Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Cinta & Kesetiaan Inggit pada Sukarno di Rumah Singgah Sumbar, Kini Tinggal Kenangan

Cinta & Kesetiaan Inggit pada Sukarno di Rumah Singgah Sumbar, Kini Tinggal Kenangan Rumah Singgah Bung Karno di Padang. Lisa Septri Melina

Merdeka.com - Rumah yang berlokasi di Jalan Ahmad Yani Nomor 12, Kelurahan Padang Pasir, Kecamatan Padang Barat, Kota Padang, Sumatera Barat kini telah rata dengan tanah. Rumah ini bukanlah rumah biasa, melainkan rumah singgah presiden pertama Indonesia Sukarno alias Bung Karno di ranah Minang.

Namun sayang, kini saksi bisu salah satu tempat sejarah presiden pertama Indonesia itu tidak lagi bisa disaksikan, yang tertingal hanyalah pecahan-pecahan batu bata setelah dirobohkan kurang lebih awal Februari 2023 lalu.

Kini di lahan 290 meter persegi dan luas lahan 800 meter persegi itu yang tersisa hanyalah sebuah pohon jambu berdaun lebat kurang lebih setingi empat meter yang sedang berbuah.

Di sekeliling lahan rumah tersebut dipagari dengan seng setinggi dua meter, yang nantinya bakal dibangun restoran oleh pemilik yang menghancurkan rumah tersebut. Lokasi rumah juga hampir berhadapan-hadapan dengan rumah dinas Wali Kota Padang saat ini.

Awal Mula Bung Karno Tiba di Padang

Cindy Adams dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia menceritakan, pada 1492 Bung Karno bersama istrinya Inggit Garnasih dan anaknya berada di Bengkulu di bawah pengawasan pasukan tentara Belanda.

Kemudian, sebelum Jepang menyerbu Bengkulu, Belanda membawa pergi Bung Karno beserta keluarganya bersama satu orang pembantunya untuk meningalkan Bengkulu. Bung Karno dibawa ke pelabuhan Padang di bagian Barat Sumatera untuk diungsikan ke Australia.

Demi menghindari jejak dari tentara Jepang, Belanda membawa Bung Karno ke utara menuju Muko-Muko, sekira 240 meter dari Bengkulu melewati sungai, dipenuhi berlumpur dan buaya dengan mengandalkan rakit penduduk. Kemudian dari Muko-Muko Bung Karno beserta keluarganya dibawa mengunakan pedati yang ditarik sapi.

Dijelaskan juga dalam buku itu, setiap menemui jalan yang terjal Bung Karno terpaksa berjalan kaki dan dan menarik sapi. Setelah menempuh perjalanan dari Bengkulu akhirnya Bung Karno, istrinya, anak dan pembantu serta tentara Belanda tiba di Padang.

Setibanya di Padang, Bung Karno memerintahkan Inggit bersama putrinya Sukarti yang masih berusia 8 tahun beserta Riwu yang merupakan seorang pembantu Bung Karno berusia 23 tahun menetap di sebuah hotel.

Sementara itu, Bung Karno pergi ke rumah Woworuntu, seorang sahabatnya dari Bengkulu yang tahun 1942 berada di Padang. Di sana, Bung Karno mendatangi suatu organisasi dagang, kemudian membentuk Komanda Rakyat yang bertugas sebagai pemerintah sementara untuk menjaga ketertiban.

Selanjutnya, Bung Karno mengusulkan masyarakat tidak melakukan perlawananan secara terang-terangan karena lawan terlalu kuat.

"Aku menganjurkan kepada saudara-saudaraku untuk mematuhi tentara pendudukan. Tentara Jepang sangat kuat. Sebaliknya kita sangat lemah. Tugas kita bukan untuk melawan mereka. Ingatlah, kita tidak mempunyai senjata. Kita tidak terlatih untuk bertempur. Kita semua akan dibinasakan bila kita mencoba melakukan perlawanan secara terang-terangan," isi pidato Bung Karno kepada saudara-saudaranya di Kota Padang dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat dikutip merdeka.com, Kamis (22/2).

Sementara itu, Audrey Kahin dalam buku yang berjudul Dari Pemberontakan ke Integrasi Sumatera Barat dan Politik Indonesia 1926-1998 menjelaskan, selama di Kota Padang Bung Karno menemui Kolonial Fujiyama yang merupakan seorang petinggi Tentara Jepang, yang sekaligus bertangung jawab membentuk pemerintahan di Kota Padang.

