Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Profil

Hasyim Rangkuti

Profil Hasyim Rangkuti | Merdeka.com

Hasyim Rangkuti atau yang lebih dikenal dengan nama pena Hamsad Rangkuti  adalah seorang sastrawan Indonesia. Hasyim Rangkuti lahir di Titikuning, Medan, Sumatera Utara pada tanggal 7 Mei 1943. Bersama lima saudaranya, Hamsad melewatkan masa kecilnya di Kisaran, Asahan, Sumatera Utara. Sejak kecil, Hasyim selalu menemani bapaknya yang bekerja sebagai penjaga malam sekaligus merangkap sebagai guru mengaji di daerahnya. Hasyim kecil juga terbiasa membantu ibunya mencari makan dengan menjadi penjual buah di pasar dan buruh pencari ulat di perkebunan tembakau. Karena tak mampu berlangganan koran dan membeli buku, Hasyim rajin membaca koran tempel di kantor lurah setempat.

Dari koran-koran itu dia mulai mengenal karya-karya pengarang terkenal, seperti Anton Chekov, Ernest Hemingway, Maxim Gorki, O. Henry, dan Pramoedya Ananta Toer. Dia pun mulai tertarik untuk menulis karya sastra. Cerita pendek pertamanya dia tulis saat masih duduk di bangku SMP di Tanjungbalai, Asahan, pada tahun 1959. Cerpen pertamanya yang berjudul "Sebuah Nyanyian di Rambung Tua" itu dimuat di sebuah koran di Medan. Karena kekurangan biaya, maka dengan terpaksa Hasyim hanya bisa menyelesaikan sekolahnya hingga kelas 2 SMA pada tahun 1961.

Hasyim pun akhirnya bekerja sebagai pegawai sipil di Kantor Kehakiman Komando Daerah Militer II Bukit Barisan di Medan. Walaupun telah memiliki pekerjaan tetap, Hasyim masih tetap ingin menjadi pengarang. Pada tahun 1964, dia memutuskan untuk masuk rombongan delegasi pengarang Sumatera Utara pada Konferensi Karyawan Pengarang Seluruh Indonesia (KKPI) di Jakarta dan sejak itu menetap di Jakarta dan tinggal di Balai Budaya, Jalan Gereja Theresia, Jakarta Pusat.

Hasyim menjadi sala satu seniman dalam penandatangan Manifes Kebudayaan pada 1964 di mana para seniman itu menolak politik karena sebelumnya Presiden Soekarno melarang kelompok itu karena dinilai menyeleweng dan ingin menyaingi Manifesto Politik yang ia tetapkan. Kini Hamsad telah mencapai cita-citanya menjadi penulis cerpen yang berhasil.

Sejumlah cerpennya telah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, seperti Sampah Bulan Desember yang diterjemahkan kedalam bahasa Inggris dan Sukri Membawa Pisau Belati yang diterjemahkan kedalam bahasa Jerman. Dua cerpen dari pemenang Cerita Anak Terbaik 75 Tahun Balai Pustaka tahun 2001 ini, Umur Panjang Untuk Tuan Joyokoroyo dan Senyum Seorang Jenderal pada 17 Agustus dimuat dalam Beyond the Horizon, Short Stories from Contemporary Indonesia yang diterbitkan oleh Monash Asia Institute.

Tiga kumpulan cerpennya Lukisan Perkawinan dan Cemara di tahun 1982 serta Sampah Bulan Desember di tahun 2000, masing-masing diterbitkan oleh Pustaka Sinar Harapan, Grafiti Pers, dan Kompas. Novel pertamanya, Ketika Lampu Berwarna Merah memenangkan sayembara penulisan roman DKI, yang kemudian diterbitkan oleh Kompas pada 1981. Bagi Hisyam, proses kreatif lahir dari daya imajinasi dan kreativitas. 

Riset dan Analisa: Fathimatuz Zahroh

Profil

  • Nama Lengkap

    Hasyim Rangkuti

  • Alias

    Hamsad Rangkuti

  • Agama

  • Tempat Lahir

    Titikuning, Medan, Sumatera Utara

  • Tanggal Lahir

    1943-05-07

  • Zodiak

    Taurus

  • Warga Negara

    Indonesia

  • Biografi

    Hasyim Rangkuti atau yang lebih dikenal dengan nama pena Hamsad Rangkuti  adalah seorang sastrawan Indonesia. Hasyim Rangkuti lahir di Titikuning, Medan, Sumatera Utara pada tanggal 7 Mei 1943. Bersama lima saudaranya, Hamsad melewatkan masa kecilnya di Kisaran, Asahan, Sumatera Utara. Sejak kecil, Hasyim selalu menemani bapaknya yang bekerja sebagai penjaga malam sekaligus merangkap sebagai guru mengaji di daerahnya. Hasyim kecil juga terbiasa membantu ibunya mencari makan dengan menjadi penjual buah di pasar dan buruh pencari ulat di perkebunan tembakau. Karena tak mampu berlangganan koran dan membeli buku, Hasyim rajin membaca koran tempel di kantor lurah setempat.

