Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Kaum Imigran, Kartun Nabi, dan Cita-Cita Prancis yang Berantakan

Kaum Imigran, Kartun Nabi, dan Cita-Cita Prancis yang Berantakan Gadis muslim Prancis. thecuttingedgenews.com

Merdeka.com - Pada mulanya adalah kebencian.

Mereka bisa dengan mudah berbagi ruang kelas yang sama - remaja imigran dan guru veteran yang dikenal karena komitmennya untuk menanamkan cita-cita bangsa, dalam hubungan yang telah mengubah gelombang pendatang baru menjadi warga negara Prancis.

Tapi Abdoullakh Anzorov (18) yang besar di Prancis dari usia enam tahun dan merupakan produk sekolah negeri, menolak prinsip tersebut dalam sebuah kejahatan menyeramkan yang mengguncang Prancis. Tersinggung karena kartun Nabi Muhammad ditunjukkan di kelas saat mempelajari kebebasan berbicara oleh seorang guru, Samuel Paty (47), remaja ini menebas lehernya sepekan lalu dengan parang sebelum ditembak mati polisi.

Prancis memberikan penghormatan nasional kepada Paty. Dalam kemarahan yang menyapu negara itu, para pemimpin Prancis berjanji melipatgandakan pertahanan mereka terhadap sistem pendidikan publik yang berperan penting dalam pembentukan jati diri bangsa.

Pembunuhan tersebut telah menggarisbawahi meningkatnya tantangan terhadap sistem itu karena Prancis tumbuh lebih beragam secara ras dan etnis. Dua atau tiga generasi pendatang baru kini tengah berjuang untuk berintegrasi ke dalam masyarakat Prancis.

Tetapi negara, secara luas, menolak masukan dari para kritikus, banyak di komunitas muslim, bahwa model integrasi Prancis, termasuk sekolah-sekolahnya memerlukan pembaruan atau perbaikan.

Gagalnya asimiliasi budaya

Anzorov adalah produk terbaru sekolah negeri Prancis yang berbalik arah menentang idealisme tersebut: dua bersaudara yang bersekolah di sekolah umum menyerang kantor majalah satir Charlie Hebdo pada 2015 karena menebitkan kartun Nabi Muhammad dan diterbitkan kembali bulan lalu.

Mantan pejabat pendidikan nasional, Jean-Pierre mengatakan sekolah umum memainkan peran penting dalam asimilasi budaya dan integrasi politik dan berubah menjadi "orang Prancis yang baik" dan tak lagi merasa sebagai orang "Italia, Spanyol, Portugis atau Polandia."

Institusi lain yang juga memainkan peran ini - gereja Katolik, serikat pekerja dan partai politik - telah dilemahkan, hanya menyisakan sekolah, katanya.

"Saat ini, sekolah umum tidak dapat sepenuhnya melakukan ini," jelas Obin, dikutip dari The New York Times, Selasa (27/10).

"Tapi saya tidak melihat model lain - terutama model multikulturalisme Anglo-Saxon, yang menurut saya tidak lebih berhasil."

Model (integrasi) Prancis mengalami hambatan ketika para imigran bukan lagi orang Eropa, kulit putih, atau Katolik Roma. Saat ini sekitar 10 persen populasi Prancis diyakini muslim.

Hakim El Karoui, seorang peneliti senior di lembaga pemikir Institut Montaigne yang berbasis di Paris mengatakan, dorongan melakukan asimilasi berisiko menimbulkan bentuk xenofobia pada populasi yang lebih luas.

“Pesannya adalah: 'Kami tidak menginginkan perbedaan Anda karena kami ingin Anda seperti kami,'” katanya.

Anak-anak yang gagal berasimilasi - dan seringkali tersesat, merasa bahwa mereka bukanlah orang Prancis atau orang dari negara leluhur mereka.

Senang bela diri

Di sekolah, anak-anak imigran tidak hanya belajar bahasa Prancis yang benar, tetapi juga cara menyapa guru dengan sopan sebagai "Nyonya" atau "Tuan". Mereka juga menyerap gagasan-gagasan seperti sekularisme seperti di Amerika Serikat, cita-cita yang membentuk dasar kebangsaan.

Anzorov tampaknya mudah menyesuaikan diri dengan masyarakat Prancis. Seorang Rusia keturunan Chechnya, ia tiba di Paris saat berusia 6 tahun dan masuk sekolah dasar negeri. Ketika dia berusia sekitar 10 tahun, keluarganya pindah ke Evreux, sebuah kota di daerah yang tertekan secara ekonomi sekitar 55 mil sebelah barat Paris dan rumah bagi sekitar 50 keluarga Chechnya, menurut warga Chechnya yang tinggal di kota itu.

Warga Chechnya atau Chechen sebagian besar menyendiri di Madeleine, lingkungan miskin dengan imigran lain, yang sebagian besar berasal dari bekas koloni Prancis dan yang integrasinya sering dipersulit oleh warisan kolonial Prancis.

