Mengenal Kupat Qunutan, Tradisi Makan Ketupat Jelang Akhir Ramadan di Banten
Merdeka.com - Biasanya ketupat disajikan saat hari Raya Idul Fitri. Namun, hal yang unik dan berbeda justru terjadi di Musala Al-Ikhlas di Kampung Sehat, Desa Babakanlor, Kecamatan Cikedal, Pandeglang Banten.
Di Kawasan tersebut, ketupat disajikan dua kali selama satu tahun. Pertama, saat akhir Ramadan dan yang kedua saat hari Raya Idul Fitri.
Tradisi penyajian ketupat di pertengahan menjelang akhir bulan Ramadan dinamakan Kupat Qunutan. Tradisi yang sudah berlangsung selama turun temurun ini disinyalir menjadi ajang pemersatu warga dalam menggiatkan silaturahmi antar sesama.
Ajang Pemersatu Warga
Ilustrasi Ketupat Opor
©iStock
Dilansir via Ayobandung. Tradisi khas warga Pandeglang, Banten tersebut dilakukan sebagai bentuk simbol persatuan masyarakat setempat dalam mengharap berkah Lailatul Qadar. Biasanya Kupat Qunutan digelar setelah para warga memasak ketupat dengan lauk pauk pendampingnya.
Makanan khas lebaran tersebut lantas dibawa ke musala dan langsung didoakan untuk memohon berkah Ramadan dan lebaran.
Selanjutnya, ketupat yang terkadang terdiri dari dua jenis tersebut (ketupat beras dan ketupat ketan) langsung disantap secara bersama sama setelah pelaksanaan salat tarawih.
Ajang Bersedekah Ulama Banten Terdahulu
Dikutip dari bingar.id, salah satu makna tradisi Kupat Qunutan adalah memanfaatkan momen bulan Ramadan untuk bersedekah dan mencuci rezeki yang dimiliki.
Ketua Forum Silaturahmi Pondok Pesantren (FSPP) Pandeglang, Abdul Aziz Nurdin mengungkapkan jika tradisi pertengahan Ramadan tersebut adalah bentuk pengingat dari ulama di masa lampau agar semakin meningkatkan ibadah amaliyah di pertengahan menjelang akhir Ramadan, yaitu sedekah.
“Tradisi qunutan yang dilakukan pada pertengahan Ramadan adalah cara para ulama Sallafussholih untuk mengingatkan umatnya agar lebih meningkatkan amaliyah ibadah terutama sedekah,” terangnya via bingar.id.
Mengandung Makna Sosial Sejak Zaman Kesultanan Banten
Kesultanan Banten
historyofcirebon.id ©2020 Merdeka.com
Menurut pria yang dikenal sebagai tokoh agama di Pandeglang tersebut, tradisi Kupat Qunutan telah ada sejak zaman kesultanan Banten sekitar 1651 sampai 1682.
Tradisi tersebut berkembang sebagai upaya pihak kesultanan dalam memantau keadaan sosial masyarakat di wilayah Banten dan sekitarnya menjelang akhir bulan Ramadan.
Menurutnya, ajang tersebut bisa dimaknai sebagai medium silaturahmi sebagai masyarakat sosial dan meningkatkan keakraban antar masyarakat kampung pada masa tersebut.
“Dari situ bisa dipetik suatu kesimpulan bahwa tradisi Kupat Qunutan mengandung makna sosial agar masyarakat semakin peka dengan lingkungan sekitar” ujar Abdul Aziz
(mdk/nrd)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Bodho Kupat sendiri merupakan tradisi yang rutin diselenggarakan masyarakat Lumajang ketika memasuki hari ketujuh Lebaran Idulfitri.
Baca SelengkapnyaDi Kudus, penjual intip ketan sudah jarang ditemui. Bisa dibilang makanan tradisional ini kini sangat langka.
Baca SelengkapnyaDalam menyambut bulan penuh berkah, masyarakat Pasaman Barat memiliki salah satu tradisi unik yang sudah diwariskan secara turun-temurun.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Kue Talam merupakan kudapan tradisional Suku Banjar. Kue ini terbuat dari bahan dasar santan dan tepung.
Baca SelengkapnyaBedanya memasak rendang untuk sambut Ramadan adalah masakannya akan disajikan untuk santap sahur pertama.
Baca SelengkapnyaBerikut bahan-bahan yang diperlukan agar ketupat menjadi lebih sedap.
Baca SelengkapnyaTopeng-topeng ini sudah ada sejak zaman Kesultanan Banten ketika menguasai wilayah Sumatra.
Baca SelengkapnyaMamanukan akan dinanti oleh masyarakat di sepanjang wilayah pantura Jawa Barat.
Baca SelengkapnyaLebaran menjadi momen hadirnya hidangan-hidangan khas daerah yang mungkin jarang ditemukan serta menambah suasana Idul Fitri semakin terasa.
Baca Selengkapnya