Kisah Perajin Bordir Tasikmalaya, Dulu Berjaya Kini Terkendala Mahalnya Bahan Baku

Senin, 30 Januari 2023 09:16 Reporter : Nurul Diva Kautsar
Kisah Perajin Bordir Tasikmalaya, Dulu Berjaya Kini Terkendala Mahalnya Bahan Baku Nestapa industri bordir di Tasikmalaya. ©2023 YouTube Liputan6 SCTV/Merdeka.com

Merdeka.com - Tahun 1990-an menjadi masa kejayaan industri bordir di Kota Tasikmalaya, Jawa Barat. Produk hasil rajutan mereka mampu terjual hingga ke berbagai daerah hingga mancanegara. Namun kondisi itu berubah setelah masa pandemi Covid-19.

Beberapa tahun belakangan, geliat seni sulam kain ini tengah terpuruk bahkan beberapa di antaranya sampai menutup usaha. Permasalahannya terletak di mahalnya harga bahan baku berupa kain dan benang.

Yuyun Setiadi, menjadi salah satu pengusaha bordir yang masih terus bertahan di tengah kondisi yang sulit. Berikut kisah selengkapnya.

2 dari 4 halaman

Kesulitan Bertahan

nestapa industri bordir di tasikmalaya

Nestapa industri bordir di Tasikmalaya ©2023 YouTube Liputan6 SCTV/Merdeka.com

Diungkapkan Yuyun, saat ini industri bordir sudah berbeda dari puluhan tahun lalu. Dulunya, kerajinan sulam kain itu mampu terjual ke berbagai wilayah.

Namun semenjak adanya pandemi Covid-19 yang berdampak ke perekonomian di banyak sektor, perajin seperti dirinya mulai kesulitan. Ini dipicu naiknya harga kain yang semula Rp5.000 per meter, kini Rp8.000. Sedangkan benang, yang tadinya Rp21.000 kini Rp28.000.

“Kondisi bordir saat ini sangat sulit, ini baru pertama kali saya rasakan setelah membuka usaha bordir di tahun 1990” katanya, dikutip dari kanal YouTube Liputan6 SCTV, Senin (30/1).

3 dari 4 halaman

Mengurangi Biaya Operasional

nestapa industri bordir di tasikmalaya
Nestapa industri bordir di Tasikmalaya ©2023 YouTube Liputan6 SCTV/Merdeka.com

Turunnya penjualan bordir kemudian memaksanya untuk mengurangi biaya operasional. Salah satu langkah yang ia lakukan adalah dengan tidak mengoperasikan banyak mesin produksi.

Sebelum masa pandemi Covid-19, ia memiliki 8 unit computer untuk membantu kegiatan usahanya. Namun saat ini hanya tersisa tiga unit saja yang masih bisa dioperasikan.

Menurutnya dua tahun belakangan, antara biaya produksi dan hasil penjualan tidak sebanding. Sehingga Yuyun lebih memilih mengurangi biaya operasional agar tidak merugi.

“Dulunya tidak tersendat, dari zaman mesin manual sampai ke komputer, yang sebetulnya ada delapan, dan sekarang tinggal tiga. Namun setelah Covid-19 ini tidak sebanding biaya produksi dan biaya hasil jualan,” katanya lagi.

4 dari 4 halaman

Menanti Kebijakan Nyata Pemerintah

Saat ini Yuyun bersama pengrajin bordir lainnya di Kota Tasikmalaya menanti bantuan nyata dari pemerintah, agar bisnis mereka bisa kembali berputar seperti dulu. Bantuan yang saat ini dibutuhkan di antaranya, subsidi untuk bahan baku dan pembatasan bahan impor.

Kampung Leuwidahu di Kota Tasikmalaya sendiri dulunya memproduksi banyak kain bordir, dengan ratusan unit mesin produksi. Namun saat ini hanya tersisa 20 unit yang masih bertahan.

Selain di Leuwidahu, Kecamatan Indihiang, perajin bordir juga banyak ditemui di Kecamatan Kawalu. Di sini, usaha tersebut kebanyakan diwariskan turun temurun. Ada banyak motif yang diminati oleh para konsumen. Namun yang masih tetap tinggi permintaannya adalah motif bunga.

Sebelumnya, seperti dikutip dari laman budaya-indonesia, usaha bordir di Kota Tasikmalaya sendiri sudah ada sejak tahun 1920-an. Usaha ini berawal dari salah satu warga setempat yang pulang kampung setelah bekerja di luar negeri.

[nrd]
Komentar Pembaca

Ingatlah untuk menjaga komentar tetap hormat dan mengikuti pedoman komunitas kami

Be Smart, Read More

Indeks Berita Hari Ini

Opini