Sejak saat itu, Bung Karno memutuskan Bangsa Indonesia harus berusaha memanfaatkan Jepang untuk mencapai cita-cita demi mewujudkan kemerdekaan.

Bung Karno yang terkenal dengan kepintaran dan sikap kooperatifnya berhasil mencegah tindakan kasar tentara Jepang terhadap rakyat Sumatera Barat, termasuk membantu mencari tokoh pejuang asal Sumatera Barat yakni Chatib Suleiman beserta kawan-kawannya termasuk Anwar Sutan Saidi yang ditangkap tentara Jepang.

Dijelaskan pula, Ahmad Husein beserta kawan-kawannya dalam buku Sejarah Perjuangan Kemerdekaan RI di Minangkabau/Riah 1945-1950 jilid I, Bung Karno bersama istrinya Inggit ditingalkan begitu saja di Padang oleh tentara Jepang. Bung Karno akhirnya tinggal di rumah Dr.Waworuntu yang merupakan seorang dokter hewan.

Dari rumah itulah Bung Karno memulai aktivitasnya kembali sebagai seorang pimpinan perjuangan yang bebas dari kukungan Belanda. Selama mendiami rumah tersebut, dijelaskan pula Bung Karno tidak hanya berkutat dengan politik, tetapi juga keanekaragaman lainnya seperti memenuhi udangan dari rakyat. Kemudian Mei 1942 Bung Karno diberangkatkan kembali melalui jalur darat menuju Pulau Jawa.

Sementara itu, sejarahwan asal Sumatera Barat (Sumbar) Hasril Chaniago mengatakan, tahun 1942, Bung Karno dibawa tentara Belanda dari Bengkulu ke Australia, kemudian ditingalkan di Painan (salah satu daerah yang ada di Sumatera Barat).

Keberadaan Bung Karno yang ditingalkan di Painan tercium tokoh-tokoh perjuangan Minangkabau dan akhirnya dijemput oleh tokoh Muhammadiyah dan dibawa ke Padang.

"Bung Karno dijemput oleh barisan Muhammadiyah di bawah pimpinan Dahlan Datuk Junjungan," tutur Hasril diwawancarai Selasa (22/2).

Dia melanjutkan, setelah dijemput dari Painan, Bung Karno dibawa ke Padang dan mendiami rumah Waworuntu, yang saat ini telah rata dengan tanah.

Waworuntu merupakan seorang dokter hewan yang pernah bertugas di Bengkulu sampai tahun 1940 dan menjalin persahabatan dengan Bung Karno ketika sama-sama berada di Bengkulu.

Kemudian Waworuntu dipindahkan ke Padang. Bung Karno mendiami rumah itu sekitar Maret-Mei 1942. Rumah tersebut bukanlah rumah asli milik Waworuntu, melainkan milik Achmad Arif Datuak Majo Urang, seorang demang zaman Belanda atau kepala daerah kemudian anggota Minangkabau Raad (Dewan Minangkabau). Atau saat ini disebut DPRD.

"Ketika Bung Karno tinggal di sana, Waworuntu memberikan sebuah kamar untuk Bung Karno di bagian depan, sementara itu Waworuntu sendiri tinggal di bagian belakang," tutur dia.

Menurut Hasril, Bung Karno dikasih satu mobil oleh pemerintahan Jepang dan sering bolak balik ke Bukittingi kemudian bertemu dengan Panglima Tertinggi Jepang, Kolonel Fujiyama selama di Padang. Pertemuan tersebut akhirnya menjadikan Bung Karno memiliki akses untuk bertemu alim ulama, tokoh-tokoh besar Sumatera Barat serta melakukan perjalanan menuju Padang Japang Kabupaten Lima Puluh Kota.

"Di Padang Japang Bung Karno bertemu ulama Syech Abas Abdullah, di mana Bung Karno bertanya kepada beliau tentang dasar negara. Syech abas memberikan jawaban 'Ketuhanan'. Kemudian Mei 1942 Bung Karno dikirimkan dari Padang ke Pulau Jawa melalui Palembang," ujar dia.

Kepemilikan Rumah Setelah Kemerdekaan

Setelah Indonesia merdeka, Waworuntu dihukum mati oleh tentara Jepang, sehingga rumah tersebut dimiliki dan diambil oleh pemiliknya yakni Erna Irdam yang merupakan seorang anak dari Achmad Arif Datuak Majo Urang.

"Ia mewarisi rumah itu dari ayahnya dan tinggal di sana bersama suaminya Irdam Idris beserta anak-anaknya. Saya kenal dengan keluarganya, saya pernah ke rumah itu dengan anak tetuanya tahun 2000. Di rumah itulah dikibarkan bendera merah putih setelah proklamasi dibacakan," ujar dia.

