Merdeka.com - Dalam beberapa tahun terakhir, terdapat berbagai macam bencana alam hebat yang terjadi di beragam belahan Bumi. Mulai dari kebakaran hutan yang menyebabkan kepulan asap tebal hingga menjangkau antar negara, tanah longsor akibat penebangan liar, hingga banjir akibat hujan lebat, penyerapan air yang baik karena banyaknya sampah yang menyumbat.
Beberapa bencana tersebut sudah terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Meskipun dikatakan sebagai suatu bencana alam, namun hal ini tidak luput tentu banyak mendapat pengaruh dari berbagai aktivitas manusia yang berkontribusi pada pemanasan global.
Pemanasan global, merupakan suatu kondisi di mana Bumi mengalami kenaikan suhu, baik di dataran maupun lautan. Suhu ini dapat terus meningkat seiring waktu yang dapat memicu terjadinya cuaca ekstrem dan berbagai bencana alam lainnya. Meningkatnya suhu Bumi ini tidak lain akibat dari efek rumah kaca yang semakin tidak terkendali.
Sebagian dari Anda mungkin masih belum memahami dengan jelas apa yang sebenarnya dimaksud dengan efek rumah kaca, bagaimana penyebab terjadinya efek rumah kaca, dan berbagai dampak yang ditimbulkan. Sebagai krisis dunia yang dialami saat ini, maka penting bagi setiap masyarakat untuk memahami kondisi ini.
Dilansir dari Live Science, berikut kami merangkum penyebab terjadinya efek rumah kaca dan dampaknya, bisa Anda simak.
Sebelum mengetahui penyebab terjadinya efek rumah kaca, perlu dipahami terlebih dahulu apa itu gas rumah kaca. Gas rumah kaca adalah setiap senyawa gas di atmosfer yang mampu menyerap radiasi infra merah sehingga membuat suhu panas tertahan dan terjebak di atmosfer. Dengan meningkatkan panas di atmosfer, gas rumah kaca bertanggung jawab atas efek rumah kaca, yang pada akhirnya menyebabkan pemanasan global.
Dalam hal ini, efek rumah kaca terjadi karena matahari membombardir Bumi dengan radiasi dalam jumlah sangat besar yang menghantam atmosfer Bumi dalam bentuk cahaya tampak, plus ultraviolet (UV), inframerah (IR) dan jenis radiasi lainnya yang tidak terlihat oleh mata manusia.
Radiasi UV memiliki panjang gelombang yang lebih pendek dan tingkat energi yang lebih tinggi daripada cahaya tampak, sedangkan radiasi IR memiliki panjang gelombang yang lebih panjang dan tingkat energi yang lebih lemah. Sekitar 30% radiasi yang mengenai Bumi dipantulkan kembali ke luar angkasa oleh awan, es, dan permukaan reflektif lainnya. 70% sisanya diserap oleh lautan, daratan, dan atmosfer.
Saat memanas, lautan, daratan, dan atmosfer melepaskan panas dalam bentuk radiasi termal IR, yang keluar dari atmosfer dan ke luar angkasa. Keseimbangan radiasi masuk dan keluar inilah yang membuat Bumi layak huni, dengan suhu rata-rata sekitar 59 derajat Fahrenheit (15 derajat Celsius), menurut NASA.
Pertukaran radiasi masuk dan keluar yang menghangatkan Bumi inilah yang sering disebut sebagai efek rumah kaca. Dinamakan efek rumah kaca karena sistem kerjanya mirip seperti cara kerja rumah kaca pertanian. Radiasi UV gelombang pendek yang masuk dengan mudah melewati dinding kaca rumah kaca dan diserap oleh tanaman dan permukaan keras di dalamnya. Sementara radiasi IR gelombang panjang yang lebih lemah, sulit melewati dinding kaca dan dengan demikian terperangkap di dalam, menghangatkan rumah kaca.
Advertisement
Setelah memahami penyebab efek rumah kaca, berikutnya penting untuk dipahami apa saja yang menjadi sumber pembentukan gas rumah kaca. Dalam hal ini, gas rumah kaca terdiri dari beragam jenis senyawa. Seperti gas metana, ini biasanya diperoleh dari kegiatan pertanian dan peternakan. Misalnya, bahan-bahan sayur atau buah yang membusuk hingga gas dari kotoran hewan ternak.
