Pakai Tangan Besi, Daendels Gagal Total di Bisnis Kopi

Jumat, 31 Maret 2023 05:07 Reporter : Merdeka
Pakai Tangan Besi, Daendels Gagal Total di Bisnis Kopi Gubernur Jenderal H.W. Daendels. ©2023 Merdeka.com

Merdeka.com - Bertekad ingin menyenangkan Rajanya, Gubernur Jenderal Daendels melakukan pembenahan dengan tangan besi di wilayah koloni. Dia menyasar bisnis kopi sebagai uji cobanya yang pertama.

Penulis: Hendi Jo

Pada 5 Juni 1806, Lodewijk Napolein diangkat sebagai raja muda di Belanda oleh Kaisar Napoleon, penguasa Prancis. Untuk membenahi koloni Hindia Belanda yang otomatis jatuh ke tangan Prancis, Raja Lodewijk lantas menugaskan H.W. Daendels sebagai gubernur jenderal.

Ketika tiba di tanah Jawa pada 5 Januari 1808, Daendels menemukan kenyataan kondisi ekonomi Hindia Belanda sepeninggal VOC (Maskapai Perdagangan Hindia Timur) ada dalam situasi 'rusak berat' akibat praktik korupsi.

Selain ingin memperbaiki sistem administrasi di Pulau Jawa yang kacau balau, penganut ide-ide Revolusi Prancis yang fanatik itu, bertekad pula untuk mendongkrak ekonomi di tanah Jawa demi lancarnya pemasukan ke kas Kerajaan Belanda.

Sebagai solusi, Daendels lantas melirik bisnis kopi. Menurut Prawoto dalam The Road to Java Coffee, sang gubernur jenderal memberi perhatian khusus terhadap pengelolaan kopi di Jawa. Alasannya, barang itu merupakan komoditas dunia yang tengah meroket harganya. Di masa sebelumnya, kopi juga telah memberi begitu banyak masukan bagi kas VOC.

2 dari 4 halaman

Paksa Tanam Kopi

Langkah pertama yang dilakukan Daendels adalah membentuk Inspektur Jenderal Tanaman Kopi pada 9 Juni 1808. Institusi yang dipimpin oleh C. van Winkelman itu bertugas mengatur semua yang berhubungan dengan bisnis kopi di Jawa. Mulai dari pembukaan lahan perkebunan kopi hingga penyetoran biji kopi ke seluruh gudang pemerintah di Jawa.

Dalam tesisnya yang berjudul Bupati Priangan, Kedudukan dan Peranannya Pada Abad ke-19, sejarawan U. Sobana Hardjasaputra menyebutkan bahwa setiap tahun Winkelman wajib melaporkan daftar tanaman kopi di seluruh Jawa kepada Daendels. Dia juga yang bertanggungjawab terhadap peraturan yang mewajibkan setiap keluarga di Jawa untuk menanam lima ratus batang pohon kopi.

"Padahal pada waktu sebelumnya hanya diwajibkan menanam dua ratus batang pohon kopi," tulis Hardjasaputra.

Seiring diberlakukannya kewajiban tersebut, Daendels mengangkat pula tenaga pengawas perkebunan yang diberi pangkat militer sederajat dengan kapten. Seorang Kapten Kopi diharuskan menyetor 300 pikul kopi (perpikul=126 pon) kepada pemerintah Hindia Belanda. Andaikan dia tidak bisa memenuhi target tersebut, maka penurunan pangkat menjadi Letnan Pertama akan menantinya. Begitu seterusnya hingga dia berhasil kembali memenuhi kuota 300 pikul.

Soal harga kopi pun diintervensi langsung Daendels. Pada 4 April 1809, dia menetapkan harga kopi perpikul seberat 225 pon adalah 4 ringgit uang perak bagi orang biasa. Sedangkan khusus untuk kopi yang berasal dari tangan para bupati, perpikulnya (seberat 126-128 pon) dihargai dengan uang seringgit.

Demi memudahkan identifikasi, pada 1808-1809 Daendels pun membagi wilayah Priangan menjadi dua: wilayah penghasil kopi dan wilayah bukan penghasil kopi. Produsen tradisional kopi seperti Cianjur, Sumedang, Bandung dan Parakanmuncang tentu saja dimasukan dalam kelompok pertama. Sedangkan wilayah-wilayah lainnya seperti Limbangan, Sukapura dan Galuh dimasukan dalam kelompok kedua.

3 dari 4 halaman

Tangan Besi Daendels

Dari segi sosial-politik, Daendels pun berupaya mengeliminasi peran para pelaku tradisional yang utama dalam bisnis kopi. Para menak Sunda yang terdiri dari bupati dan santana dijadikan Daendels hanya sebagai bawahannya dan secara resmi merupakan bagian dari struktur pemerintahan Hindia Belanda.

Menurut sejarawan Bondan Kanumoyoso, untuk menghilangkan hak-hak istimewa penguasa tradisional, Daendels menerapkan sistem gaji buat mereka. Di mata sang gubernur jenderal, efisiensi birokrasi itu semata-mata bukan karena soal ekonomi.

"Sebagai penganut garis keras ide-ide Revolusi Prancis, Daendels sangat membenci sistem feodal yang sudah mendarahdaging di kalangan para menak Sunda. Karena itu, dia berupaya memberantasnya," ungkap dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) tersebut.

Efisiensi pemberlakuan peraturan itu dilaksanakan lewat tangan besi oleh Daendels. Dia tak segan memecat para bupati yang tak menuruti perintahnya. Sebagai contoh, dia memecat Bupati Parakanmuncang Tumenggung Aria Wira Tanureja yang menolak untuk menanam 300.000 pohon kopi di wilayahnya.

4 dari 4 halaman

Sindiran untuk Daendeles

Ketegasan Daendels memunculkan rasa segan kaum pribumi kepadanya. Di Priangan, orang-orang menjulukinya sebagai Menak Guntur. Itu mengacu kepada, suara sang gubernur yang jika dalam keadaan marah bisa mengeluarkan suara yang keras laiknya guntur.

Namun di lain pihak, Sang Menak Guntur juga mengupayakan pembangunan infrastruktur di Jawa seperti jalan raya pos (groote postweg). Tujuannya memudahkan surat menyurat antar pejabat Hindia Belanda dan melancarkan jalur logistik jika terjadi penyerangan Inggris ke Jawa. Selain itu, upaya itu juga untuk memudahkan pengangkutan hasil bumi (termasuk kopi) dari pelosok ke pelabuhan-pelabuhan besar.

Kendati Daendels sudah mengupayakan berbagai langkah radikal untuk memajukan bisnis kopi, namun di masa dia berkuasa bisnis kopi justru terjun bebas. Sebagai perbandingan saat awal Daendels berkuasa pada 1808, ekspor kopi dari Jawa berjumlah 7.289 ton. Jumlah itu menurun tajam ketika akhir kekuasaannya: hanya 1.224 ton.

Bisa jadi penurunan produksi kopi Jawa asal Priangan terjadi karena soal politik. Hubungan buruk antara para menak Sunda dengan Daendels menjadikan dukungan pengembangan bisnis kopi tersendat.

"Citra Daendels memang buruk di kalangan para penguasa tradisional karena kebijakan-kebijakannya dinilai tidak populis," ungkap Bondan Kanumoyoso.

[noe]
Komentar Pembaca

Ingatlah untuk menjaga komentar tetap hormat dan mengikuti pedoman komunitas kami

Be Smart, Read More

Indeks Berita Hari Ini

Opini