Kini Omzetnya Rp100 Juta

Sempat kerja di Bandara Soekarno-Hatta selama dua tahun, Opi memutuskan buat banting setir berjualan bakso ikan dengan gerobak.

Baca Selengkapnya
Kebakaran Ponpes Al Washilah Lemo Polman Renggut Korban Jiwa, 2 Santri Meninggal Dunia

Kebakaran Ponpes Al Washilah Lemo Polman Renggut Korban Jiwa, 2 Santri Meninggal Dunia

Kebakaran Pondok Pesantren (ponpes) Al Wasilah Lemo, Polewali Mandar, merenggut korban jiwa. Dua santri meninggal dunia akibat mengalami luka bakar parah.

Baca Selengkapnya