Serdadu Inggris Ketar-Ketir Saat Tiba di Bandung: Ibarat Masuk Gedung Mesiu

Selasa, 28 Maret 2023 06:08 Reporter : Merdeka
Serdadu Inggris Ketar-Ketir Saat Tiba di Bandung: Ibarat Masuk Gedung Mesiu Para serdadu Inggris dari Brigade ke-37. ©2023 ImperialWarMuseum

Merdeka.com - Begitu memasuki Bandung, militer Inggris langsung memposisikan sebagai penguasa perang. Kaum nasionalis Indonesia tentu saja tak senang.

Penulis: Hendi Jo

Persis tujuh puluh tujuh tahun lalu, Bandung dihujani ribuan kertas yang diturunkan pesawat Dakota Angkatan Udara Kerajaan Inggris (RAF). Sebagian besar jatuh di atap-atap rumah penduduk. Sebagian lagi luruh ke tanah. Orang-orang saling berlomba menangkap kertas-kertas tersebut.

Di salah satu sudut Cicadas, Asikin Rachman memegang selembar kertas dengan kedua tangganya. Begitu selesai membaca, dia langsung merobek selebaran itu dalam wajah penuh kegeraman.

"Untuk kesekian kali, Inggris mengancam kami. Mereka pikir kami takut?!" ungkap lelaki kelahiran tahun 1927 itu.

Asikin tidak sendirian saat itu. Nyaris semua penghuni Bandung, seolah dilanda kemarahan massal. Para pemuda segera menyiapkan semua benda yang bisa dijadikan alat untuk melawan tentara Inggris.

Mulai bambu runcing hingga senjata-senjata api yang baru saja direbut dari tentara Jepang. Hari itu, Bandung dibakar kemarahan. Sentimen anti Inggris mencuat di mana-mana.

2 dari 3 halaman

Seperti Masuk Gedung Mesiu

Sejatinya sejak Brigade Infanteri India ke-37 pimpinan Brigadir N. MacDonald menginjakan kakinya di Bandung pada 17 Oktober 1945. Pihak Sekutu (diwakili Inggris) sudah tak merasa nyaman.

Sambutan sebagai 'tentara pembebas' yang biasa mereka dapat dari penduduk kota-kota di Asia Tenggara lainnya, seolah tak berlaku di Jawa. Alih-alih diperlakukan ramah, orang-orang Indonesia memandang kehadiran mereka dalam sorot curiga dan mengancam.

"Kami datang ke Jawa yang tengah bermasalah, ibarat memasuki sebuah gedung mesiu," ungkap Letnan Kolonel A.J.F. Doulton dalam The Fighting Cock: The Story of 23RD Indian Division.

Ketidaknyamanan itu memang terbukti setelah beberapa minggu mereka tinggal di Bandung. Kendati sudah mengisolasi kekuatan kaum nasionalis Indonesia ke bagian selatan, tak pelak ancaman-ancaman tetap berdatangan. Itu terjadi setiap mereka berupaya untuk menembus wilayah-wilayah kekuasaan TRI (Tentara Repoeblik Indonesia) dan laskar-laskar bersenjata, dengan dalih mengevakuasi kaum interniran dan tentara Jepang.

"(Sebenarnya) Inggris berniat menyapu bersih wilayah selatan Bandung juga," ungkap John R.W. Smail dalam Bandung in The Early Revolution, 1945-1946.

Namun Smail tak menyalahkan secara langsung pihak militer Inggris. Sikap agresif mereka, kata sang sejarawan, sebenarnya dipicu manuver-manuver pihak Indonesia sendiri di sepanjang jalur antara Bogor-Sukabumi-Cianjur-Bandung.

Banyaknya korban berjatuhan dari pihak Sekutu di sepanjang wilayah itu menjadi indikasi betapa rentannya posisi mereka. Insiden penting lain selama ketegangan meningkat di minggu terakhir terjadi pada 19 Maret 1946, saat serangan mortir orang-orang Indonesia menghancurkan kawasan sipil Eropa di Bandung utara hingga menimbulkan banyak korban.

3 dari 3 halaman

Memilih Tidak Melawan Inggris

Ultimatum bukan tidak pernah dilakukan pihak Inggris kepada orang-orang Indonesia. Namun itu semua dianggap angin lalu. Karena itu, Panglima Tertinggi Sekutu di Jakarta Letnan Jenderal Montagu George Nort Stopford memberikan ultimatum kedua kepada Perdana Menteri Sutan Sjahrir agar kaum nasionalis Indonesia meninggalkan Bandung selatan sampai radius 11 km dan dilarang melakukan aksi bumi hangus.

Ultimatum yang disebarkan pada 23 Maret 1946 itu, ternyata dianggap tidak cukup. Panglima Divisi India ke-23 Mayor Jenderal D.C. Hawthorn juga mengumumkan ancaman mereka melalui lewat radio.

"Jenderal Inggris itu malah menegaskan jika kita melanggar batas waktunya yakni sampai besok hari (24 Maret 1946) jam 24.00, maka Bandung selatan akan diratakan dengan tanah," kenang Asikin.

Karena pertimbangan politik dan kepentingan diplomasi, Perdana Menteri Sjahrir menyanggupi permintaan Inggris itu. Dalam Perdjuangan Kita, Sjahrir menyatakan: dengan kekuatan yang tidak seimbang sangat mustahil TRI dan laskar memenangkan pertempuran. Menurutnya, adalah lebih baik energi tentara Indonesia disimpan untuk melawan musuh sebenarnya: Belanda.

Ketika menerima Panglima Komandemen Jawa Barat Jenderal Mayor Didi Kartasasmita dan Panglima Divisi III Kolonel A.H. Nasution secara terpisah di Jakarta, Sjahrir menyatakan agar TRI di Jawa Barat bersikap taktis dan tidak menghambur-hamburkan kekuatan untuk melawan Inggris yang sebenarnya bukan musuh Republik Indonesia.

"Kerjakan saja. TRI kita adalah modal yang harus dipelihara, jangan sampai hancur dahulu. Harus kita bangun untuk kelak melawan NICA," ujar Sjahrir seperti dikutip A.H. Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Jilid III: Diplomasi Sambil Bertempur.

[noe]
Komentar Pembaca

Ingatlah untuk menjaga komentar tetap hormat dan mengikuti pedoman komunitas kami

Be Smart, Read More

Indeks Berita Hari Ini

Opini