Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

"Lebih Baik Kami Kena Ranjau", Suara-Suara Korban Beberkan Kebrutalan Militer Myanmar

"Lebih Baik Kami Kena Ranjau", Suara-Suara Korban Beberkan Kebrutalan Militer Myanmar Rumah muslim Rohingya di Rakhine. ©afpphoto/str

Merdeka.com - Tentara dari angkatan darat Myanmar mengetuk pintu rumah U Thein Aung pada suatu pagi di bulan April saat dia sedang duduk menikmati secangkir teh bersama kawan-kawannya, dan meminta mereka semua menemani peleton tentara itu ke desa lain.

Ketika mereka tiba di wilayah berbahaya di pegunungan negara bagian Rakhine, para pria itu diperintahkan berjalan kaki sekitar 30 meter ke depan. Satu orang menginjak ranjau darat dan meledak berkeping-keping. Serpihan logam mengenai lengan Thein Aung dan mata kirinya.

“Mereka mengancam akan membunuh kami jika kami menolak pergi bersama mereka,” cerita Thein Aung (65), yang kehilangan matanya.

“Sangat jelas mereka memanfaatkan kami sebagai manusia pendeteksi ranjau darat manusia,” lanjutnya, dilansir The New York Times, Selasa (9/3).

Militer dan tindakan brutalnya adalah sebuah ketakutan yang hadir di mana-mana di seluruh Myanmar, yang meningkat sejak para jenderal menggulingkan kekuasaan dalam sebuah kudeta bulan lalu. Saat pasukan keamanan menembak para pengunjuk rasa damai di jalan-jalan kota, kekerasan yang biasa terjadi di pedesaan berfungsi sebagai pengingat mengerikan akan warisan panjang kekejaman militer.

Selama beberapa dekade pemerintahan militer, tentara yang didominasi oleh mayoritas Bamar beroperasi dengan impunitas terhadap etnis minoritas, membunuh warga sipil dan membakar desa-desa. Kekerasan berlanjut bahkan ketika tentara menyerahkan sebagian wewenang kepada pemerintah terpilih dalam pengaturan pembagian kekuasaan yang dimulai pada 2016.Pada 2017, militer mendorong 700.000 Muslim Rohingya melarikan diri dari negara tersebut, kampanye pembersihan etnis yang panel PBB sebut sebagai genosida. Para tentara memerangi etnis pemberontak dengan kekejaman yang sama, memanfaatkan pria dan anak laki-laki sebagai perisai manusia di medan perang dan memperkosa perempuan dan anak perempuan di rumah mereka.

Para jenderal sekarang sepenuhnya kembali bertanggung jawab, dan Tatmadaw, sebutan untuk militer, telah mengarahkan senjatanya ke massa, yang telah melakukan gerakan pembangkangan sipil nasional.

Tindakan keras itu meluas pada Senin saat pasukan menghadapi pemogokan umum, dengan pasukan keamanan menguasai universitas dan rumah sakit dan mencabut izin pers dari lima organisasi media. Setidaknya tiga pengunjuk rasa ditembak mati. Lebih dari 60 orang tewas sejak kudeta 1 Februari.

“Ini adalah angkatan darat dengan hati penuh kegelapan,” jelas pengamat tindakan militer, David Scott Mathieson.

“Ini adalah lembaga tanpa penyesalan.”

Kesaksian korban

Kebrutalan tertanam di Tatmadaw, yang mulai berkuasa setelah kudeta pada 1962. Selama beberapa dekade, mereka berusaha menguasai wilayah yang dihuni kelompok etnis minoritas yang kaya sumber daya seperti batu giok, kayu, dan lainnya.

Selama tiga tahun terakhir, Tatmadaw sesekali melancarkan perang terhadap pasukan pemberontak etnis di tiga negara bagian, Rakhine, Shan dan Kachin. Pertempuran paling sengit terjadi di Rakhine, di mana Tentara Arakan, pasukan etnis Rakhine, menuntut otonomi yang lebih besar.

