Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Wajah Dunia Setelah Pandemi Corona

Wajah Dunia Setelah Pandemi Corona Masjid di sejumlah negara sepi gara-gara corona. ©AHMAD GHARABLI/AFP

Merdeka.com - Saat ini infeksi Covid-19 meluas ke 176 negara, pandemi ini adalah ancaman paling signifikan terhadap kemanusiaan sejak Perang Dunia II.

Munculnya wabah virus corona pada bulan Desember 2019 adalah krisis yang telah diperkirakan sebelumnya. Spesialis penyakit menular telah menggaungkan kekhawatiran tentang percepatan wabah selama beberapa dekade.

Demam berdarah dengue (DBD), ebola, SARS, flu burung, dan Zika hanya puncak gunung es. Sejak 1980, lebih dari 12.000 wabah terdokumentasi telah menginfeksi dan membunuh puluhan juta manusia di seluruh dunia, banyak dari korban berasal dari negara miskin.

Pada 2018, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendeteksi enam wabah dari delapan "penyakit prioritas" untuk pertama kalinya.

Ketika menghadapi kedaruratan Covid-19, kita perlu berpikir secara mendalam tentang mengapa komunitas internasional begitu tidak siap untuk wabah yang begitu tak terhindarkan ini. Ini bukan pertama kalinya kita menghadapi bencana global.

Seperti apa kondisi dunia setelah pandemi virus corona ini? Ian Goldin, profesor Globalisasi dan Pembangunan dari Universitas Oxford dan Robert Muggah, Dosen Tidak Tetap di Universitas Katolik Kepausan Rio de Janeiro menuliskan analisisnya yang dipublikasikan pertama kali di The Conversation.

Ketika dunia menjadi lebih terhubung, entitas di dalamnya juga menjadi lebih saling bergantung. Ini adalah kekurangan dari globalisasi, yang jika dibiarkan tidak terkendali berarti kita akan semakin menderita, risiko sistemik yang semakin berbahaya.

Salah satu demonstrasi paling gamblang adalah krisis keuangan 2008. Keruntuhan ekonomi mencerminkan kelalaian otoritas publik dan para ahli dalam mengelola kompleksitas yang semakin meningkat dari sistem keuangan global. Tidak mengherankan, kecerobohan elit politik dan ekonomi dunia merugikan mereka saat pemungutan suara.

Didorong oleh kemarahan publik, politikus ini mengikuti tradisi kuno, menyalahkan pihak lain dan memalingkan muka dari dunia luar. Presiden AS, khususnya, menolak pemikiran ilmiah, melontarkan berita palsu, dan menghindari sekutu tradisional dan lembaga internasional.

Dengan bukti infeksi meningkat dengan cepat, sebagian besar politikus nasional sekarang mengakui dampaknya terhadap manusia dan ekonomi akibat Covid-19. Prediksi terburuk Pusat Pengendalian Penyakit (CDC), sekitar 160 juta hingga 210 juta orang Amerika akan terinfeksi pada Desember 2020.

Sebanyak 21 juta orang akan membutuhkan rawat inap dan antara 200.000 dan 1,7 juta orang bisa meninggal dalam setahun. Peneliti Universitas Harvard meyakini 20 persen hingga 60 persen populasi global dapat terinfeksi, dan secara konservatif memperkirakan 14 juta hingga 42 juta orang mungkin kehilangan nyawa mereka. Demikian dikutip dari The Independent, Kamis (9/4).

Sejauh mana angka kematian dapat ditekan tergantung pada seberapa cepat masyarakat dapat mengurangi infeksi baru, mengisolasi orang sakit dan memobilisasi layanan kesehatan, dan pada berapa lama kekambuhan dapat dicegah dan diatasi. Tanpa vaksin, Covid-19 akan menjadi kekuatan yang sangat mengganggu selama bertahun-tahun.

Ketika Kerusakan Makin Parah

Pandemi ini akan sangat menghancurkan bagi masyarakat miskin dan rentan di banyak negara, dapat memicu risiko meningkatnya kesenjangan. Di AS, lebih dari 60 persen populasi orang dewasa menderita penyakit kronis. Sekitar satu dari delapan orang Amerika hidup di bawah garis kemiskinan - lebih dari tiga perempat dari mereka hidup dari gaji fan lebih dari 44 juta orang di AS tidak memiliki cakupan kesehatan sama sekali.