Setelah Erna Irdam, kata Hasril, rumah itu dimiliki Wali Kota Padang dua periode 2004-2014 Fauzi Bahar. Kemudian pada tahun 1998, rumah tersebut ditetapkan sebagai cagar budaya Kota Padang sesuai Nomor 3 Tahun 1998.

Memori Anak Pemilik Rumah Singgah Bung Karno

Andre Indrawan Irdam, anak Erna Irdam sangat menyayangkan rumah singgah Bung Karno telah diruntuhkan. Rumah yang dibangun sekitar tahun 1930 kini telah rata dengan tanah.

Dia mengatakan, rumah itu didirikan sang kakek Achmad Arif Datua Majo Urang. Menurut dia, rumah tersebut tidak bisa selalu ditinggali karena sering digunakan tokoh-tokoh pergerakan serta dijadikan markas saat perjuagan revolusi kemerdekaan Indonesia.

Rumah itu juga pernah dipakai pihak militer saat pergolokan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PPRI) di Padang.

"Penulisan nama almarhumah ibu saya muncul di media itu salah, yang betulnya Erna Irdam, bukan Emma Idham," tutur dia.

Menurut dia, ibu dan ayahnya menikah di rumah itu tahun 1955. Dari pernikahan itu melahirkan 5 anak.

"Saya dan kakak saya dilahirkan di Bukittinggi, sedangkan 3 adik kami dilahirkan saat sudah pindah ke Jakarta," kata Andre.

Andre mengatakan, tahun 1958 ayahnya Irdam Idris pada saat itu menjabat sebagai kepala Pekerja Umum dan Tenaga Listrik (PUTL) Sumatera Tengah. Pada saat itu juga terjadi pegolakan PRRI dan memboyong seluruh keluarganya ke Jakarta serta meninggalkan rumah beserta seluruh isinya.

"Rumah yang berlokasi Jalan Ahmad Yani Nomor 12, Kelurahan Padang Pasir, Kecamatan Padang Barat itu betul-betul kembali ke keluarga kami pada tahun 1960," tutur dia.

Andre mengaku memori masa kecilnya masih melekat kuat akan suasana rumah tersebut. Dia beserta keluarganya sering bolak-balik Padang dari Jakarta untuk bertemu dengan nenek dan kakeknya yang menempati rumah tersebut.

Semasa berada di rumah itu, Andre banyak menemukan benda-benda peningalan Bung Karno seperti tulisan Bung Karno, alat tulis, hingga meja rias. "Hingga sekarang ada dari beberapa yang saya simpan di Jakarta, karena saya berpikir itu akan berguna suatu saat nanti," kata dia.

Dia menambahkan, rumah itu sudah direnovasi. Renovasi agak besar dilakukan 1960, seperti pergantian atap ke atap seng, atap seng dari genteng. Begitu juga dengan lantai yang semulai terbuat dari kayu diubah menjadi ubin.

"Kami melakukan renovasi, tetapi tidak berubah bentuk asli bangunan rumah tersebut," kenang dia.

Bagian Rumah

Rumah itu terdiri dari 2 kamar tidur. Kamar tidur tamu di bagian depan. Rumah itu didesain membentuk ruang tamu menyatu dengan ruang keluarga serta ruang makan sehingga menjadi seperti ruangan tengah.

Dia mengatakan, di dalam rumah juga terdapat dapur yang ukuran cukup luas, kamar mandi dalam dan garasi di samping. Di belakang juga terdapat kamar pembantu, kamar mandi pembantu hingga gudang.

"Saya masih ingat betul, rumah itu dilengkapi dengan ventilasi di setiap jendelanya, hingga suasana di dalam rumah tidak pernah terasa panas," tutur Andre melalui sambungan telepon, Rabu (22/2).

Pada 2009, Andre menuturkan sang ibu yang semakin tua sehingga tidak mampu untuk sering bolak balik dari Jakarta ke Padang, akhirnya dengan beberapa pertimbangan itu dijual kepada mantan Wali Kota Padang Fauzi Bahar. Dengan perjanjian pembeli akan dirawat serta tidak mengubah bentuk rumah kerena sudah ditetapkan sebagai cagar budaya.

Andre mengaku ikut mendampingi sang ibunda bertransaksi serah terima rumah itu ke pembeli. Oleh sebab itu dia mengaku sangat sedih mengetahui rumah tersebut sudah rata dengan tanah.