Warga sipil sering menjadi korban dalam konflik berkepanjangan ini, seperti yang dibuktikan oleh 15 korban, anggota keluarga atau saksi di tiga negara bagian ini dalam wawancara dengan The New York Times.

Enam pria menggambarkan bagaimana mereka terluka oleh ranjau darat atau tembakan ketika para tentara memaksa mereka mempertaruhkan nyawa. Beberapa perempuan mengingat bagaimana mereka diperkosa para tentara, sementara yang lain mengingat suami dan putra-putra mereka yang tak pernah kembali setelah tentara membawa mereka.

The New York Times dihubungan dengan para korban oleh kelompok HAM setempat yang telah mendokumentasikan cerita mereka, mengunjungi berbagai lokasi, mewawancari para saksi mata dan mengonfirmasi berbagai kejadian tersebut. Kelompok HAM juga telah melaporkan praktik umum ini.

Seorang juru bicara militer menolak berkomentar.

Orang-orang yang berbicara dengan New York Times merinci bentuk-bentuk pelecehan, yang mana para tentara memaksa warga sipil menjadi porter di bawah ancaman kematian. Para pria dan anak laki-laki diperintahkan berjalan menuju zona konflik tentara, kerap dimanfaatkan sebagai perisai manusia.

Dihantam dua peluru

Pada Oktober, seorang pria Rohingya, Sayedul Amin (28), sedang memancing di sebuah telaga dekat desanya, Lambarbill, Negara Bagian Rakhine ketika sekitar 100 tentara datang.

Dia mengatakan mereka mengumpulkan 14 pria, termasuk dia, untuk membawa karung beras dan makanan lainnya. Beberapa orang yang menolak dipukuli dengan kejam.

“Kami diperintahkan untuk berjalan di depan tentara,” ujarnya.

“Kelihatannya mereka ingin kami melindungi mereka jika seseorang diserang.”

Mereka telah berjalan kurang dari satu jam ketika penembakan dimulai. Sayedul tak pernah melihat siapa yang menembak ke arah mereka. Dia dihantam dua peluru. Seorang anak 10 tahun dan pemuda 10 tahun terbunuh di depannya, ditembak berkali-kali di wajah dan kepala sehingga mereka sulit dikenali.

Para tentara meninggalkan mayat tersebut untuk dikuburkan oleh penduduk desa.

Tatmadaw telah memaksa setidaknya 200 pria dan anak laki-laki di Negara Bagian Rakhine sebagai porter medan perang dan perisai manusia dalam tiga tahun terakhir, menurut U Than Hla, anggota dewan direksi Arakan CSO Network, sebuah koalisi hak asasi manusia. Dari mereka yang diambil, 30 diketahui tewas dan sedikitnya 70 hilang. Separuh berusia di bawah 18 tahun.

Menurut kelompok HAM, praktik seperti itu biasa terjadi di negara bagian Kachin dan Shan. Tapi tak ada data yang sama dari sana pada periode yang sama.

Diperkosa atau mati

Para perempuan menghadapi ketakutan tersendiri. Saat kekerasan seksual oleh Tatmadaw kerap tak dilaporkan, pemerkosaan terjadi secara sistematis dan meluas selama pembersihan etnis Rohingya, demikian temuan Human Rights Watch. Nasib yang sama dialami perempuan kelompok etnis lainnya di wilayah konflik.

“Militer Myanmar melanggar hak-hak asasi manusia dalam banyak cara,” jelas pendiri Kelompok HAM Rakhine, Zaw Zaw Min.

“Perempuan diperkosa, desa-desa dibakar, harta benda diambil dan orang-orang diculik sebagai porter.”

Pada Juni, ketika tentara tiba di desa U Gar, Rakhine, Daw Oo Htay Win (37) mengatakan dia bersembunyi di dalam rumahnya dengan empat anak dan cucu yang baru lahir. Malam itu, bayi tersebut menangis sehingga keberadaan mereka diketahui empat tentara, yang kemudian memasuki rumahnya. Mereka memberinya pilihan: berhubungan seks dengan mereka atau mati. Dua jam berikutnya, tiga tentara memperkosanya sementara tentara keempat berdiri mengawasi.

