Suara Hati Soeharto Jelang Lengser
Hati dan pikiran Soeharto tak karuan di tengah meluasnya gelombang demonstrasi Mei 1998.

Hati dan pikiran Soeharto tak karuan di tengah meluasnya gelombang demonstrasi pada 18 Mei 1998. Hari itu, Gedung MPR/DPR sudah dikuasai ribuan massa mahasiswa.
Sekitar 6 kilometer dari sana, sekitar pukul 21.00 WIB, Soeharto memanggil Nurcholish Madjid atau Cak Nur. Di rumah Jalan Cendana, Menteng, Soeharto meminta Cak Nur menceritakan situasi di luar. Menteri Sekretaris Negara Saadillah Mursyid ikut hadir dalam pertemuan.
"Karena itu saya datang ke sini tidak dengan pertimbangan bulan atau hari, pertimbangan per jam juga tidak, malah per menit juga tidak. Saya datang ke sini dengan pertimbangan detik per detik," kata Cak Nur seperti dikutip dalam "Api Islam Nurcholish Madjid" karya Ahmad Gaus AF.
Soeharto mendengarkan dengan saksama. Lalu dia bertanya, "Reformasi itu apa, sih, Cak Nur?”
Cak Nur segera menjawab. “Reformasi itu artinya Pak Harto turun.”
Mendengar itu, Soeharto tertawa sambil mengangkat tangan.
“Saya dari dulu memang ingin turun. Tetapi soalnya adalah, oleh Harmoko dan teman-temannya di MPR, saya ini diapusi, dibohongi, bahwa rakyat masih membutuhkan saya, malah didorong-dorong, dipaksa-paksa untuk naik lagi.”
Dalam pembicaraan itu, Soeharto mengatakan akan segera mengumumkan pengunduran diri.
“Kapan?” tanya Nurcholish.
“Besok,” jawab Soeharto.
“Lho, kok cepat sekali?” tanya Gus Nur.
“Lho, katanya tadi hitungannya detik.," jawab Soeharto lagi.
Keesokan harinya setelah pidato Harmoko. Tanggal 19 Mei 1998, sekitar pukul 09.00 hingga 11.32 WIB di Ruang Jepara, Istana Merdeka. Presiden Soeharto bertemu ulama dan tokoh masyarakat.
Ada Ketua Umum PBNU Abdurrachman Wahid atau Gus Dur, budayawan Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun, Direktur Yayasan Paramadina Nurcholish Madjid atau Cak Nur, Ketua Majelis Ulama Indonesia Ali Yafie, Prof Malik Fadjar mewakili Muhammadiyah, Guru Besar Hukum Tata Negara dari Universitas Indonesia Yusril Ihza Mahendra, KH Cholil Baidowi (Muslimin Indonesia), Sumarsono (Muhammadiyah), serta Achmad Bagdja dan Ma'aruf Amin dari NU.
Di hadapan para tokoh ini, Soeharto mencurahkan isi hati dan pikirannya tentang kondisi Indonesia. Termasuk kerusuhan yang terjadi.
“Cak, kalau gerakan mahasiswa mungkin tidak menakutkan, tapi kalau rakyat menjarah, saya menggigil dan ketakutan,” kata Soeharto kepada budayawan Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun.
Dari pertemuan tersebut ada tiga kompromi yang diputuskan. Pertama, Soeharto hendak membentuk Komite Reformasi. Kedua, dia akan mempercepat pemilu dan tidak bersedia dicalonkan kembali sebagai presiden. Ketiga, merombak Kabinet Pembangunan VII dan mengganti namanya dengan Kabinet Reformasi.
Soeharto meminta Cak Nur menjadi ketua Komite Reformasi. Namun, Cak Nur menolak permintaan itu. Suasana hati Soeharto makin tak menentu. Pak Harto mulai berpikir mengambil langkah untuk meninggalkan kursi presiden.
"Jika orang yang moderat seperti Cak Nur tak lagi mempercayai saya, maka sudah saatnya bagi saya untuk mundur," kata Soeharto kepada para undangan seperti dikutip Ahmad Gaus AF dalam Api Islam Nurcholish Madjid: Jalan Hidup Seorang Visioner.
Soeharto Terpukul
Tanggal 20 Mei 1998. Ada 14 menteri bidang ekonomi menggelar pertemuan di Gedung Bappenas pada sore hari. Mereka memutuskan tak bersedia duduk di Komite Reformasi maupun Kabinet Reformasi hasil perombakan Soeharto atas Kabinet Pembangunan VII.
Wakil Presiden BJ Habibie memanggil empat Menteri Koordinator dan 14 Menteri Kabinet Pembangunan VII ke rumah dinasnya di Kuningan, Jakarta Selatan. Habibie meminta Ginandjar Cs membatalkan niat mereka mundur dari kabinet.
Rapat berlangsung sekitar satu jam. Setelah itu Habibie bergegas menghubungi Menteri Sekretaris Negara Saadillah Mursjid. Dia meminta izin untuk bicara dengan Soeharto. Tak diduga, Soeharto menolak.
Malam itu di Cendana. Probosutedjo, adik Soeharto, berada di kediaman Jalan Cendana malam itu. Probosutedjo melihat Soeharto terlihat gugup dan bimbang. Diceritakan pada bagian II buku 'Kekacauan Negara di Tengah Presiden Ketiga dan Keempat,' Mantan Menteri Pariwisata di era Presiden BJ Habibie, Marzuki Usman menulis sisi lain di balik suksesi 1998 dari Presiden Soeharto kepada wakilnya, BJ Habibie.
Soeharto sempat nekat melanjutkan pemerintahannya. Dia menilai wakilnya (Habibie) tidak bisa mengatasi krisis ekonomi dan politik yang sedang melanda Indonesia saat itu.
"Kalau saya berhenti sekarang, apa wakil saya itu bisa," demikian penuturan Presiden Soeharto kepada sejumlah tokoh nasional yang dipimpin Nurcholis Majid saat menemui salah satu orang terkuat Asia itu di Jalan Cendana.
Malam itu juga, Habibie bergegas menuju Cendana untuk menemui Soeharto. Habibie membawa surat pengunduran diri para anggota kabinetnya. Hubungan keduanya dikabarkan retak sejak saat itu.
Harian Kompas menulis laporan, surat pengunduran diri 14 menteri itu baru diterima Soeharto sekitar pukul 20.00 WIB. Sang ajudan Kolonel Sumardjono yang memberikan.
Setelah menerima surat, Soeharto langsung masuk ke kamarnya. Dalam laporan itu, Soeharto digambarkan begitu kecewa saat membaca surat pengunduran diri. Sang Jenderal merasa ditinggalkan orang-orang dekatnya.
Surat itu juga membuat Soeharto semakin terpukul. Apalagi 14 menteri itu secara implisit meminta Soeharto mundur. Soeharto merasa tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh. Malam itu, Soeharto meyakinkan diri untuk mundur esok harinya, 21 Mei 1998.