Kami Butuh Perdamaian, Tanah Air untuk Pulang
Merdeka.com - Hukam Khan tidak yakin berapa usianya, tapi janggutnya sudah panjang menjuntai berwarna putih. Ketika dia datang ke Pakistan 40 tahun lalu melarikan diri dari perang di Afghanistan, anak-anaknya yang masih kecil dinaikkan ke punggung keledai dan mereka berjalan melintasi pegunungan berbatu menuju Pakistan barat laut.
Saat itu perang adalah melawan negara pecahan Uni Soviet, dan Khan termasuk salah satu di antara lebih dari 5 juta warga Afghanistan yang dipaksa menjadi pengungsi di Pakistan, diusir dari rumah pengeboman yang begitu brutal sehingga disebut sebagai kebijakan "pembumihangusan".
Setelah empat dekade berperang dan konflik, lebih dari 1,5 juta warga Afghanistan masih hidup sebagai pengungsi di Pakistan. Mereka merasa ditinggalkan oleh pemerintah mereka sendiri dan semakin tidak disukai di negaranya dan diabaikan oleh PBB.
Sekarang, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, ada secercah kemungkinan mereka pada akhirnya akan pulang. Amerika Serikat dan Taliban tampaknya semakin mendekati kesepakatan damai, menyetujui sebagai langkah pertama menuju "pengurangan kekerasan" sementara.
Baru bulan lalu, sebuah lembaga pengawas dari pemerintah AS mengatakan pemerintah Afghanistan lebih tertarik mengerjakan apa yang diwajibkan ketimbang membuat terobosan nyata untuk mengekang korupsi.
Tingkat Kemiskinan
Tingkat kemiskinan di Afghanistan meningkat. Pada 2012, 34 persen warga Afghanistan terdaftar di bawah tingkat kemiskinan, hidup dengan USD 1 sehari. Hari ini, angka itu telah meningkat menjadi 55 persen.
Khan, pengungsi Afghanistan di Pakistan, kini telah membesarkan anak-anak yang bahkan sudah memiliki anak lagi. Dia mengatakan dia menyalahkan kemiskinan yang luar biasa di tanah airnya pada kepemimpinan yang korup.
"Sejujurnya, banyak uang datang ke Afghanistan dan setiap orang berpengaruh, bahkan para mullah, mencuri uang itu," kata Khan.
"Para pemimpin semuanya adalah pengkhianat, mereka mengkhianati rakyat Afghanistan. Anak-anak orang miskin terbunuh, sementara tidak ada pemimpin yang kehilangan putranya."
Pesan Khan untuk Guterres dan Grandi
"Kami tidak meminta banyak," kata Khan seraya memandang keluar rumah melihat lumpur dan jerami yang telah terbakar matahari di kamp tempat dia tinggal selama 40 tahun. Terletak di tepi Peshawar, ibukota provinsi Khyber Pukhtunkhwa Pakistan, kamp pengungsi Khan hanya berjarak sekitar 30 kilometer dari perbatasan dengan Afghanistan.
Di antara penduduk setempat, kamp ini dikenal sebagai Kamp Kabobyan, dinamai seperti itu karena banyak toko kabob yang bermunculan di sekitarnya, yang sebagian besar sudah lama menghilang.
"Pertama-tama kita meminta perdamaian," kata Khan ketika dikelilingi oleh puluhan anak-anak mengenakan pakaian compang-camping. Tidak ada yang memakai kaus kaki meskipun saat itu pagi Februari yang dingin, kaki dan tangan mereka belepotan lumpur.
"Ketika ada kedamaian, kita harus diberi tanah, tempat kita dapat membangun rumah terlebih dahulu. Maka kita perlu makanan, dan kemudian kita harus dapat membangun sekolah kita, toko kita, dan masjid kita," kata Khan.
Indrika Ratwatte, direktur regional organisasi hak asasi manusia AS untuk Asia, mengatakan kepada AP dalam sebuah wawancara pekan lalu bahwa para pengungsi Afghanistan kurang percaya pada pemerintah atau organisasi internasional mereka.
Permintaan tanah Khan adalah masuk akal, kata Ratwatte, menjelaskan bagaimana AS ingin mendirikan 20 zona di seluruh Afghanistan yang akan menawarkan tanah pengungsi baru untuk memulai kehidupannya kembali, sebagai semacam prototipe.
"Kami tahu seberapa tangguh warga Afghanistan," kata Ratwatte.
Shah Wali, seorang pengungsi lansia lainnya, meninggalkan rumahnya di Surkhrud di Provinsi Nangarhar, Afghanistan timur, hampir 40 tahun lalu. Dia mencoba kembali, tetapi tidak menemukan apa pun yang tersisa. Apa yang tidak dihancurkan oleh perang telah diambil oleh tetangga dan pencuri.
Meski begitu, bahkan kesempatan perdamaian yang samar pun adalah harapan baginya.
"Beri kami kedamaian dan kami akan pulang," katanya.
"Siapa pula yang tidak ingin pulang ke tanah airnya?"
Reporter Magang : Roy Ridho
(mdk/pan)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Banyak negara kini memilih berjaga untuk kepentingan dalam negeri dengan cara menutup keran ekspor pangannya,
Baca SelengkapnyaWarga Bawean Digegerkan Kemunculan Sumber Mata Air Panas usai Gempa di Tuban, Begini Penampakannya
Baca SelengkapnyaDalam operasional, ternyata pesawat udara membutuhkan perawatan dan perbaikan berkala dan rutin guna menjaga kelaikannya terbang.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Warga Cisuru, Cilegon, Banten kerap mengeluhkan sulitnya mendapatkan air bersih
Baca SelengkapnyaBantuan air ini diberikan oleh Kemhan dan Unhan RI sebagai pengabdian untuk masyarakat.
Baca SelengkapnyaMereka terdampar di pulau yang sangat terpencil di Samudra Pasifik.
Baca SelengkapnyaDari tiga orang tersebut, satu orang S (34) di antaranya harus dilarikan ke rumah sakit karena tak sadarkan diri.
Baca SelengkapnyaDaratan hingga rumah penduduk terancam hilang akibat abrasi yang terus terjadi
Baca SelengkapnyaMomen lucu Bintara Polisi bujangan dan komandannya saat kenaikan pangkat. Disiram air supaya cepat laku. Begini ulasannya.
Baca Selengkapnya