Oo Htay Win, putrinya dan bayinya menyelinap keluar dari pintu belakang di pagi hari dan berlindung di kota Sittwe, di mana dia sekarang tinggal. Dia mengatakan suaminya meninggalkannya setelah mengetahui pemerkosaan itu.

Meskipun sebagian besar korban pemerkosaan oleh tentara tetap diam, dia mengajukan tuntutan pidana. Setelah tentara tersebut mengaku, mereka diadili, dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman 20 tahun.

“Saya benci tiga tentara ini karena menghancurkan hidupku,” ujarnya.

“Saya telah kehilangan segalanya karena mereka.”

Hukuman tersebut adalah kemenangan yang langka di negara tersebut di mana militer jarang dimintai pertanggungjawaban oleh warga sipil. Dan hanya sedikit korban yang menerima kompensasi, bahkan ketika mereka menderita luka permanen dan kerugian finansial yang besar.

Ladang ranjau

Di bagian barat Rakhine, di mana perjalanan melalui sungai adalah hal biasa, Tatmadaw sering menggunakan perahu pribadi milik warga untuk mengangkut pasukan dan perbekalan. Pada Maret 2019, U Maung Phyu Hla (43) pemilik perahu dari Mrauk-U, mengatakan tentara memaksanya untuk membawa pasukan ke Sungai Lay Myo untuk melawan pasukan Tentara Arakan.

Pada perjalanan ketujuh ke hulu, mereka diserang dengan api besar. Ditembak di paha, Maung Phyu Hla tergelincir ke dalam air dan berenang ke desa terdekat, di mana penduduk menyelamatkannya. Seorang petugas kemudian memberinya bayaran sekitar Rp 5 juta, sebagian kecil dari kerugian dan biaya pengobatannya.

“Siapa yang berani mengadu?”

“Jawabannya tidak ada.”

Beberapa penduduk desa mencoba melarikan diri dari konflik, hanya untuk terjebak dalam kekerasan.

Pada Maret 2018, keluarga U Phoe Shan dan penduduk desa lainnya melarikan diri dari pertempuran di Kachin, Myanmar utara. Mereka menuju sebuah kamp untuk orang-orang terlantar ketika mereka bertemu pasukan Tatmadaw di jalan.

Phoe Shan (48) mengatakan tentara memerintahkan dia untuk berjalan di depan sekelompok sekitar 50 tentara melalui daerah hutan. Lima belas menit memasuki hutan, dia menginjak ranjau. Dia dirawat di rumah sakit selama tiga minggu dengan luka di kakinya.

“Kalau kami protes, kami bisa ditembak mati,” ujarnya.

“Lebih baik berjalan melalui ladang ranjau.”

Hidup tak pernah kembali normal

Bagi para korban kekejaman ini, kehidupan jarang kembali normal. Orang yang dicintai yang telah dibawa tidak pernah kembali ke rumah. Mereka yang menderita cedera yang melumpuhkan merasa sulit untuk bekerja.

Di Negara Bagian Shan di Myanmar timur, U Thar Pu Ngwe (46) dipaksa bekerja, kakinya terkena pecahan peluru ketika seorang tentara menginjak ranjau.

Dia sekarang berjalan dengan susah payah, dan butuh waktu tiga kali lebih lama untuk pergi ke mana pun. Dia harus mengurangi luas sawah yang dia garap, pendapatannya berkurang lebih dari setengah.

“Kejadian itu mengubah hidup saya,” katanya.

“Saya adalah orang yang bahagia tapi tidak lagi setelah itu.”

Dia mendesak Tatmadaw untuk berhenti memanfaatkan warga sipil dalam pertempuran.

“Jika kalian ingin berperang, lakukan saja sendiri.”

