Minta BPN cabut HGB pulau reklamasi, Anies harus buktikan adanya maladministrasi
Merdeka.com - Pakar Hukum Agraria UGM Prof Dr Nur Hasan Ismail menilai, langkah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan meminta Kementerian ATR/BPN menarik surat Hak Guna Bangunan (HGB) untuk pulau reklamasi C, D dan G perbuatan sewenang-wenang. Di mana permintaan tersebut tertuang pada surat nomor 2373/-1.794.2 tertanggal 29 Desember 2017 silam.
Hasan mengatakan, Anies harus melengkapi bukti adanya dugaan pelanggaran administrasi (maladministrasi) dari penerbitan HGB tersebut. Karena apa yang diminta oleh mantan Menteri Pendidikan itu adalah membatalkan surat keputusan pemberian hak.
"Harus ada yang namanya cacat hukum administrasi. Apa itu cacat hukum? Cacat hukum itu ada persyaratan dan prosedur yang tidak dipenuhi. Sekarang proses pemberian HGB sudah memenuhi syarat atau belum? Kalau memenuhi syarat kok dicabut, itu melanggar hukum," katanya kepada merdeka.com, Rabu (10/1).
Jika tidak ada maladministrasi, dia mengungkapkan, maka Kementerian ATR/BPN bisa menolak permintaan dari Anies. Namun jika mantan rektor Paramadina itu tetap ngotot, maka dapat menempuh jalur hukum.
"Kalau ngotot itu perbuatan sewenang-wenang. Kalau ada syarat dan prosedur yang tidak memenuhi, silakan BPN membatalkan atau mencabut. Kalau BPN gak mau, karena udah memenuhi, Pemda DKI silakan menggugat ke pengadilan. Itu prosedur hukum. Ini tidak seperti politik, hukum itu ada tata cara dan prosedur, bukan ngomong baru mikir," tegasnya.
Mengenai belum adanya dua raperda tentang reklamasi, Hasan menjelaskan, penerbitan HGB tetap dapat dilakukan. Alasannya karena sudah ada Pergub DKI nomor 121 tahun 2012 tentang Penataan Ruang Kawasan Reklamasi Pantura Jakarta.
"Namanya hukum itu kan hanya tunduk pada peraturan undang-undang yang ada. Sekarang undang-undang yang ada mengatur persoalan peruntukan tanah di areal reklamasi sudah ada di Pergub DKI nomo 121 tahun 2012. Peraturan Gubernur itu dibuat atas dasar Perda Nomor 8 Tahun 1995 soal Reklamasi Pantai Utara. Itu terkait pasal untuk kawasan reklamasi," tegasnya.
Dia menilai, percuma pengembang diharuskan menunggu Raperda Rancangan Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara (RTRKS Pantura) dan Rancangan Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K). Karena akhirnya, aturan tersebut tidak akan berlaku surut.
"Namanya hukum itu tunduk pada hukum sudah ada. Perbuatan (pembangunan reklamasi) itu dilakukan sekarang, masak suruh nunggu perda yang akan ada. Sedangkan Perda, menurut konstitusi kita tidak boleh berlaku surut, kalau nunggu Perda entah kapan? Itu tidak konstitusional. Kalau bertentangan buat apa?" katanya.
Hasan mengingatkan, Anies untuk lebih hati-hati untuk mengambil sikap sebagai Gubernur DKI Jakarta, terutama terkait soal hukum. Jangan sampai apa yang dilakukan hanya sekadar keinginan.
"Gak mungkin mas itu (cabut HGB). Semua kalau cuman keinginan ya monggo, kalau ingin ya silakan, tapi hukum ini bicara hitam putih," tutupnya.
(mdk/fik)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Ancaman pidana itu tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 (UU Pemilu)
Baca SelengkapnyaBPBD DKI mengimbau kepada masyarakat agar tetap berhati-hati dan waspada terhadap potensi genangan.
Baca SelengkapnyaBudi mengaku telah melakukan komunikasi bersama Dirjen Pajak Suryo Utomo terkait rencana pemerintah untuk menaikkan menaikkan PPN menjadi 12 persen pada 2025.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Hadi menekankan pentingnya menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
Baca SelengkapnyaBapanas hentikan pemberian bantuan pangan sementara dalam rangka menghormati pemilu 2024.
Baca SelengkapnyaJenderal Bintang Empat tersebut pun mewanti-wanti pentingnya menjaga kerukunan dan perdamaian selama proses pemilu.
Baca SelengkapnyaPemerintah mempertimbangkan untuk menghentikan sementara penyaluran bantuan pangan beras saat hari tenang hingga pencoblosan pemilu yakni 11-14 Februari 2024.
Baca SelengkapnyaPengusaha menyebut, penundaan pajak hiburan yang diserukan Luhut Panjaitan hanya sementara.
Baca SelengkapnyaSaat ini banyak rakyat atau keluarga miskin yang membutuhkan bantuan akibat kenaikan harga bahan-bahan pokok.
Baca Selengkapnya