Anzorov bersekolah di sekolah menengah bernama Collège Pablo Neruda yang mengikuti kurikulum nasional, juga menawarkan pelajaran kewarganegaraan tentang sekularisme dan kebebasan berekspresi. Dia tinggal di sebuah gedung apartemen lima lantai bersubsidi sewa bersama keluarganya, dengan pemandangan langsung ke penjara setempat.

"Dia selalu lewat depan tempat saya saat pulang ke rumah," kata Ruslan Ibragimov (49), warga Chechen yang tiba di Evreux 18 tahun lalu.

"Di selalu sendiri, dengan tas punggungnya. Bahkan kalau dia melihat saya dari jauh, dia akan datang menyapa saya. Dia tak pernah banyak bicara."

Tak terlalu tertarik dengan pelajarannya, Anzorov senang dengan bela diri, kata seorang Chechen berusia 26 tahun yang juga mempraktikkan jenis olahraga tersebut. Saat di berusia 16 tahun pada 2018, Anzorov tinggal sebentar di Toulouse bersama pamannya. Di sana dia bergabung dengan klub olahraga yang pelatihnya orang Chechen.

Berlokasi di fasilitas publik, klub ini diselidiki otoritas setempat karena beberapa anggotanya salat di ruang penyimpanan dan meminta perempuan menutup bahu dan kakinya, menurut media berita Prancis.

Di negara yang dipandu sekularisme ketat, tindakan semacam itu merupakan pelanggaran UU Prancis dan dianggap sebagai tanda radikalisasi oleh pihak berwenang - dan menyebabkan sejumlah klub olahraga ditempatkan di bawah pengawasan.

Tapi tidak diketahui apa, jika ada, pengaruh klub terhadap Anzorov, yang tidak ada dalam daftar pantauan terorisme.

Sekularisme

Tidak berhasil di Toulouse, Anzorov kembali ke Evreux.

Hanya dalam beberapa bulan terakhir remaja itu menunjukkan tanda-tanda radikalisasi, kata jaksa khusus antiterorisme, Jean-Francois Ricard. Transformasi Anzorov tampaknya dipengaruhi dunia maya, menurut analisis situs web berita Prancis Mediapart dari akun Twitter yang dia buat pada Juni dan telah dihapus pekan lalu setelah kematiannya.

Unggahannya di Twitter menyerang berbagai sasaran - dari Yahudi hingga Kristen hingga penguasa Arab Saudi.

Paty sedang mengajar sejarah dan kewarganegaraan di sebuah sekolah menengah di Conflans-Sainte-Honorine, pinggiran kota kelas menengah Paris, pada saat serangan itu.

“Dia adalah tipe guru yang meninggalkan jejaknya, dengan kelembutan dan keterbukaan pikirannya,” kata Maeva Latil (21) yang bergabung dalam acara penghormatan di depan sekolah menengah Jacques-Prevert, di sebuah desa kecil di selatan Paris, di mana Paty mengajar antara tahun 2011 dan 2018.

Di kelas sejarah, dia menggunakan contoh-contoh kontemporer - dari lagu Pink Floyd hingga buku tentang rasisme oleh pemain sepak bola - untuk membuat pelajarannya beresonansi dengan murid-muridnya, kata Aurélie Davoust (43), mantan guru sastra di Jacques-Prévert.

“Dengannya, ada aspek ini: Anda tidak mempelajari sejarah untuk membicarakan hal-hal yang mati, Anda mempelajari sejarah untuk menjadi warga negara,” ujarnya.

Laicite

Paty sangat percaya pada laicite, sekularisme ketat yang memisahkan agama dari negara di Prancis. Davoust ingat Paty suatu kali meminta seorang gadis muda melepaskan kalung salib yang dipakainya saat di sekolah.

"Demokrasi kita didirikan melawan Gereja Katolik dan monarki, dan laicite adalah cara demokrasi diorganisir di Prancis," kata Dominique Schnapper, sosiolog dan presiden Dewan Kebijakan, sebuah kelompok yang dibentuk pemerintah pada 2018 untuk memperkuat laicite di sekolah umum.

Di kelas tentang kebebasan berekspresi - termasuk hak untuk mengatakan hal-hal yang menghujat semua agama - Paty menggunakan karikatur Nabi Muhammad, Yesus dan para rabi untuk mengajar, kata mantan siswa tersebut.

Setelah pindah beberapa tahun yang lalu ke Conflans-Sainte-Honorine, di pinggiran kota Paris dengan populasi yang lebih beragam, dia tampak menyesuaikan pendekatannya. Saat menunjukkan karikatur, dia meminta siswa yang mungkin bisa tersinggung untuk keluar kelas.

Di sekolah baru tersebut, siswa mengatakan dia menunjukkan sebagian besar karikatur Nabi Muhammad yang telah diterbitkan Charlie Hebdo. Hal itu membuat kesal banyak siswa muslim dan orang tua mereka, menurut cabang lokal PEEP, asosiasi orang tua nasional.

