Mengenal Kho Ping Hoo, Penulis Cerita Silat Indonesia dari Sragen
Merdeka.com - Di Indonesia, budaya Tionghoa sudah ada sejak lama dan telah berbaur dengan budaya setempat. Budaya itu tak hanya dilihat dari tradisi yang biasa diselenggarakan, namun juga karya seni bahkan karya sastra.
Di bidang karya sastra, muncul penulis-penulis keturunan Tionghoa yang memberi bumbu budaya asli mereka pada setiap karyanya. Hal itulah yang dilakukan Kho Ping Hoo atau Asmaraman Sukowati, penulis asal Solo yang populer berkat cerita-cerita bertema silat.
Dilansir dari Wikipedia.org, Kho Ping Hoo banyak mendapat inspirasi dari film-film silat Hong Kong dan Taiwan dalam setiap tulisannya. Selama 30 tahun menulis, ia telah menghasilkan 120 judul cerita.
Lalu bagaimana sepak terjangnya dalam dunia karya sastra Indonesia? Berikut selengkapnya:
Anak Pendekar Silat
©2021 Liputan6.com
Kho Ping Hoo lahir di Sragen, Jawa Tengah pada 17 Agustus 1926. Dia merupakan anak kedua dari 12 bersaudara. Ayahnya, Kho Kian Po, merupakan pendekar silat aliran Siau Liem Sie. Dia mewariskan ilmu silat pada Kho Ping Hoo melalui disiplin keras.
Pada usia 14 tahun atau setelah lulus sekolah, Kho Ping Hoo bekerja menjadi pelayan toko. Saat Jepang masuk ke Solo, ia pindah ke Surabaya dan bekerja sebagai penjual obat.
Dari Surabaya ia kembali ke Sragen dan bergabung dengan pasukan Barisan Pemberontak Tionghoa (BPTH) guna melawan penjajah Jepang bersama Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI).
Sempat Jadi Pengusaha
©2021 Liputan6.com
Dilansir dari Kemdikbud.go.id, setelah Indonesia merdeka Kho Ping Hoo menikah dengan Ong Ros Hwa dan merintis sebuah usaha rokok di Sragen. Namun saat Agresi Militer II meletus, Belanda mengobrak-abrik tempat usahanya dan mengungsi ke Solo untuk memulai usaha dari nol.
Tak lama kemudian, ia membawa keluarganya pindah ke Tasikmalaya. Di sanalah ia membuka usaha pengangkutan truk dan perlahan demi perlahan meraih sukses.
Sekitar tahun 1951, Kho Ping Hoo mulai menulis cerita. Ia memulai menulis cerita dari berbagai tema seperti detektif, novel, dan cerpen yang dimuat di berbagai majalah.
Waktu itu tak ada terselip satupun nuansa silat pada ceritanya. Karya-karyanya waktu itu hanyalah cerita romantis biasa.
Cerita Silat Pertama
©2021 Liputan6.com
Pada tahun 1959, muncul Majalah Teratai yang didirikan di Tasikmalaya. Para pendiri majalah mengusulkan agar majalah itu juga diisi oleh cerita-cerita silat.
Saat itulah mereka mengusulkan agar Kho Ping Ho menjadi penulis cerita silat itu. Akhirnya muncullah karya silat pertamanya yang berjudul “Pedang Pusaka Naga Putih”.
Walaupun karya pertamanya itu lahir di tengah keterpaksaan, namun respon pembaca tetap positif. Sejak itu dia mulai menulis cerita-cerita silat dan menerbitkan buku saku cerita silat Tionghoa. Karena tidak mengerti bahasa Mandarin, Kho mempelajari sejarah tanah leluhurnya itu dari buku-buku berbahasa Inggris dan Belanda.
Setelah sekian tahun berkarier di dunia kepenulisan, Kho menerbitkan buku bertema sejarah populer seperti “Badai Laut Selatan” dan “Darah Mengalir di Borobudur”.
Diangkat ke Layar Lebar
©2021 Liputan6.com
Seiring waktu, karya-karya cerita Kho Ping Ho banyak difilmkan seperti “Dendam si Anak Haram”, “Darah Daging”, dan “Buaian Asmara”. Tak ketinggalan, beberapa karyanya yang populer juga difilmkan dengan judul sama seperti “Badai Laut Selatan” (1991) dan “Perawan Lembah Wilis” (1993).
Di kemudian hari, gaya ceritanya digunakan untuk cerita-cerita sinetron Indonesia seperti “Angling Dharma” dan “Misteri Gunung Merapi”. Semangat Kho dalam menulis kemudian menjadi motivasi penulis-penulis berikutnya dalam menulis cerita silat seperti S.H Mintardja, Herman Pratikto, dan Arswendo Atmowiloto.
Kaya Raya Berkat Menulis
©2021 Liputan6.com
Dalam buku “Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1981-1982”, Kho Ping Ho mengaku bisa memperoleh penghasilan dua juta rupiah per bulan hanya dari hasil ia menulis, jumlah yang besar waktu itu. Dari uang tersebut, ia mampu menyekolahkan anaknya ke luar negeri dan membeli sebuah villa di Tawangmangu.
Dalam kesehariannya, Kho mengaku tidak merokok dan tidak makan daging. Minumnya cuma air putih. Ia mengaku terkadang suka mengasingkan diri untuk “merenungi misteri Tuhan”. Mengenai bagaimana ia menulis cerita, Kho mengaku itu mudah saja. Bahan cerita menulis sudah berada di kepalanya.
“Begitu menghadapi mesin ketik, langsung saya jalan,” kata Kho Ping Ho dikutip Merdeka.com dari Kemdikbud.go.id pada Selasa (7/9).
(mdk/shr)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Pria berdarah Batak ini sudah malang melintang di dunia sastra maupun jurnalistik yang menjadi inspirasi bagi banyak orang.
Baca SelengkapnyaAda beragam jenis kucing persia yang terkadang jarang diketahui oleh masyarakat.
Baca SelengkapnyaSudut pandang menentukan siapa atau apa yang berperan sebagai narator cerita dan bagaimana cerita tersebut disampaikan kepada pembaca.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Konon menurut cerita kedua pohon ini berasal dari sepasang pengantin yang bertengkar
Baca SelengkapnyaBanyak masyarakat percaya bahwa kucing hitam bisa membawa sial. Mengapa kepercayaan ini muncul dan masih dipercaya hingga kini?
Baca SelengkapnyaRumah dunia jadi salah satu contoh gerakan literasi yang konsisten di Indonesia
Baca SelengkapnyaBeredar klaim MURI memberikan penghargaan kepada Prabowo Subianto karena kalah tiga kali sebagai capres
Baca SelengkapnyaDia merupakan salah satu dari "tujuh pendekar" Indonesia yang memenangi gelar Piala Thomas tiga kali berturut-turut
Baca SelengkapnyaSilat Perisai di Kabupaten Kampar kini dibawakan sebatas kesenian pertunjukan untuk menyambut tamu penting dan juga sebagai hiburan masyarakat.
Baca Selengkapnya