Padahal menurut Andre, rumah yang pernah ditempati Bung Karno tahun 1942 dan ditetapkan sebagai cagar budaya oleh Wali Kota Padang tahun 1998 itu mempunyai kenangan mendalam bagi keluarganya.

"Atas kesepakatan itulah ibu saya mau menjual rumah kepada mantan Wali Kota Padang saat itu karena bersedia mempertahankan bentuk dan merawatnya," tutur dia.

Andre menambahkan, terakhir menyambambangi rumah itu pada empat tahun silam. Saat itu dikatakan Andre, melihat rumah itu tidak lagi dirawat dan mulai berantakan.

"Terakhir saya membawa Ibu saya ke Padang sebelum meninggal Oktober 2019 lalu, namun Ibu menangis karena rumah tersebut sudah tidak dirawat. Marwahnya sama sekali sudah hilang," tutur dia.

Pemkot Padang Dinilai Buta Sejarah

Setelah bangunan itu dirobohkan, teriakan 'Pemkot Padang buta sejarah' bergema dalam aksi demonstrasi di depan lahan rumah singgah Bung Karno di Kota Padang, Sumatera Barat, Senin (20/2). Unjuk rasa digelar setelah bangunan bersejarah itu rata dengan tanah.

Aksi bertajuk 'Anak Ideologis Bung Karno Menggugat' itu diikuti dari pelbagai elemen di Sumatera Barat, mulai dari masyarakat umum, sejarawan, hingga aktivis Gerakan Nasional Mahasiswa Indonesia (GNMI) Sumatera Barat

Demonstrasi berlangsung di depan lahan rumah singgah Bung Karno yang telah hancur rata dengan tanah, tepatnya di Jalan Ahmad Yani Nomor 12, Kelurahan Padang Pasir, Kecamatan Padang Barat, Kota Padang. Peserta aksi membawa sejumlah spanduk bertuliskan 'Anak Ideologis Bung Karno Menggugat', 'Buktikan Perkataanmu Nadiem', "Pemkot Padang Buta Sejarah, Urang lah Tau'.

"Ini merupakan suatu cara sistematis untuk menghilang sejarah Kota Padang, Bung Karno adalah adalah seorang tokoh yang berjasa bagi RI dan menjalin hubungan harmonis dengan masyarakat Minang," kata Koordinator aksi Pandu Putra Utama.

Penjelasan Pemkot Padang

Sementara itu, Wali Kota Padang Hendri Septa meminta kepada masyarakat untuk tidak heboh terkait robohnya rumah singah Bung Karno di Kota Padang. Dia mengatakan Pemkot Padang telah mendapatkan titik temu terkait permasalahan itu.

"Tidak usah ribut-ribut terkait robohnya rumah singah Bung Karno ini. Saya tidak mau menimbulkan polemik. Jika kita tahu tentu kita tidak akan mengizinkan rumah itu dirobohkan," ujar Hendri kepada wartawan, Rabu (22/2).

Menurut dia, Pemkot Padang maupun Pemerintah Provinsi telah bertemu pemilik lahan saat ini dan pemiliknya bersedia membangun kembali replika rumah singgah Bung Karno.

"Kita telah bertemu pemiliknya, dan pemiliknya bersedia membangun kembali replika rumah singgah Bung Karno di tempat dan lokasi semula," ujar Hendri.

Dia menjelaskan, menurut data rumah itu ditetapkan sebagai cagar budaya tahun 1998. Dan untuk pembangunan kembali rumah tersebut, Pemkot Padang juga telah mendapatkan arahan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

"Rumah ini milik pribadi, yang bersangkutan bersedia membangun kembali," ujar dia.

Sementara itu, pemilik rumah saat ini Soehinto Sadikin mengaku tidak mengetahui nilai sejarah yang ada pada bangunan tersebut, termasuk tanda-tanda bangunan sudah ditetapkan sebagai cagar budaya.

Menurut dia, rumah diruntuhkan sekitar 3 minggu yang lalu untuk dibangun sebuah restoran, peruntuhan juga sesuai dengan dasar sesuai Keterangan Rencana Kota (KRK) dari Dinas PUPR Kota Padang.

"Saya beli tahun 2017 dari Andreas Sopiandi, sebelummya Andreas membelinya dari Fauzi Bahar," kata Soehinto, Selasa (21/2).

"Melihat situasi saat ini kami akan berkordinasi dengan Pemkot, kami bersedia untuk membangun kembali replika rumah singgah Bung Karno di tempat semula," tutur dia.

