Merdeka.com - Masyarakat Jawa yang masih kental adatnya punya pantangan menggelar hajatan sewaktu Bulan Suro. Mereka percaya bila pantangan ini dilanggar, maka pasangan pengantin yang menggelar pesta pernikahan ini akan mendapat malapetaka.

Keberadaan mitos ini ditanggapi oleh budayawan asal Banyumas Ahmad Tohari. Ia meminta seluruh lapisan masyarakat untuk menghormati orang-orang yang memercayai mitos itu.

“Menurut saya, larangan itu harus dihormati. Namanya kepercayaan itu kan hak semua orang untuk meyakini sesuatu. Jadi harus kita hargai,” kata Ahmad Tohari dikutip dari ANTARA pada Senin (1/8).

Lalu seperti apa pernyataan Ahmad Tohari perihal larangan itu? Berikut selengkapnya:

Tidak Boleh Diganggu

©2018 Merdeka.com/abdul aziz

Ahmad Tohari menganjurkan orang-orang yang percaya terhadap mitos adanya larangan itu harus dihargai. Baginya, keyakinan seperti itu sudah tidak bisa diotak-atik lagi dan tak bisa pula disalahkan. Sebaliknya, dia juga meminta masyarakat yang menganggap Bulan Suro itu seperti bulan puasa juga tidak boleh diganggu.

Oleh karena itu, ia meminta tidak perlu ada perselisihan terkait pro dan kontra dari pantangan itu. Dalam hal ini ia mengajak semua pihak untuk menghargai dan bertoleransi terhadap adat yang berkembang pada masyarakat Jawa.

Kaitan dengan Peristiwa Karbala

©REUTERS/Ahmed Saad

Ketika disinggung mengenai dasar larangan menggelar hajatan pada Bulan Suro, Ahmad Tohari mengatakan bahwa dasar larangan menggelar hajatan pada Bulan Suro diduga terkait dengan tragedi Karbala yang menewaskan cucu kesayangan Nabi Muhammad SAW pada tanggal 10 Muharam 61 Hijriah.

“Sisi baiknya juga banyak. Tapi bagi orang Jawa yang menghindari hajatan di Bulan Suro mungkin karena tahu pada Bulan Muharam ada peristiwa mengerikan yang menewaskan Hasan dan Husein di Padang Karbala,” kata Ahmad Tohari dikutip dari ANTARA.

Dengan demikian, ia menduga adanya larangan itu merupakan bentuk penghormatan atas meninggalnya dua tokoh penting dalam dunia Islam itu.