Paty mengatakan dia terkejut dengan reaksi balik tersebut dan meminta maaf kepada para siswa, kata Talia, seorang siswa berusia 13 tahun yang hadir saat pelajaran tersebut.

“Dia mengatakan kepada kami bahwa dia adalah seorang guru, bahwa kelas ini adalah bagian dari programnya, bahwa Prancis adalah negara sekuler dan begitu pula sekolah kami,” kata Talia, yang meminta agar dia diidentifikasi dengan nama depannya.

Seorang wali murid yang marah mengeluh tentang guru tersebut dalam video yang diunggahnya di media sosial. Anzorov yang marah melakukan perjalanan jauh dari Evreux ke Conflans-Sainte-Honorine, hampir 60 mil, untuk membunuh Paty.

“Apakah dia tidak pernah mendapat guru yang baik? Ataukah dia tidak pernah mendengarkan gurunya?" kata Schnapper, terkait tahun-tahun Anzorov di sekolah umum Prancis.

"Kita tidak akan pernah tahu. Tapi itu adalah tanda dari kegagalan."

(mdk/pan)
ATAU
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
Ditanya Hasil Kunjungan ke Inggris dan Perancis, Gibran: Nanti ya

Ditanya Hasil Kunjungan ke Inggris dan Perancis, Gibran: Nanti ya

Gibran mengaku baru akan memberikan keterangan usai libur panjang Rabu lusa.

Baca Selengkapnya
3 Februari 1930 Partai Komunis Vietnam Dibentuk, Ini Sepak Terjangnya

3 Februari 1930 Partai Komunis Vietnam Dibentuk, Ini Sepak Terjangnya

Tujuan utama partai adalah untuk melawan penjajahan Prancis dan memperjuangkan kemerdekaan nasional.

Baca Selengkapnya
Populasi di Dunia Kian Bertambah, Ancaman Krisis Pangan Semakin Nyata

Populasi di Dunia Kian Bertambah, Ancaman Krisis Pangan Semakin Nyata

Krisis pangan di dunia menjadi isi utama seiring bertambahnya populasi manusia.

Baca Selengkapnya
Kamu sudah membaca beberapa halaman,Berikut rekomendasi
video untuk kamu.
SWIPE UP
Untuk melanjutkan membaca.
Kunjungan Kerja ke Inggris, Gibran Bakal Bawa Pulang 'Oleh-Oleh' Ini

Kunjungan Kerja ke Inggris, Gibran Bakal Bawa Pulang 'Oleh-Oleh' Ini

Duta Besar RI untuk Inggris Desra Percaya terus mendorong optimalisasi peran diaspora Indonesia dalam membangun ekonomi berbasisinovasi.

Baca Selengkapnya
Kini Sukses di Tanah Rantau, Begini Kisah Transmigran Asal Kebumen yang Tinggal di Sulbar

Kini Sukses di Tanah Rantau, Begini Kisah Transmigran Asal Kebumen yang Tinggal di Sulbar

Hidup di lokasi transmigrasi memang berat, tapi Pak Tumiran membuktikan bahwa ia bisa hidup sejahtera asal mau bekerja keras

Baca Selengkapnya
Sus Rini Ungkap Rasa Syukur Bisa ke Eropa Bareng Keluarga Raffi Ahmad: Berasa Masih Mimpi Bisa Liburan Bareng Artis

Sus Rini Ungkap Rasa Syukur Bisa ke Eropa Bareng Keluarga Raffi Ahmad: Berasa Masih Mimpi Bisa Liburan Bareng Artis

Rini Perdiyanti atau yang akrab disapa Sus Rini diajak Raffi Ahmad dan Nagita ke Prancis dan Inggris.

Baca Selengkapnya
Pasca Pandemi Covid-19, Penempatan Pekerja Migran Terus Meningkat

Pasca Pandemi Covid-19, Penempatan Pekerja Migran Terus Meningkat

Pemerintah akui penempatan pekerja migran masih memiliki berbagai tantangan.

Baca Selengkapnya
Tersenyum Lebar, Petani di Lahan Transmigrasi Menikmati Hasil Panen Padi yang Berlimpah

Tersenyum Lebar, Petani di Lahan Transmigrasi Menikmati Hasil Panen Padi yang Berlimpah

Cerita petani berhasil panen padi hingga 1 ton di lahan transmigrasi yang ia garap.

Baca Selengkapnya
Jenis-Jenis Migrasi, Penyebab, dan Dampaknya yang Perlu Diketahui

Jenis-Jenis Migrasi, Penyebab, dan Dampaknya yang Perlu Diketahui

Migrasi biasanya dilakukan dalam rangka penduduk untuk mencapai kemakmuran dan kehidupan yang lebih layak. Jenisnya pun ada yang nasional, atau internasional.

Baca Selengkapnya