Nilai Bangunan Ulang Rumah Singgah Bung Karno Tidak Sama

Sejarawan Universitas Andalas (Unand), Sumatera Barat Gusti Asnan menyayangkan bangunan yang jadi bukti sejarah pernah disinggahi Presiden Indonesia itu dihancurkan.

Dia berharap ke depan, Pemkot Padang dan pihak terkait menata dan lebih memperhatikan benda-benda cagar budaya agar tidak terjadi lagi kejadian serupa.

"Ini sangat disayangkan, karena bukti sejarah Bung Karno pernah tinggal di Kota Padang saat ini telah rata dengan tanah. Meskipun nantinya setelah hebohnya pemberitaan ini akan dibangun kembali tentu nilainya tidak akan sama. Bung karno pernah menempati rumah itu selama 3 bulan," ujar Gusti, Sabtu (18/2).

(mdk/gil)
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
Rumah Kuno di Salatiga Ini Jadi Saksi Bisu Pertemuan Pertama Presiden Soekarno dengan Istri Keempatnya, Begini Penampakannya
Rumah Kuno di Salatiga Ini Jadi Saksi Bisu Pertemuan Pertama Presiden Soekarno dengan Istri Keempatnya, Begini Penampakannya

Warga setempat mengaku pernah melihat sesosok menyerupai Bung Karno di rumah tersebut

Baca Selengkapnya
Sosok Yusof Ishak, Presiden Pertama Singapura yang Menjabat hingga Akhir Hayatnya, Ternyata Keturunan Minangkabau
Sosok Yusof Ishak, Presiden Pertama Singapura yang Menjabat hingga Akhir Hayatnya, Ternyata Keturunan Minangkabau

Dalam sejarah berdirinya negara Singapura, sosok presiden pertama yang menjabat adalah keturunan Indonesia.

Baca Selengkapnya
Bikin Nostalgia, Intip Suasana Sederhana Pemilu Tahun 1971
Bikin Nostalgia, Intip Suasana Sederhana Pemilu Tahun 1971

Tahun 1971, Presiden Soeharto mengamati langsung suasana pemilihan di salah satu TPS.

Baca Selengkapnya
Kamu sudah membaca beberapa halaman,Berikut rekomendasi
video untuk kamu.
SWIPE UP
Untuk melanjutkan membaca.
Mengunjungi Pesanggrahan Kotanopan Mandailing, Saksi Bisu Presiden Soekarno Persatukan Rakyat Sumatra
Mengunjungi Pesanggrahan Kotanopan Mandailing, Saksi Bisu Presiden Soekarno Persatukan Rakyat Sumatra

Di pesanggrahan ini terpajang bingkai foto Presiden Soekarno saat melakukan pidato di tangga pintu masuk.

Baca Selengkapnya
Menilik Rumah Fatmawati di Bengkulu, Jadi Saksi Bisu Kisah Percintaan Bersama Presiden Soekarno
Menilik Rumah Fatmawati di Bengkulu, Jadi Saksi Bisu Kisah Percintaan Bersama Presiden Soekarno

Peninggalan rumah Fatmawati di Bengkulu ini dulunya menjadi saksi bisu pertemuan dirinya dengan Presiden Soekarno saat pengasingan.

Baca Selengkapnya
Presiden Singgung Jalan Solo-Purwodadi Rusak, Hasto: Bagus Jokowi Bantu Kepemimpinan Ganjar
Presiden Singgung Jalan Solo-Purwodadi Rusak, Hasto: Bagus Jokowi Bantu Kepemimpinan Ganjar

Seharusnya jalan yang bergelombang memang semestinya dibeton.

Baca Selengkapnya
Didampingi Prabowo, Jokowi Resmikan Rumah Sakit Panglima Besar Soedirman di Bintaro
Didampingi Prabowo, Jokowi Resmikan Rumah Sakit Panglima Besar Soedirman di Bintaro

RSPPN ini sebagai wujud penghargaan dan penghormatan atas konstribusi luar biasa Panglima Besar Soedirman dalam sejarah perjuangan bangsa.

Baca Selengkapnya
Lukisannya Dikoleksi Presiden Soekarno, Ini Sosok Nasjah Djamin Sang Maestro dan Penulis dari Tanah Batak
Lukisannya Dikoleksi Presiden Soekarno, Ini Sosok Nasjah Djamin Sang Maestro dan Penulis dari Tanah Batak

Nasjah bukanlah keturunan seniman, bahkan tidak ada keluarganya satupun yang miliki bakat di bidang seni.

Baca Selengkapnya