Yusuf Tauziri, Ulama Garut yang Loyal pada RI dan Beda Jalan dengan Kartosoewirjo

Minggu, 26 Maret 2023 06:06 Reporter : Merdeka
Yusuf Tauziri, Ulama Garut yang Loyal pada RI dan Beda Jalan dengan Kartosoewirjo Ajengan Yusuf Tauziri. ©2023 dokumen keluarga besar PesantrenCipari

Merdeka.com - Seorang ulama Garut terkemuka dimusuhi pimpinan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) karena bersikap setia kepada pemerintah Republik Indonesia.

Penulis: Hendi Jo

Beberapa waktu lalu, Bupati Garut Rudy Gunawan menyematkan nama Kiai Haji Yusuf Tauziri sebagai salah satu pahlawan lokal yang akan ditabalkan sebagai nama jalan di kabupaten tersebut. Menurut Rudy, Yusuf sangat layak dikenang oleh masyarakat Garut mengingat jasa dan kesetiaan ulama terkemuka itu kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia.

"Beliau termasuk ajengan (ulama) yang disegani dan sahabat dekat Presiden Sukarno," ujar Rudy.

Pernyataan Rudy benar adanya. Menurut peneliti sejarah Iim Imadudin, Ajengan Yusuf bisa dikatakan pendukung loyal pemerintah Republik Indonesia saat berkonflik dengan Kerajaan Belanda pada 1946-1949. Kondisi yang sangat tidak disukai pemimpin DI/TII. S.M. Kartosoewirjo.

Setidaknya, kata Iim, ada tiga hal yang menjadikan Ajengan Yusuf berselisih jalan dengan Kartosoewirjo. Yakni taktik melawan Belanda, konsepsi negara Islam, dan sikap politik terhadap Perjanjian Renville.

Soal taktik perlawanan terhadap Belanda, Yusuf melihat Kartosoewirjo tidak lugas dan lebih mengandalkan sikap 'keras kepala'.

"Sementara, K.H. Yusuf Tauziri tahu benar bagaimana memanfaatkan keahlian lawan untuk pada akhirnya menghancurkan lawan," ungkap Iim dalam tulisannya di jurnal Patanjala Vol.2, No.1, Maret 2010 berjudul Peranan Kiyai dan Pesantren Cipari Garut Menghadapi DI/TII (1948—1962).

ajengan yusuf tauziri

2 dari 4 halaman

Kawan Dekat Kartosoewirjo

Sejatinya, Ajeungan Yusuf merupakan kawan dekat Kartosoewirjo sejak masa pergerakan. Menurut Hiroko Horikoshi dalam Kyai dan Perubahan Sosial, kedekatan Yusuf dengan Kartosoewirjo terjalin kala keduanya aktif di Dewan Sentral PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia) pada 1931--1938. Bahkan bisa dikatakan, Yusuf merupakan penasehat Kartosoewirjo.

Soal kedekatan itu diakui Syarif Hidayat (kelahiran 1934). Menurut keponakan Yusuf tersebut, hubungan organisasi itu dikuatkan dengan terciptanya relasi yang sangat baik antara adik-adik perempuan Ajeungan Yusuf dengan istri Kartosoewirjo yakni Dewi Siti Kalsum. Mereka kerap saling menyambangi dan berbagi kabar.

Kekesalan Kartosewirjo mulai muncul saat diberlakukannya Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948. Kendati tak menyetujui kesepakatan yang dia anggap terlalu merugikan pihak RI, Yusuf tetap 'menerima' sikap pemerintah RI dengan kebesaran jiwa dan sikap loyal kepada kepemimpinan Sukarno. Termasuk merestui Lasykar Darussalam pimpinan salah seorang putranya (Saep Darmawan) untuk hijrah ke Yogyakarta.

3 dari 4 halaman

Santri Dilatih Militer

Namun Yusuf menjalankan siasat pula kala bersikap seperti itu. Diam-diam dia menyimpan sebagian besar kekuatan Lasykar Darussalam dan membiarkan pasukan pesantren itu dilatih kemiliteran oleh tentara Belanda selama Jawa Barat secara resmi ditinggalkan kaum Republik.

Dengan mengikuti pelatihan militer tersebut, sang ajeungan berharap kemampuan dan pengalaman para santri-nya semakin mumpuni. Kelak semua keahlian militer tersebut akan digunakan untuk melawan Belanda sendiri dan menjaga diri dari gangguan para gerilyawan DI. Demikian pemikiran yang tersirat di kepala Yusuf.

Tentu saja taktik cerdas itu tak disukai oleh pihak DI/TII. Alih-alih memakluminya, Kartosoewirjo yang juga menolak mentah-mentah Perjanjian Renville dan hijrah ke Yogyakarta, menilainya sebagai suatu bentuk pengkhianatan dari kawan sejawat. Dia menilai secara radikal jika Ajengan Yusuf telah bekerjasama dengan Belanda.

"Makanya setiap kali pasukan DI/TII menyerang Darussalam, mereka selalu berteriak 'yeuh mantega ti Wihelmina (nih mentega dari Wihelmina!)” sambil melontarkan bom," ungkap Iim.

4 dari 4 halaman

Kartosoewirjo Menusuk RI dari Belakang

Yusuf juga menilai sikap Kartosoewirjo sebagai bughat (pembangkangan terhadap pemerintah yang sah). Berbeda dengan imam DI/TII yang cenderung bersikap strukturalis, bagi Yusuf yang terpenting adalah bagaimana mengislamkan masyarakatnya, bukan mengislamkan negaranya.

"Ajeungan Yusuf sering bilang kepada kami adalah tidak dibenarkan seorang Muslim 'membuat rumah di dalam rumah'," ujar Syarif Hidayat.

Karena itu meskipun sama-sama menolak Perjanjian Renville, Yusuf mengecam sikap Kartosoewirjo yang menganggap RI sudah tidak ada dengan langsung membentuk DI/TII. Baginya, yang dilakukan sang imam seperti menusuk RI dari belakang.

Terlebih saat kelompok Kartosoewirjo melakukan pemaksaan dengan kekerasan dalam menerapkan keyakinannya, sang ajengan semakin berang dan memutuskan untuk melawan mantan sahabatnya tersebut.

[noe]
Komentar Pembaca

Ingatlah untuk menjaga komentar tetap hormat dan mengikuti pedoman komunitas kami

Be Smart, Read More

Indeks Berita Hari Ini

Opini