(mdk/pan)
ATAU
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
Detik-Detik Penyelamatan Dramatis Pemuda Terperosok ke Sumur 19 Meter

Detik-Detik Penyelamatan Dramatis Pemuda Terperosok ke Sumur 19 Meter

Pihak keluarga dan rekan-rekannya berusaha menolong, namun sia-sia sehingga dilaporkan ke Basarnas Kupang.

Baca Selengkapnya
Detik-Detik Rambut Pelaku Mutilasi Keponakan Dijambak Warga, Suasana Gaduh Polisi Langsung Bereaksi

Detik-Detik Rambut Pelaku Mutilasi Keponakan Dijambak Warga, Suasana Gaduh Polisi Langsung Bereaksi

Motif pelaku menghabisi keponakannya karena tergiur mencuri perhiasan emas yang dikenakan korban.

Baca Selengkapnya
Lengkap! Detik-Detik Wanita di Samarinda Hilang Saat Berobat Berujung Ditemukan jadi Mayat di Gudang Kimia Farma

Lengkap! Detik-Detik Wanita di Samarinda Hilang Saat Berobat Berujung Ditemukan jadi Mayat di Gudang Kimia Farma

Sebelum dtemukan jadi mayat, korban sempat ditemani suaminya berobat ke sebuah rumah sakit tapi tiba-tiba saja menghilang.

Baca Selengkapnya
Kamu sudah membaca beberapa halaman,Berikut rekomendasi
video untuk kamu.
SWIPE UP
Untuk melanjutkan membaca.
4 Sekeluarga Tewas Diduga Dirampok di Musi Banyuasin, Rumah Korban Jauh dari Permukiman

4 Sekeluarga Tewas Diduga Dirampok di Musi Banyuasin, Rumah Korban Jauh dari Permukiman

Korban HR merupakan pedagang ponsel keliling. Dia tinggal bersama tiga korban lain, yakni ibunya dan dua anaknya sejak bercerai dengan istrinya dua tahun lalu.

Baca Selengkapnya
Tragis! Ibu Muda Nekat Ajak Anak Tenggak Racun Tikus Usai Diancam Cerai, Berujung Balitanya Tewas

Tragis! Ibu Muda Nekat Ajak Anak Tenggak Racun Tikus Usai Diancam Cerai, Berujung Balitanya Tewas

Pada awal kejadian (31/1), tersangka sempat mengaburkan penyebab kematian korban dengan mengaku tidak tahu terkait penyebab meninggalnya sang anak.

Baca Selengkapnya
Tak Terima Ditegur karena Bawa Pacar ke Rumah, Pemuda di Maros Tega Bunuh Kakak Kandung

Tak Terima Ditegur karena Bawa Pacar ke Rumah, Pemuda di Maros Tega Bunuh Kakak Kandung

Seorang pemuda di Maros, Sulawesi Selatan, MA (22) gelap mata setelah ditegur karena membawa pacarnya ke rumah. Dia tega membunuh kakak kandungnya AA (31).

Baca Selengkapnya
Petani Ditangkap Usai Bakar Satu Hektare Lahan Kebun Sawit di Riau

Petani Ditangkap Usai Bakar Satu Hektare Lahan Kebun Sawit di Riau

Polisi menyita barang bukti berupa tiga batang kayu bekas terbakar dan satu mancis.

Baca Selengkapnya
Beredar Kabar Belasan Menteri Ingin Mundur, Luhut: Sudah Ditawarin Enggak Mundur-Mundur

Beredar Kabar Belasan Menteri Ingin Mundur, Luhut: Sudah Ditawarin Enggak Mundur-Mundur

Tanpa menahan, Luhut mempersilakan menteri yang ingin mundur segera pamit dari jabatannya.

Baca Selengkapnya
Cerita Pilu Disabilitas di Kupang Diduga Dianiaya Lalu Disekap dan Diikat Rekannya Saat Pesta Miras

Cerita Pilu Disabilitas di Kupang Diduga Dianiaya Lalu Disekap dan Diikat Rekannya Saat Pesta Miras

Peristiwa itu menyebabkan korban mengalami retak di bagian kepala akibat benda tumpul.

Baca Selengkapnya