Tantangannya bahkan lebih dramatis di Amerika Latin, Afrika dan Asia Selatan, di mana sistem kesehatan jauh lebih lemah dan pemerintah kurang mampu merespons. Risiko laten ini diperparah oleh kegagalan para pemimpin seperti Jair Bolsonaro di Brasil atau Narendra Modi di India untuk menangani masalah ini dengan cukup serius.

Dampak ekonomi dari Covid-19 akan sangat dramatis di mana-mana. Tingkat keparahan dampak tergantung pada berapa lama pandemi berlangsung dan bagaimana pemerintah nasional dan internasional merespons. Tetapi bahkan dalam kasus terbaik, itu akan jauh melebihi krisis ekonomi 2008 dalam skala dan dampak globalnya, yang mengarah pada kerugian yang bisa melebihi USD 9 triliun atau lebih dari 10 persen dari PDB global.

Di tengah komunitas warga miskin di mana banyak individu berbagi satu kamar dan harus bekerja setiap hari untuk bisa makan sehari-hari, seruan isolasi sosial akan sangat sulit, bahkan tidak mungkin untuk dipatuhi. Di seluruh dunia, ketika individu kehilangan pendapatannya, seharusnya terjadi peningkatan tunawisma dan kelaparan.

Di AS tercatat 3,3 juta orang telah mengajukan tunjangan pengangguran, dan di seluruh Eropa pengangguran juga mencapai rekor tertinggi. Tetapi sementara di negara-negara kaya ada beberapa jaring pengaman, meskipun compang-camping, negara-negara miskin sama sekali tidak memiliki kapasitas untuk memastikan bahwa tidak ada yang mati kelaparan.

Dengan putusnya rantai pasokan, ketika pabrik tutup dan pekerja dikarantina, dan konsumen dicegah bepergian, berbelanja - selain untuk makanan - atau terlibat dalam kegiatan sosial, tidak ada ruang untuk stimulus fiskal. Sementara itu kebijakan moneter terhalang karena suku bunga sudah mendekati nol.

Oleh karena itu pemerintah harus fokus pada penyediaan semua kebutuhan dasar dengan pendapatan dasar, untuk memastikan bahwa tidak ada yang kelaparan akibat krisis. Sementara konsep jaminan pendapatan dasar tampaknya utopis hanya sebulan yang lalu, sekarang perlu menjadi fokus utama dari setiap agenda pemerintah.

Memperburuk Ketimpangan

Pandemi Covid-19 memberikan titik balik dalam urusan nasional dan global. Ini menunjukkan saling ketergantungan kita dan bahwa ketika risiko muncul kita beralih ke pemerintah, bukan sektor swasta, untuk menyelamatkan kita.

Respons ekonomi dan medis yang belum pernah terjadi sebelumnya di negara-negara kaya sama sekali tidak tersedia bagi banyak negara berkembang. Akibatnya implikasi tragisnya akan jauh lebih parah dan berlangsung lama di negara-negara miskin. Kemajuan dalam pembangunan dan demokrasi di sejumlah masyarakat Afrika, Amerika Latin dan Asia akan terbalik. Seperti iklim dan risiko lainnya, pandemi global ini akan secara dramatis memperburuk ketimpangan di dalam dan di antara negara-negara di dunia.

Marshall Plan global, dengan suntikan dana besar-besaran, sangat dibutuhkan untuk menopang pemerintah dan masyarakat.

Pandemi Covid-19 bukanlah lonceng kematian globalisasi, seperti yang diprediksi beberapa pengamat. Saat perjalanan dan perdagangan dibatasi selama pandemi, akan ada kontraksi atau deglobalisasi.

Pandemi akan berdampak pada pertumbuhan robotika, kecerdasan buatan, dan pencetakan tiga dimensi, seiring dengan konsumen yang mengharapkan pengiriman cepat produk-produk yang semakin disesuaikan.

