Cianjur Punya Sastrawan yang Meninggal di Moskow, Berikut Kisahnya
Merdeka.com - Terjalinnya relasi politik antara Indonesia dengan negara Soviet di dekade 1960 sampai 1970an memicu terjadinya pertukaran ilmu pengetahuan. Salah satu yang berhasil merebut perhatian masyarakat di kedua negara itu adalah karya sastra. Utuy Tatang Sontani, menjadi sastrawan asal Kabupaten Cianjur, Jawa Barat yang tersohor sampai Moskow.
Kiprah Utuy jarang diketahui di masa sekarang, terlebih ia telah meninggal dunia di Ibu Kota Negara Rusia pada tanggal 17 September 1979 silam. Walau demikian, karya-karyanya masih sangat membekas di kalangan pecinta sastra medio itu. Sebut saja drama satu babak “Boenga Roemah Makan”, “Awal dan Mira” hingga “Tambera” yang diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia.
Selain itu, Utuy juga dikenal sebagai penulis berbahasa Sunda lewat karya novel “Sang Kuriang” dan kerap mengirim karyanya ke media cetak, Sinar Pasundan dan Surat Kabar Sipatahunan. Kini Utuy yang lahir pada 31 Mei 1920 itu, masih dikenang sebagai penulis kawakan yang turut mengenalkan Bahasa Sunda ke dalam dunia sastra.
Pernah Bekerja di RRI Tasikmalaya
©wikipedia.com
Mengutip laman Enslikopedia Kemdikbud, Senin (9/1) Utuy menghabisi masa kecilnya di Kabupaten Cianjur, dan berkesempatan menempuh pendidikan di Taman Dewasa, Bandung.
Sebelum menjadi sastrawan, ia sempat menempuh karier dengan bekerja di Radio Republik Indonesia (RRI) Tasikmalaya, Jawa Barat. Sayangnya tidak lama kemudian ia pindah ke Balai Pustaka di Jawatan Pendidikan Masyarakat (naskah dan majalah), lalu ke Jawatan Kebudayaan Kementerian PP dan K serta Lembaga Bahasa dan Kesusastraan Indonesia.
Tak hanya bekerja, Utuy juga aktif dan ikut membidangi lahirnya organisasi sastra Sunda Beungkeutan Pangulik Budaya Kiwari di tahun 1957. Di dekade 1960an, ia juga bergabung ke Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang saat itu banyak diikuti oleh seniman serta sastrawan.
Dikenal sampai Moskow
Kemudian, Utuy berkelana ke sejumlah negara seperti Tiongkok, Peking (saat ini Beijing) sampai ke Rusia. Saat di Rusia, Utuy disambut oleh kalangan akademis di sana, termasuk oleh pemerintah karena pengaruhnya di dunia sastra.
Penyambutannya dilakukan cukup meriah, terlebih Utuy pernah menghadiri konferensi pengarang Asia–Afrika di tahun 1958. Utuy mendarat di Moskow dan terus berkiprah sampai tahun 1979.
Selain itu, masyarakat sastra di Moskow juga telah mengenal beberapa karya Utuy yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Rusia, seperti pada karya tulis novel berjudul “Tambera”. Karya “Tambera” dikagumi rakyat Moskow lantaran bercerita tentang semangat perjuangan dan revolusi rakyat.
Sempat Mendapat Stigma Golongan Kiri
©2023 Dokumentasi Jabar Quick Response/Merdeka.com
Bergabungnya Utuy ke Lekra membuat Utuy dicap sebagai sastrawan aliran kiri. Walau demikian, karya-karyanya banyak yang bermuatan semangat nasionalisme. Ia kemudian pergi ke Moskow untuk menjalani pengobatan.
Utuy sebenarnya tidak ingin masuk ke Lekra, namun ia terus dirangkul dan diberi kesempatan untuk berkarya di organisasi tersebut hingga ia bergabung di sana.
Menurut sastrawan Taufik Ismail, karya-karya Utuy tidak berideologi kiri, dan hanya menggambarkan tentang keteguhan individualitas dan bertolak belakang dari aspek realisme sosial.
Sebelumnya, Utuy memang sering pulang pergi Indonesia–Moskow, sejak 1960-an. Saat meletusnya G30S PKI, ia memilih untuk tetap berada di Moskow karena tidak memungkinkan untuk pulang kampung.
Menjadi Pengajar Bahasa Indonesia dan Meninggal di Moskow
Selama kurang di Moskow, ia lebih memilih untuk memulihkan kesehatannya dan menjadi pengajar bahasa Indonesia di Institut Bahasa-Bahasa Timur, Moskow.
Karena kondisinya yang belum bisa pulih, Utuy akhirnya meninggal di Kota Moskow dan dimakamkan di Mitinskoye, kawasan Mitino, yang berjarak sekitar 40 kilometer dari Ibu Kota Moskow. Kemudian, nisan dari Almarhum Utuy diberi penghormatan sebagai nisan pertama di pemakaman Islam pertama Kota Moskow.
Utuy sendiri meninggalkan sejumlah karya sastra mulai dari novel, cerpen hingga sajak seperti “Anjing”, “Berbicara Tentang Drama (sebuah Essay), Pemuda Telanjang Bulat”,”Bukan Orang Besar”, ”Memoar Di Bawah Langit Tak Berbintang” sampai “Di Sanatorium (memoir)”.
(mdk/nrd)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Di Cirebon terdapat penutur Jawa dan Sunda lo. Yuk intip 8 keunikan kota ini
Baca SelengkapnyaKorban saat berenang di Pantai Ciantir tiba-tiba terseret ombak besar hingga ke tengah laut
Baca SelengkapnyaLahir di Tarutung, Tapanuli, Sumatra Utara pada 26 Agustus 1914, Albert sudah menekuni dunia jurnalistik sejak usianya menginjak remaja.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Polisi ungkap detik-detik peristiwa tewasnya eks calon siswa Bintara Iwan oleh anggota TNI AL Serda Adan.
Baca SelengkapnyaTepat di tengah-tengah bangunan candi terdapat sebuah sumur.
Baca SelengkapnyaDi Desa Ciawi Japura, Cirebon, Jawa Barat, ditemukan sebuah situs batu tulis berusia ratusan tahun.
Baca SelengkapnyaArief tercatat 36 tahun berkarier di institusi Bhayangkara.
Baca SelengkapnyaYuni Shara merayakan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-78 di Paud miliknya di Batu, Malang. Penampilan Yuni kala itu sukses mencuri perhatian.
Baca SelengkapnyaSeorang konglomerat dermawan asal Jawa Barat, Haji AW membagikan momen mesra bersama istrinya yang cantik di atas kapal.
Baca Selengkapnya