Berikutnya adalah CO2 atau karbon dioksida yang sebagian besar dihasilkan dari proses alami seperti respirasi dan dari pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak, dan gas. Namun, sumber utama penghasil CO2 adalah penggundulan hutan. Ketika pohon-pohon ditebang, maka mereka melepaskan karbon yang biasanya disimpan untuk fotosintesis. Proses ini melepaskan hingga 4,8 miliar metrik ton karbon ke atmosfer setiap tahun.
Di seluruh dunia, keluaran gas rumah kaca merupakan sumber keprihatinan yang serius. Bahkan dikatakan, selama 60 tahun terakhir, CO2 atmosfer telah meningkat pada tingkat tahunan yang 100 kali lebih cepat dari peningkatan alami sebelumnya.
Terakhir kali jumlah CO2 atmosfer global setinggi ini adalah 3 juta tahun yang lalu, ketika suhu mencapai 5,4 derajat F (3 derajat C) lebih tinggi daripada selama era pra-industri. Dalam catatan, 2016 disebut sebagai tahun terhangat, lalu disusul tahun 2019 dan 2020. Faktanya, enam tahun terpanas yang tercatat semuanya terjadi sejak tahun 2015.
Setelah memahami penyebab terjadinya efek rumah kaca dan berbagai sumber gasnya, terakhir akan dijelaskan tentang dampak efek rumah kaca bagi kehidupan. Seperti disebutkan, gas-gas emisi yang terperangkap di atmosfer pada gilirannya akan menyebabkan efek rumah kaca.
Efek rumah kaca inilah yang selanjutnya menyebabkan pemanasan global, yaitu meningkatnya suhu Bumi yang semakin panas. Dari berbagai jenis gas rumah kaca, dikatakan terdapat beberapa senyawa gas yang paling berdampak pada pemanasan global, yaitu uap air (H2O), karbon dioksida (CO2), metana (CH4) dan dinitrogen oksida (N2O).
Gas berfluorinasi — gas yang ditambahkan unsur fluorin — tercipta selama proses industri dan juga dianggap sebagai gas rumah kaca. Ini termasuk hidrofluorokarbon, perfluorokarbon dan sulfur heksafluorida. Meskipun mereka hadir di atmosfer dalam konsentrasi yang sangat kecil, mereka memerangkap panas dengan sangat efektif, menjadikannya gas “Global Warming Potential” (GWP) yang tinggi.
Secara umum, terdapat tiga faktor yang menentukan sejauh mana gas rumah kaca memengaruhi pemanasan global. Tiga faktor ini meliputi, seberapa banyak limpahan yang terjadi di atmosfer, berapa lama gas tersebut terjebak di atmosfer, dan peringkat Global Warming Potensial yang dimiliki.
Misalnya, uap air adalah gas rumah kaca yang paling melimpah, tetapi karbon dioksida memiliki dampak yang lebih signifikan terhadap pemanasan global karena kelimpahannya di atmosfer ditambah usia atmosfernya yang relatif panjang yaitu 300 hingga 1.000 tahun.
Uap air, di sisi lain, memiliki masa hidup atmosfer tidak lebih dari 10 hari. Sementara metana sekitar 21 kali lebih efisien dalam menyerap radiasi daripada CO2, memberikan peringkat GWP yang lebih tinggi, meskipun ia bertahan di atmosfer hanya sekitar 12 tahun.
Meskipun metana dan GRK lainnya mampu menjebak lebih banyak panas daripada CO2, para ilmuwan masih menganggap karbon dioksida sebagai gas rumah kaca yang dominan karena efek pemanasannya bertahan selama berabad-abad.