    Dari koran-koran itu dia mulai mengenal karya-karya pengarang terkenal, seperti Anton Chekov, Ernest Hemingway, Maxim Gorki, O. Henry, dan Pramoedya Ananta Toer. Dia pun mulai tertarik untuk menulis karya sastra. Cerita pendek pertamanya dia tulis saat masih duduk di bangku SMP di Tanjungbalai, Asahan, pada tahun 1959. Cerpen pertamanya yang berjudul "Sebuah Nyanyian di Rambung Tua" itu dimuat di sebuah koran di Medan. Karena kekurangan biaya, maka dengan terpaksa Hasyim hanya bisa menyelesaikan sekolahnya hingga kelas 2 SMA pada tahun 1961.

    Hasyim pun akhirnya bekerja sebagai pegawai sipil di Kantor Kehakiman Komando Daerah Militer II Bukit Barisan di Medan. Walaupun telah memiliki pekerjaan tetap, Hasyim masih tetap ingin menjadi pengarang. Pada tahun 1964, dia memutuskan untuk masuk rombongan delegasi pengarang Sumatera Utara pada Konferensi Karyawan Pengarang Seluruh Indonesia (KKPI) di Jakarta dan sejak itu menetap di Jakarta dan tinggal di Balai Budaya, Jalan Gereja Theresia, Jakarta Pusat.

    Hasyim menjadi sala satu seniman dalam penandatangan Manifes Kebudayaan pada 1964 di mana para seniman itu menolak politik karena sebelumnya Presiden Soekarno melarang kelompok itu karena dinilai menyeleweng dan ingin menyaingi Manifesto Politik yang ia tetapkan. Kini Hamsad telah mencapai cita-citanya menjadi penulis cerpen yang berhasil.

    Sejumlah cerpennya telah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, seperti Sampah Bulan Desember yang diterjemahkan kedalam bahasa Inggris dan Sukri Membawa Pisau Belati yang diterjemahkan kedalam bahasa Jerman. Dua cerpen dari pemenang Cerita Anak Terbaik 75 Tahun Balai Pustaka tahun 2001 ini, Umur Panjang Untuk Tuan Joyokoroyo dan Senyum Seorang Jenderal pada 17 Agustus dimuat dalam Beyond the Horizon, Short Stories from Contemporary Indonesia yang diterbitkan oleh Monash Asia Institute.

    Tiga kumpulan cerpennya Lukisan Perkawinan dan Cemara di tahun 1982 serta Sampah Bulan Desember di tahun 2000, masing-masing diterbitkan oleh Pustaka Sinar Harapan, Grafiti Pers, dan Kompas. Novel pertamanya, Ketika Lampu Berwarna Merah memenangkan sayembara penulisan roman DKI, yang kemudian diterbitkan oleh Kompas pada 1981. Bagi Hisyam, proses kreatif lahir dari daya imajinasi dan kreativitas. 

    Riset dan Analisa: Fathimatuz Zahroh

  • Pendidikan

  • Karir

    • Penulis
    • Pemimpin redaksi majalah Horison

  • Penghargaan

    • Penghargaan Insan Seni Indonesia Mal Taman Anggrek & Musicafe (1999)
    • Penghargaan Sastra Pemerintah DKI (2000)
    • Penghargaan Khusus Kompas atas kesetiaan dalam penulisan cerpen (2001)
    • Penghargaan Sastra Pusat Bahasa (2001)
    • Pemenang Cerita Anak Terbaik 75 Tahun Balai Pustaka (2001) untuk "Umur Panjang untuk Tuan Joyokoroyo" dan Senyum "Seorang Jenderal pada 17 Agustus"
    • SEA Write Award (2008)
    • Khatulistiwa Literary Award 2003 untuk Bibir dalam Pispot
    • Hadiah Harapan Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 1981 untuk Ketika Lampu Berwarna Merah

Geser ke atas Berita Selanjutnya