Bukan hanya manufaktur yang sedang diotomatisasi, tetapi juga layanan seperti pusat panggilan dan proses administrasi. Biayanya lebih murah dibandingkan merekrut orang langsung. Ini menimbulkan pertanyaan mendalam tentang masa depan pekerjaan yang membutuhkan tenaga manusia. Ini merupakan tantangan khusus bagi negara-negara berpenghasilan rendah dengan populasi muda pencari kerja. Afrika sendiri mengharapkan 100 juta pekerja untuk memasuki pasar tenaga kerja selama 10 tahun ke depan. Prospek mereka tidak jelas sebelum pandemi melanda. Sekarang mereka bahkan lebih rentan.

Dampak Terhadap Stabilitas Politik

Pada saat kepercayaan terhadap demokrasi berada pada titik terendah dalam beberapa dekade, memburuknya kondisi ekonomi akan berdampak luas bagi stabilitas politik dan sosial. Muncul kesenjangan kepercayaan yang luar biasa antara pemimpin dan warga.

Kurangnya kepercayaan ini dapat berpengaruh pada tindakan pemerintah dalam merespons pandemi dan juga mencederai respons global terhadap pandemi.

Rendahnya kepemimpinan internasional dari AS, kota-kota, swasta dan filantropi mengambil langkah. China justru kini menjadi pahlawan dalam menanggapi pandemi, salah satunya dengan mengirim bantuan dan tenaga medis ke negara-negara yang terkena dampak. Peneliti Singapura, Korea Selatan, China, Taiwan, Italia, Prancis dan Spanyol secara aktif menerbitkan dan berbagi pengalaman mereka, termasuk melakukan penelitian cepat terkait pandemi ini.

NGO juga berperan besar dalam upaya bersama mengatasi pandemi ini. Contohnya, The Bill and Melinda Gates Foundation menyumbang USD 100 juta untuk meningkatkan sistem kesehatan lokal di Afrika dan Asia Selatan. Kelompok-kelompok seperti Wellcome Trust, Skoll, Yayasan Masyarakat Terbuka, Yayasan PBB, dan Google.org juga memperbesar jumlah bantuan.

Sekarang bukan waktunya untuk saling tuduh: ini adalah waktunya untuk bertindak. Pemerintah nasional dan kota, swasta, dan warga biasa di seluruh dunia harus melakukan segala yang mereka bisa untuk menurunkan kurva epidemi secepatnya, mengikuti contoh yang ditetapkan oleh Singapura, Korea Selatan, Hong Kong, Hangzhou dan Taiwan.

Negara-Negara di Dunia Harus Bersatu

Sekarang, lebih dari sebelumnya, kita membutuhkan respons global yang komprehensif. Dalam kemitraan dengan negara-negara G20, koalisi kreatif negara-negara yang bersedia harus mengambil langkah-langkah mendesak untuk memulihkan kepercayaan tidak hanya di pasar tetapi di lembaga-lembaga global.

Uni Eropa, China dan negara-negara lain harus melangkah dan memimpin upaya global, melibatkan AS ke dalam respons global yang mencakup percepatan uji coba vaksin dan memastikan distribusi gratis begitu vaksin dan antivirus ditemukan. Pemerintah di seluruh dunia juga perlu mengambil tindakan dramatis terhadap investasi besar-besaran di bidang kesehatan, sanitasi, dan pendapatan dasar.

Pada akhirnya, kita akan dapat mengatasi krisis ini - tetapi terlalu banyak orang akan meninggal, ekonomi hancur, dan ancaman pandemi akan tetap ada. Maka prioritas harus bukan hanya pemulihan, tetapi juga membangun mekanisme multilateral yang kuat untuk memastikan bahwa pandemi yang serupa atau bahkan lebih buruk tidak pernah muncul lagi.

Dunia Tak Lagi Sama

Tidak ada tembok yang cukup tinggi yang akan mencegah pandemi berikutnya, atau memang ada ancaman besar lainnya untuk masa depan kita. Tapi penghalang ini dapat dihindari dengan teknologi, masyarakat, keuangan, dan sebagian besar dari semua gagasan kolektif dan kemauan untuk bekerja sama yang kita perlukan untuk mengatasi pandemi, perubahan iklim, resistensi antibiotik, teror, dan ancaman global lainnya.