Advertisement
6 Transformasi Tyo Nugros, Tetap Awet Muda di Usia 52 Tahun
Sekitar 27 Menit yang laluCara Daftar Haji yang Mudah dan Praktis, Berikut Syarat-syaratnya
Sekitar 53 Menit yang laluPemuda Cilacap Tewas Terkena Ledakan Petasan, Tubuh Terpental hingga 7 Meter
Sekitar 1 Jam yang laluKreatif, Polisi Tuban Sulap Ratusan Knalpot Brong Sitaan Jadi Patung Kuda
Sekitar 2 Jam yang laluViral Pengendara Motor Dicegat Harimau di Tengah Jalan, Bikin Panik
Sekitar 2 Jam yang laluProyek Sepi, Pekerja Bangunan Sulap Limbah Bambu jadi Kerajinan Gelas
Sekitar 3 Jam yang laluIdap Kanker Payudara, Begini Curhatan Nunung untuk Menguatkan Diri
Sekitar 4 Jam yang laluPemkot Semarang Rekrut Siswa SD Buat Jadi Detektif, Ini Misi Utamanya
Sekitar 19 Jam yang laluFakta Terbaru Buruh Pabrik di Grobogan Tuntut Upah Lembur, Sempat Dibentak Manajer
Sekitar 22 Jam yang laluMengenal Komunitas Pojok Warna, Wadahi Pelukis dari Berbagai Aliran di Semarang
Sekitar 1 Hari yang laluSejarah Kampung Arab Pekalongan, Pusat Perdagangan Mori di Era 70-an
Sekitar 1 Hari yang laluMenguak Misteri Watu Ambal, Tangga Kuno Berusia Ribuan Tahun di Lereng Gunung Sumbing
Sekitar 1 Hari yang laluGelombang Sangat Tinggi Ancam Laut Selatan Jawa, Ini Imbauan BMKG
Sekitar 1 Hari yang laluMengenal Wayang Potehi, Pertunjukan Boneka Akulturasi Budaya Tionghoa dan Jawa
Sekitar 1 Hari yang laluPolisi Kirim Hasil Investigasi Kasus Gagal Ginjal Akut Anak di DKI ke BPOM
Sekitar 2 Jam yang laluKreatif, Polisi Tuban Sulap Ratusan Knalpot Brong Sitaan Jadi Patung Kuda
Sekitar 2 Jam yang laluIni Jenis Pelanggaran yang Disasar Petugas saat Operasi Keselamatan Jaya 2023
Sekitar 2 Jam yang laluDua Jenderal TNI dan Polri Turun Tangan di Kasus Brimob Bentak Babinsa TNI AD
Sekitar 2 Jam yang laluVIDEO: Jaksa Sentil Baiquni Soal Sikap Seorang Perwira Polisi Harus Gagah Berani
Sekitar 18 Jam yang laluVIDEO: Replik Jaksa, Sindir Sikap Ngeles Irfan Widyanto Makin Coreng Citra Polri
Sekitar 19 Jam yang laluVIDEO: Jaksa Soroti Pleidoi Hendra Eks Anak Buah Sambo Soal 27 Tahun Karier di Polri
Sekitar 21 Jam yang laluVIDEO: Beberkan Rekaman CCTV ke Pimpinan Polri, Chuck "Saya Dijanjikan Tak Dipidana"
Sekitar 1 Hari yang laluVIDEO: Jaksa Serang Agus Nurpatria, Bandingkan dengan Ricky Berani Tolak Sambo
Sekitar 2 Jam yang laluVIDEO: Dua Kejahatan Arif Rahman Eks Anak Buah Sambo di Kasus Brigadir J
Sekitar 3 Jam yang laluVIDEO: Jaksa Sentil Baiquni Soal Sikap Seorang Perwira Polisi Harus Gagah Berani
Sekitar 18 Jam yang laluVIDEO: Replik Jaksa, Sindir Sikap Ngeles Irfan Widyanto Makin Coreng Citra Polri
Sekitar 19 Jam yang laluVIDEO: Replik Jaksa, Sindir Sikap Ngeles Irfan Widyanto Makin Coreng Citra Polri
Sekitar 19 Jam yang laluVIDEO: Arif Terisak Sampaikan Pembelaan Beri Pesan Cinta ke Istri, Ibu Hingga Hakim
Sekitar 3 Hari yang laluVIDEO: Serangan Balik Bharada E, Sindir Jaksa Ngotot 12 Tahun Penjara
Sekitar 4 Hari yang laluApakah Boleh Memperoleh Vaksin Campak Bersamaan dengan Booster COVID-19?
Sekitar 1 Minggu yang laluAntisipasi Penyakit Ngorok, Dinas Pertanian Madina Maksimalkan Penyuntikan Vaksin
Sekitar 1 Minggu yang laluAdvertisement
Advertisement
AM Hendropriyono
Guru Besar Sekolah Tinggi Intelijen Negara
Ingatlah untuk menjaga komentar tetap hormat dan mengikuti pedoman komunitas kami