Dunia sebelum virus corona dan setelahnya tidak bisa sama lagi. Kita harus menghindari kesalahan yang dilakukan sepanjang abad ke-20 dan awal abad ke-21 dengan melakukan reformasi mendasar untuk memastikan bahwa kita tidak pernah lagi menghadapi ancaman pandemi.

Jika kita dapat bekerja sama di dalam negara kita untuk memprioritaskan kebutuhan semua warga negara, dan secara internasional untuk mengatasi perpecahan yang telah memungkinkan ancaman pandemi berkembang, dari api pandemi yang mengerikan ini, sebuah tatanan dunia baru dapat ditempa. Dengan belajar bekerja sama, kita tidak hanya akan belajar untuk menghentikan pandemi berikutnya, tetapi juga mengatasi perubahan iklim dan ancaman penting lainnya.

Sekarang adalah saatnya untuk mulai membangun jembatan yang diperlukan di dalam dan luar negeri.

(mdk/pan)
ATAU
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
Sejarah 2 Maret: Kasus Pertama Virus Covid-19 di Indonesia

Sejarah 2 Maret: Kasus Pertama Virus Covid-19 di Indonesia

Pada tanggal 2 Maret 2020, Indonesia melaporkan kasus pertama virus Covid-19, menandai awal dari pandemi yang memengaruhi seluruh masyarakat.

Baca Selengkapnya
Kisah Cinta saat Pandemi Covid-19 Berlatar Belakang Tiga Negara Berbeda

Kisah Cinta saat Pandemi Covid-19 Berlatar Belakang Tiga Negara Berbeda

Sineas dari tiga negara yakni Indonesia, Korea Selatan, dan Malaysia bersatu dalam film bertajuk LOOK AT ME TOUCH ME KISS ME.

Baca Selengkapnya
750 Kasus DBD terjadi Kota Bogor pada Awal 2024, 4 Orang Meninggal Dunia

750 Kasus DBD terjadi Kota Bogor pada Awal 2024, 4 Orang Meninggal Dunia

Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bogor mencatat 750 kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) sejak awal 2024. Dari ratusan kasus itu, empat orang meninggal dunia.

Baca Selengkapnya
Kamu sudah membaca beberapa halaman,Berikut rekomendasi
video untuk kamu.
SWIPE UP
Untuk melanjutkan membaca.
5 Senjata Militer Paling Berbahaya di Dunia, Pakai Senapan Hingga Virus

5 Senjata Militer Paling Berbahaya di Dunia, Pakai Senapan Hingga Virus

Potret senjata militer di dunia yang disebut paling mematikan.

Baca Selengkapnya
Populasi di Dunia Kian Bertambah, Ancaman Krisis Pangan Semakin Nyata

Populasi di Dunia Kian Bertambah, Ancaman Krisis Pangan Semakin Nyata

Krisis pangan di dunia menjadi isi utama seiring bertambahnya populasi manusia.

Baca Selengkapnya
Ini Daftar Negara Paling Dermawan di Dunia, Indonesia Masuk Peringkat Pertama karena Alasan Ini

Ini Daftar Negara Paling Dermawan di Dunia, Indonesia Masuk Peringkat Pertama karena Alasan Ini

Tingkat kedermawanan global meningkat sejak pandemi Covid-19.

Baca Selengkapnya
Daftar Negara Paling Berpolusi di Dunia, Indonesia Nomor Berapa?

Daftar Negara Paling Berpolusi di Dunia, Indonesia Nomor Berapa?

Berikut adalah daftar negara dengan polusi udara terparah di dunia.

Baca Selengkapnya
Daftar 9 Varian yang Mendominasi Kasus Covid-19 Dunia Menurut WHO

Daftar 9 Varian yang Mendominasi Kasus Covid-19 Dunia Menurut WHO

WHO saat ini memonitor berbagai varian yang banyak ditemui.

Baca Selengkapnya
FOTO: Kasus DBD Meningkat, 475 Pasien Dilaporkan Meninggal Dunia

FOTO: Kasus DBD Meningkat, 475 Pasien Dilaporkan Meninggal Dunia

Jumlah korban meninggal dunia itu berasal dari 62.001 kasus DBD yang teridentifikasi.

Baca Selengkapnya